Skip to main content

Ziarah ke Tanah Legenda: Krakatau


Agustus mau apa? Agustus mau ke mana? Sebuah pertanyaan yang terbesit dalam hati. Lalu pada sebuah malam seolah saya meendapat ilham untuk mengunjungi sebuah tempat, salah satu tempat yang saya rindukan untuk dikunjungi: Krakatau. Awalnya sih pingin mengunjungi gunung-gunung di sekitar Jawa saja, tapi sepertinya sudah mulai ramai menjelang Agustusan.


Sedikit agak nekat di tengah kesibukan mengajar, saya dan seorang rekan kerja saya membuat kesepakatan untuk mengeksekusi rencana perjalanan ke Krakatau. Rekan kerja sekaligus rekan “mbolang” yang biasa menemani perjalanan ke berbagai tempat eksotis. Jadi ke Krakatau apalagi open trip seperti ini agak terpaksa karena kalau gak ikut yang beginian agaknya susah menuju “negara api” tersebut. Haa


Booking lewat WA langsung direspon sama crew perjalanan dan disuruh langsung membayar DP di hari itu juga. Akhirnya kami membayar sekian dollar haa, dengan ini kami resmi menjadi calon peserta sebelum melunasi biaya di Pelabuhan Merak, sebuah tempat yang agaknya membutuhkan waktu tempuh yang lama jika perjalanan dimulai dari kota Bekasi.
Benar saja berangkat dari terminal Bekasi pukul 17.30 WIB sampai di Merak pukul 22.30 WIB. Saya kira kalaupun lama tidak sampai 4 jam namun... begitulah.


Sesampaianya di Terminal Merak kami langsung bergegas ke Pelabuhan Merak yang jaraknya berdekatan. Kata crew sih kumpulnya di sebuah minimarket pelabuhan, tidak begitu lama kami ke lokasi yang dikatakan tersebut karena dari jauh sudah nampak banyak peserta trip yang berjejeran, nongkrong, bahkan tidur karena mungkin lelah.


Sekitar pukul 2 pagi (6 Agustus 2016) Kapalpun berangkat menuju peraduannya ke tanah Sumatera, ya menuju Bakauheni Lampung. Kurang dari 3 jam kami pun sampai di daratan Sumatera. Di Pelabuhan ini kami tidak lama karena langsung bergegas menuju Dermaga Canti Kalianda. Untuk menuju Dermaga Canti kami menggunakan angkot, ditemani dengan para peserta lain yang kelihatan lelah namun tetap semangat. Sekitar 1 jam naik angkot akhirnya sampai di Dermaga tersebut, perjalanan yang saya kira cukup lama menembus jalanan Lampung yang sepi dan senyap . Dermaga Canti kalau dilihat adalah dermaga yang kecil namun punya peran yang penting bagi masyarakat khususnya saya pribadi yang akan berwisata ke pulau-pulau di sekitaran selat Sunda.


Pukul 7 Pagi setelah istirahat dan lain-lain kami dan rombongan menaiki sebuah kapal motor nelayan yang telah disediakan untuk menuju destinasi-destinasi selanjutnya. Pagi itu perjalanan dimulai dengan mengunjungi Pulau Sebuku Kecil dan Sebuku Besar untuk Snorkeling, sekiitar 1 jam perjalanan kami pun sampai lokasi. Tapi saya tidak membawa perlengkapan yang dibutuhkan karena tidak kebagian di tempat sewa sebelumnya, maka cukup menonton dan sesekali turun ke air dengan pelampung. Saya juga tidak begitu akrab dengan dunia air, alias tidak begitu tahu teknik renang yang baik selain gaya botol haa..


Setelah melihat keindahan Pulau Sebuku dari dekat, rombongan pun menuju Pulau Sebesi. Dari Pulau Sebuku ke Pulau Sebesi menghabiskan waktu sekitar 30 menit perjalanan. Di Pulau Sebesi cukup banyak penduduknya sehingga di Pulau inilah kami dititipkan pada sebuah keluarga untuk bermalam.
Setelah mendapatkan tempat inap, kami pun beristirahat dan makan siang. Diselingi dengan obrolan ngalor ngidul bersama teman-teman baru yang berasal dari beberapa tempat dan profesi, setahu saya banyak dari mereka memang hobi  jalan-jalan dan petualang.


Sekitar pukul 4 Sore kami dan rombongan meninggalkan Pulau Sebesi sejenak untuk menuju Pulau Umang dan menikmati pemandangan sunset. Sekitar 30 menit kami pun sampai di lokasi setelah sebelumnya juga perahu sempat menuju spot snorkeling, di spot snorkeling sore itu banyak yang tidak berminat menerjunkan diri entah karena sudah sore atau sudah mandi, tapi spotnya memang gelap dilihat dari atas alias “butek” tidak seperti spot tadi pagi. Pemandangan Pulau Umang  yang agaknya masih perawan memang begitu indah, pasir putih dan batu-batu karang menyambut kami di Pulau kecil tersebut. Sore pun datang dan mataharipun sediikit demi sedikit tenggelam, betapa indahnya kuasa Tuhan di Selat Sunda.  


Dalam kegelapan malam yang bertabur bintang kami pun kembali ke Pulau Sebesi untuk istirahat, karena dijadwalkan pada pukul 4 pagi (7 Agustus 2016) kita akan menuju Gunung Anak Krakatau untuk pendakian.


Sesampainya di lokasi inap kami pun disambut keluarga baru kami yang ramah. Tidak langsung tidur saya, Pak Budi, teman-teman baru: I gede Leo, Fajar, Selma, Deviana, Andri, Lutfi  makan malam sederhana terlebih dahulu dengan lauk sedeerhana ala masayarakat sekitar. Sekali lagi di malam itu kami ngobrol ngalor-ngidul tentang perrjalanan masing-masing hingga cukup malam, sebelum akhirnya hujan datang namun tidak menghentikan cerita-cerita yang bergema bahkan dengan segelas kopi lampung yang saya buat malam itu cukup membuat kebal saya untuk terhindar dari ngantuk. 


Bahkan I Gede Leo teman baru saya memberi saya sedikit wawasan tentang Kopi Kintamani yang dia bawa langsung dari Bali saat melakukan petualangan di sana, ia juga memamerkan beberapa atraksi racikan kopinya yang diseduh di beberapa puncak Gunung. Cukup menarik, apalagi berbincang kopi vietnam yang ia persiapkan untuk diseduh di Puncak Krakatau. Tak lama setelah itu kami pun tidur dengan pulasnya...


Pukul 3 pagi saya di bagunkan Pak Budi untuk berkemas, eh tak lama setelah terbangun angin besar datang membawa butir-butir air yang cukup kencang. Saya kira rencana pagi ini gagal ternyata alam berkata lain, hujan tersebut cuma lewat sesaat.


Dan waktu menunjukkan pukul 4 pagi kami segera menuju dermaga, tak lama setelah itu di tengah ombak yang bergoyang cukup dahsyat kapalpun menuju Pulau Krakatau. Ombak yang ada cukup menggoyang isi perut saya bahkan beberapa rekan perjalanan ada yang muntah. Sekitar 1,5 jam menembus ombak besar kami pun sampai di Pulau tujuan dengan sambutan Gundukan tanah yang menjulang tinggi, hitam, botak, dan sedikit kehijauan sebuah pemandangan gunung api aktif yang moyangnya pernah meletus dahsyat menggoyahkan kehidupan sosial kala itu dan mengganggu siklus alam global. Ya siapa lagi kalau bukan letusan Krakatau 1883.


Sampai di sana saya sejenak menikmati lingkungan sekitar yang penuh dengan pasir hitam vulkanik sambil mencari tempat untuk bersujud, maklum beelum sholat subuh. Pemandangan sekitar yang menarik juga di abadikan oleh rekan atau rombongan yang ikut ke sini. Sekitar setengah jam bersantai ria, kita pun dikumpulkan guna di-briefing sebelum pendakian oleh pihak pengelolah Cagar Alam Krakatau. Tak lama setelah diberi arahan dan lain-lain yang intinya jangan ceroboh kala di atas (misal naik sampai puncak) atau buang sampah sembarangan, kami pun mulai pendakian menuju “puncak” Krakatau. Ya, “Puncak” Anak Krakatau istilah yang tepat untuk pendakian terakhir hingga ke Puncak sebenarnya yang dilarang oleh pengelolah karena status Gunung Anak Krakatau yang masih labil dan aktif (vulkanik) menuju tinggi idealnya hingga meletus lagi (entah kapan). Setahu saya istilah yang tepat dari sebuah tayangan dookumenter Krakatau, bahwa Krakatau adalah gunung yang lahir untuk menghancurkan diri. Jadi kalaupun punya anak barangkali nanti meletus dan punya anak lagi. He.. kira-kira begitulah.


Tidak sampai sejam, kami sampai di “puncak” tertinggi Anak Krakatau. Ya dari pos terkahir tampak bongkahan-bongkahan batu vulkanik yang tersebar di sekitar punggungan dan puncak gunung, bahkan dari atas kita dapat melihat pemandangan di sekitaran pulau tampak ribuan kubik batu menutupi air lautan seperti proyek reklamasi di Jakarta. Haa
 Di sini saya dan rekan-rekan pejalanan mengabadikan momen yang mungkin satu-satunya cara agar kenangan perjalanan tetap ada dan abadi untuk dijadikan cerita-cerita menarik buat anak cucu kelak. Karena bagi saya, masa tua yang rugi adalah ketika kita tidak bisa bertutur pada sanak keluarga akan sebuah kisah-kisah kita di kala muda. Maka merugilah orang muda yang hanya mencari kenyamanan tanpa mencari petualangan di alam luar sana. Tapi bagaimanapun, hidup adalah pilihan mau suka, senang, santai, nyaman tegang masing-masing orang punya pola pikirnya masing-masing. Haa
Sekitar sejam di Puncak kami pun bergegeas turun untuk melanjutkan perjalanan ke Lagoon Cabe, sebuah tempat snorkeling  yang kurang lebih setengah jam perjalanan dari Pulau Anak Krakatau. Setelah berkemas dan makan bersama rekan-rekan lain, kami pun menuju Lagoon Cabe. Saat di sana pemandangan bawah lautnya cukup memukau, dari atas kapal tampak terumbu karang yang masih terawat dan dihuni banyak ikan-ikan. Sehingga badan merasa gatal untuk terjun ke air,  meski hanya dengan jaket pelampung saya terjunkan diri dan menikmati suasana yang ada. Setidaknya mendinginkan badan di tengah terik matahari.


Sekitar sejam di Lagoon Cabe, akhirnya kita akan segera kembali ke Pulau Sebesi untuk selanjutnya berkemas-kemas dan pulang ke tanah Jawa. Ombak siang itu cukup besar, lebih besar daripada pagi harnya. Sampai-sampai kapal yang kami tumpangi goyang dahsyat ke kanan dan kiri berkali-kali sehinngga membuat panik beberapa rekan. Alhamdulillah, kurang lebih 2 jam perjalanan pulang kami sampai ke Pulau Sebesi dan segera berkemas.
Pukul 3 Sore kita semua sudah selesai berkemas, setelah berpamitan dengan orang-orang sekitar kami dan rombongan lain pun menaiki kapal menuju dermaga Canti. Pukul 5 Sore kita sampai di Canti dan dilanjutkan menuju ke Pelabuhan Bakauheni. Setengah 7 malam kapalpun berangkat menuju tanah Jawa....


Dan... sekitar pukul 3 pagi 8 Agustus 2016 setelah menaiki kapal, bus, dan sepeda motor saya dan pak Budi pun sampai di tempat tinggal kami dengan selamat dan sentosa diiringi ngantuk yang akut apalagi besok mesti bekerja. Haaa..


Selamat Berjalan-jalan, Berpetualang, atau apapun namanya.....
Karena mengenal Tuhan dan ciptaan-Nya tidak cukup berdiam diri di kamar rumah!



















                                      https://www.youtube.com/watch?v=b8s01BP9nzY


Comments

Popular posts from this blog

Point Of View Pertunjukan Wayang Kulit: Lakon Kumbakarno Gugur Dalam Kaitannya dengan Kehidupan Politik Berbangsa dan Bernegara di Indonesia

Pendahuuan Wayang sebagai kebudayaan nasional memiliki sejarah panjang dalam berbagai konteks dan dinamika kehidupan di Nusantara hingga menjadi negara yang bernama Indonesia. Menjadi alat ritual sesembahan terhadap dewa, menjadi alat dakwah, menjadi alat seni pertunjukan untuk menghibur masyarakat, hingga menjadi alat kekuasaan orang-orang yang berkuasa yang  berusaha memanfaatkannya, baik untuk suksesi diri dan golongannya maupun penanaman ideologi kepada orang lain melalui wayang. Dinamika perpolitikan di negri ini pun ada kalanya selalu dikaitkan dengan kehidupan dalam dunia wayang, baik itu nilai-nilai moralitas dalam wayang hingga hakikat penciptaan manusia dan kehidupan berbangsa dan bernegara yang sering di gambarkan dalam  wayang. Beberapa tokoh pergerakan nasional sering juga mengidentitaskan dirinya sebagai salah satu tokoh wayang yang tentunya dapat disimpulkan bahwa ia mencita-citakan dirinya sebagai orang yang ideal layaknya dalam kehidupan wayang ataupun...

Coretan Angin

Rakyat Subfersive Beberapa hari yang lalu tepatnya tanggal 7 Oktober 2012, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) UI Depok mengadakan diskusi dengan M. Sobary di sebuah Villa di Cisaruah, Bogor. Diskusi yang topiknya bertemakan “Peranan NU Dalam Mengahadapi Kondisi Bangsa Indonesia Sekarang “ membawa si pembicara mengatakan sebuah kata Subfersive yang pengertiannya adalah kritis terhadap suatu hal yang terjadi, khususnya terhadap kebijakan atau sesumbar suatu golongan tertentu, baik itu yang mengatasnamakan rakyat maupun mengatasnamakan pemerintahan maupun golongan tertentu yang bertingkah terlalu subjektif dengan rangsangan ideologi masing-masing yang seringnya justru menciderai kelompoknya sendiri dalam rangka membangun bangsa Indonesia. Cidera-cidera kelompok yang seringnya bertingkah normatif dan tidak relvan serta tidak menggunakan korelasi yang baik pada akhirnya akan merusak orientasi yang paling dalam dari sebuah cita-cita untuk membangun bangsa ke...

Sumpah Pemuda The Generation

Agent Of Primitive Tentu masih terngiang dibenak semua saudara sebangsa dan setanah air, rekan-rekan mahasiswa dan semua masyarakat akan kejadian bentrok fisik antar mahsaiswa UNM (Universitas negeri Malang) yang kemudian berlanjut dengan tewasnya dua korban jiwa dari Mahasiswa. Tindakan yang seringnya kita lihat di adegan film yang menampilkan kehidupan masyarakat primitif telah terjadi secara aktual dan ironinya hal tersebut terjadi di dunia pendidikan, yang lebih memalukannya hal tersebut terjadi di wilayah perguruan tinggi negeri yang tentunya mengususng Tridharma perguruan tinggi dan mendengungkan agent of change. Nilai-nilai kemanusiaan yang sering diteriakkan oleh mahasiswa hanya sebatas awang-awang atau utopia jika melihat kondisi mahasiswa yang labil seperti kajadian di kampus UNM. Morat-maritnya mental pelajar yang dibuktikan dengan rangkaian aksi tawuran pelajar dari sekolah menengah hingga sekolah tinggi menunjukkan belum sempurnyannya pendidikan moralitas di neger...