Skip to main content

Reformasi Kedelai

Reformasi Kedelai

Mogoknya pengusaha tempe dan tahu untuk berproduksi memang bukan pertama kalinya terjadi, pengusaha yang kesehariannya berkecimpung dengan hasil pertanian bernama kedelai ini memprotes tingginya harga untuk mendapatkan kedelai. Dapat dimaklumi, kedelai yang beredar di Indonesia adalah kedelai impor yang tentunya sangat reaktif dengan melemahnya nilai rupiah yang mencapai Rp 11.000 per dolar AS.                                                                                        

Kebijakan pemerintah dalam menciptakan swasembada pangan termasuk kedelai belum terlihat hasilnya bahkan terkesan gagal karena negara ini masih mengimpor ribuan ton kedelai untuk konsumsi masyarakat dalam negeri. Rekayasa pertanian yang dilakukan tidak seberapa hasilnya untuk menutup kebutuhan yang ada. Para sarjana pertanian pun lebih banyak yang tidak turun ke lapangan untuk melakukan sebuah perubahan mendasar karena banyak dari mereka yang beralih profesi, padahal peran mereka dibutuhkan adanya untuk melakukan inovasi secara  suprastruktural terhadap pertanian yang ada di Indonesia. Kedelai yang tentunya dapat tumbuh dan berkembang di wilayah tropis dengan baik jika dikembangkan secara mutahir tentu akan mampu menutup kebutuhan dalam negeri yang biasanya dibutuhkan oleh industry untuk bahan pembuat tahu dan tempe maupun susu kedelai.                                                                          

Jika di dalam reformasi sosial ada sebuah kata “Reform must come from within, not from without” (James Cardinal Gibbons) maka tidak jauh berbeda dengan apa yang harus dilakukan dengan reformasi pertanian di Indonesia, yakni mengoptimalkan berbagai potensi yang ada dan mengedepankan kepentingan masyarakat luas bukan golongan apalagi politik. Di mana kita ketahui bahwa sistem yang menjerat bangsa ini dalam bisnis impor komoditas pertanian maupun peternakan seolah-olah dikuasai golongan tertentu karena melihat prospek bisnis yang begitu menggiurkan, sehingga mungkin ada usaha-usaha untuk memandulkan hasil pertanian dalam negeri agar masyarakat kita selalu bergantung pada produk impor, yang kualitasnya belum tentu lebih baik daripada produk lokal. Imbasnya adalah ketika dolar naik seperti sekarang ini, maka yang terjadi adalah tercekiknya rakyat kecil dalam menghadapi mahalnya harga-harga kebutuhan pokok untuk mereka hidup.                                                                                                                         

Kementrian Pertanian sebagai portal utama kesejahteraan petani, baik itu melalui program maupun kebijakan yang ada sepatutnya segera berbenah dalam mengedepankan swasembada pangan yang tentunya bekerja sama dengan semua elemen ahli pertanian dalam hal ini tentunya yang telah disinggung di atas – sarjana pertanian.                                                

Makanan khas bangsa                                                                                                                                  
           Mayoritas masyarakat Indonesia adalah penggemar tempe, di mana tempe berbahan baku kedelai yang sekarang harganya sedang melonjak tajam akibat adanya kenaikan nilai dolar terhadap rupiah, sehingga sangat ironis ketika kita membanggakan tempe sebagai makanan khas Indonesia tetapi untuk mendapatkan kedelai saja kesusahan bahkan harus impor, padahal sepatutnya apa yang diklaim sebagai makanan bangsa tentu dari bahan baku hingga pengelolahan pun dihasilkan di negeri sendiri. Sangat disayangkan ketika kita berbangga akan kekayaan alam “gemah ripah loh jinawi“ tetapi apa yang kita lakukan hanya sebatas bangga bukan mengelolah dengan maksimal dan bertanggung jawab. Kita lebih suka yang instan dengan cara impor, karena dalam perspektif umum menganggap apa yang kita impor memiliki kualitas yang lebih baik dan berkualitas daripada produk lokal, dari mulai buah-buahan hingga kedelai dan sapi.

Negara kaya miskin sumber daya manusia ?                                                                                            
          Kebutuhan nasional akan kedelai yang mencapai 2,5 juta ton tentunya membutuhkan usaha yang keras dari semua pihak, dalam hal ini tentunya pemerintah, pakar, dan petani. Produksi lokal yang rata-rata berkisar 800 ribu ton memaksa pemerintah bertahan pada prinsip mengimpor kedelai yang jumlahnya tentu tidak sedikit. Hal yang diuntungkan dari krisis ini adalah para kartel yang punya kepentigan di belakangnya. Sangat disayangkan memang tetapi itulah kenyataan yang ada di negara ini, apa yang seharusnya bisa dioptimalkan tidak bisa dijalankan begitu saja, para sarjana pertanian konon malah bertugas sebagai pegawai bank bukan membaur bersama petani. Entah anggaran dari pemerintah yang kurang untuk menggaji mereka atau mereka memang tidak ada niatan untuk mengembangkan pertanian? Tentunya kembali kepada pribadi masing-masing, toh semua tahu bahwa Indonesia tidak kekurangan orang pintar bahkan orang-orang pintar kita tersebar di berbagai negara maju, hanya saja mereka yang tidak kembali ke tanah air adalah golongan yang mungkin kecewa pada republik yang biasanya tidak terlalu menghargai orang-orang pintar atas kemampuan dan prestasi mereka.                                                                                                   

Kesimpulan                                                                                                                                                    
           Dalam paradigma pembangunan bangsa tentu saja berbagai reformasi masih harus dijalankan baik itu sisitem sosial maupun sisitem pembangunan dalam hal ini tentunya pembangunan pertanian. Ketika nilai dolar menguat dan membuat nilai rupiah melemah tentu saja komoditas perdagangan yang berasal dari impor akan membengkak harganya di pasaran seperti yang terjadi pada kedelai sebagai bahan baku produksi tahu dan tempe serta beragam produksi lainnya, yang mana negara kita belum mampu swasembada kedelai sehingga masih sangat bergantung pada kedelai impor, dan ini sungguh mencekik pengusaha kecil yang berkeicmpung di dunia ini.

Comments

Popular posts from this blog

Point Of View Pertunjukan Wayang Kulit: Lakon Kumbakarno Gugur Dalam Kaitannya dengan Kehidupan Politik Berbangsa dan Bernegara di Indonesia

Pendahuuan Wayang sebagai kebudayaan nasional memiliki sejarah panjang dalam berbagai konteks dan dinamika kehidupan di Nusantara hingga menjadi negara yang bernama Indonesia. Menjadi alat ritual sesembahan terhadap dewa, menjadi alat dakwah, menjadi alat seni pertunjukan untuk menghibur masyarakat, hingga menjadi alat kekuasaan orang-orang yang berkuasa yang  berusaha memanfaatkannya, baik untuk suksesi diri dan golongannya maupun penanaman ideologi kepada orang lain melalui wayang. Dinamika perpolitikan di negri ini pun ada kalanya selalu dikaitkan dengan kehidupan dalam dunia wayang, baik itu nilai-nilai moralitas dalam wayang hingga hakikat penciptaan manusia dan kehidupan berbangsa dan bernegara yang sering di gambarkan dalam  wayang. Beberapa tokoh pergerakan nasional sering juga mengidentitaskan dirinya sebagai salah satu tokoh wayang yang tentunya dapat disimpulkan bahwa ia mencita-citakan dirinya sebagai orang yang ideal layaknya dalam kehidupan wayang ataupun...

Coretan Angin

Rakyat Subfersive Beberapa hari yang lalu tepatnya tanggal 7 Oktober 2012, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) UI Depok mengadakan diskusi dengan M. Sobary di sebuah Villa di Cisaruah, Bogor. Diskusi yang topiknya bertemakan “Peranan NU Dalam Mengahadapi Kondisi Bangsa Indonesia Sekarang “ membawa si pembicara mengatakan sebuah kata Subfersive yang pengertiannya adalah kritis terhadap suatu hal yang terjadi, khususnya terhadap kebijakan atau sesumbar suatu golongan tertentu, baik itu yang mengatasnamakan rakyat maupun mengatasnamakan pemerintahan maupun golongan tertentu yang bertingkah terlalu subjektif dengan rangsangan ideologi masing-masing yang seringnya justru menciderai kelompoknya sendiri dalam rangka membangun bangsa Indonesia. Cidera-cidera kelompok yang seringnya bertingkah normatif dan tidak relvan serta tidak menggunakan korelasi yang baik pada akhirnya akan merusak orientasi yang paling dalam dari sebuah cita-cita untuk membangun bangsa ke...

Sumpah Pemuda The Generation

Agent Of Primitive Tentu masih terngiang dibenak semua saudara sebangsa dan setanah air, rekan-rekan mahasiswa dan semua masyarakat akan kejadian bentrok fisik antar mahsaiswa UNM (Universitas negeri Malang) yang kemudian berlanjut dengan tewasnya dua korban jiwa dari Mahasiswa. Tindakan yang seringnya kita lihat di adegan film yang menampilkan kehidupan masyarakat primitif telah terjadi secara aktual dan ironinya hal tersebut terjadi di dunia pendidikan, yang lebih memalukannya hal tersebut terjadi di wilayah perguruan tinggi negeri yang tentunya mengususng Tridharma perguruan tinggi dan mendengungkan agent of change. Nilai-nilai kemanusiaan yang sering diteriakkan oleh mahasiswa hanya sebatas awang-awang atau utopia jika melihat kondisi mahasiswa yang labil seperti kajadian di kampus UNM. Morat-maritnya mental pelajar yang dibuktikan dengan rangkaian aksi tawuran pelajar dari sekolah menengah hingga sekolah tinggi menunjukkan belum sempurnyannya pendidikan moralitas di neger...