Beberapa
hari yang lalu tepatnya tanggal 7 Oktober 2012, Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII) UI Depok mengadakan diskusi dengan M. Sobary di sebuah Villa
di Cisaruah, Bogor. Diskusi yang topiknya bertemakan “Peranan NU Dalam
Mengahadapi Kondisi Bangsa Indonesia Sekarang “ membawa si pembicara mengatakan
sebuah kata Subfersive yang pengertiannya adalah kritis terhadap suatu
hal yang terjadi, khususnya terhadap kebijakan atau sesumbar suatu golongan
tertentu, baik itu yang mengatasnamakan rakyat maupun mengatasnamakan
pemerintahan maupun golongan tertentu yang bertingkah terlalu subjektif dengan
rangsangan ideologi masing-masing yang seringnya justru menciderai kelompoknya
sendiri dalam rangka membangun bangsa Indonesia.
Cidera-cidera
kelompok yang seringnya bertingkah normatif dan tidak relvan serta tidak
menggunakan korelasi yang baik pada akhirnya akan merusak orientasi yang paling
dalam dari sebuah cita-cita untuk membangun bangsa ke depannya nanti.
Organisasasi keagamaan pun kerap kali terjebak dalam “pelacuran agama”
yang biasanya berhubungan erat dengan konteks politik yang berjalan, seperti
kasus kebijakan beberapa tokoh yang dianggap ulama mengompori jamaahnya untuk
menjadi bagian dari kesuksesan salah satu kandidat kepala daerah dengan alasan
kesamaan agama dan bukan karena output pemimpin yang akan memimpinnya nanti.
Pemimpin
yang kebijakan tegasnya di tungguh oleh rakyatnya demi sebuah kemaslahatan sekarang
sangat susah ditemukan, ketika terjadi kisruh KPK - Polri yang semestinya
mendapatkan keputusan cepat dan tetap dari sosok Presiden RI pada kenyataanya
tidak sesuai harapan, sehingga kemudian menimbulkan berbagai stigma-stigma
negatif terhadap salah satu lembaga dalam sudut pandang masyarakat.
Subfersive
dsiini bukanlah semata-mata tindakan untuk menentang pemerintah tanpa nalar,
tetapi justru disini menggunakan relasi anatara nalar dan rasa melalui konsep
korelasi dan keistiqomahan untuk berperilaku kritis terhadap semua keadaan yang
berjalan di negeri ini terutama yang dilakukan oleh pemerintah terhadap rakyat
yang seringkali ingkar dan abai terhadap janji yang di koar-koarkan saat
kampanye ataupun janji terhadap salah satu golongan yang merasa diwakili,
tetapi pada kesempatan selanjutnya justru ia melupakan massa dari golongannya
yang mengharapkan sebuah kesejahteraan dari kebijak-kebijakannya.
Kepekaan
dan Hati Nurani
Jika
pada hakikanya manusia tercipta dengan bekal hati nurani yang diberikan oleh
Tuhan yang digunakan untuk merasa peka terhadap kondisi sekitar dan memiliki
kontrol sosial, maka yang terjadi di negeri ini sekarang sangatlah sulit untuk
mendapatkan manusia-manusia yang peka terhadap sekitar dan kaumnya yang
membutuhkan, tidak lain karena pengejawantahan dari para penguasa yang
seringnya memanfaatkan posisinya bukan untuk menjalanakan konsep profetik
tetapi justru menerapkan konsep satanik yang kemudian mengkesampingkan hati
nuraninya terhadap spot-spot publik yang membutuhkan uluran tangannya dan
tindakan perubahan sistem kebijakan dan birokrasi yang merugikan manusia on
the spot tadi.
Pikiran
Subfertive oleh rakyat sebagai simbol dari gerakan menentang
subjektivitas penguasa lalim tentu dibutuhkan untuk menghentikan kemapanan
kelaliman yang ada. Pemikiran normatif dan utopis dari para penguasa yang
menjanjikan dirinya menjalankan sistem laku kenabian (profetik) dan merasa
dirinya akan menjadi pemimpin yang menjalankan janjinya terhadap rakyat sebagai
manifestasi dari sosok Satria Piningit tentunya tidak boleh begitu saja
dipercaya apalagi ketika ada kewajiban dari para tokoh untuk memilih seorang
pemimpin yang satu keyakinan dan kepercayaan tanpa solusi yang pasti.
Pada
kesadaran selanjutnya tentunya adalah menyikapi berbagai kekuatan negatif
dengan tindakan yang bukan sekedar relatif , normatif, dan non korelatif
apalagi subjektif, apatis, dan amoral. Negara ini butuh kekuatan positif dari
kesadaran para individu yang mengharapkan kemajuan, yakni dengan menggali
nilai-nilai moralitas positif dalam jiwanya untuk kemudian di satukan dalam
rangka menemukan korelasi dan kesadaran kritis ataupun Subfertive tadi
untuk menghancurkan lingkaran setan dan kemapanan subjektivitas pemimpin yang
lalim. Bukan atas nama NU, Muhammadiyah, Islam, apalagi atas nama kotak-kotak
dan atas nama kumis, melainkan atas nama bangsa Indonesia yang kemudian
menaungi berbagai golongan tadi baik Islam, Kristen, NU, Muhammadiyah dan
berbagai kebhinekaan yang ada.
Perjuangan
terhadap nilai-nilai kemanusian dalam rangka menemukan keidealan nilai
kenegaraan adalah dogma yang penting dipertahankan bukan perjuangan
mengagungkan golongan dan partai-partai yang secara hakikat justru meruntuhkan
moralitas positif yang ada.
Penutup
Kepentingan
golongan yang secara nyata masih tampak di negeri ini, seperti halnya ksiruh
KPK- Polri adalah bentuk pertarungan subjektivitas satanic untuk
menjatuhkan objektivitas profetik. Nilai-nilai kekuasaan yang berdasarkan satu
kekutan ideologi negatif tentunya akan menghambat jalannya keiidealan berbangsa
dan bernegara. Sehingga perlu adananya kekutan-kekutan rakyat yang
mengedepankan pemikiran Subfersive untuk meluruskan lingkaran setan dan
menjatuhkan kemapanan moralitas negatif.
Oleh: Akbar
Priyono
_________________________________________________________________
KPK, Polisi, dan Isi Perutnya
Gerakan
untuk mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar diselamatkan dari berbagai permainan
politik yang penuh dengan kepentingan semakin kuat. Dukungan langsung maupun
dukungan melalui dunia maya telah memiliki massa yang cukup untuk menyuarakan
keadilan. Berbagai dukungan yang ada menjadikan KPK bak sarang dewa sehingga
para pendukung mengharapkan Presiden mendukung KPK dan seolah mengucilkan
lemabaga Kepolisian.
Dua
lembaga penegak hukum ini memang memiliki riwayat yang kurang baik dalam
menjalin relasi untuk menegakan hukum, khususnya kasus Korupsi. Hubungan ini
mulai renggang kembali ketika salah satu pejabat tinggi dalam kepolisian
diciduk oleh KPK karena kasus korupsi alat simulator SIM. Relasi keduanya
semakin memburuk ketika beberapa hari yang lalu aparat Provos dari kepoliosian
menciduk salah satu pejabat di KPK yang masuk dalam tim penyelidik KPK secara
tiba-tiba, dia adalah Novel Baswedan.
Tindakan
kepolisian yang provokatif tentunya menimbulkan berbagai spekulasi dini yang
membuat sudut pandang masyarakat beralih penuh untuk mendukung KPK yang notabenenya
menjadi dewa di mata masyarakat, karena tugas dan fungsinya yang menindak para
koruptor. Sebenarnya tidak perlu ada
tindakan pengkultusan atau dukungan berlebih pada salah satu lembaga, semua
perlu didukung penuh karena masing-masing memiliki peran dan fungsi yang sangat
berguna untuk kemaslahatan bangsa. Hanya saja tindakan yang kurang proposional
yang dilakukan oleh masyrakat bukanlah sebuah kesalahan hakiki murni dari para
masyrakat, melainkan ini semua adalah dampak dari kekuatan pendorong berupa
energi dari tong-tong institusi yang memiliki muatan yang berbeda pula kadar
proposionalnya sebagai lembaga penegakan hukum.
Tong-tong
institusi kepolisian bagi anggapan masyrakat sekarang, berisi manusia-manusia
bedebah yang membela kesalahan-kesalahan yang semstinya tidak perlu adanya
perlindungan dan pembelaan terhadap kesalahan meskipun itu dari golongan mereka
dan memiliki pangkat tinggi.
Kasus
Novel Baswedan dan Djoko Susilo
Eksistensi
Novel sebagai tim penyidik di KPK seolah diruntuhkan oleh pihak kepolisisan
yang berusaha mengungkit kasus lama sewindu silam oleh Novel, berkaitan erat
dengan tuduhan penganiayaan oleh dirinya. Pertanyaan pentingnya lalu selama ini
kasus tersebut dibawa kemana ? bukankah Novel adalah produk kepolisian yang
ditempatkan di KPK. Indikasi yang kuat akan adanya sebuah permaianan di
dalamnya tidak lain karena apa yang dilakukan Provos Polri terhadap penyidik
Novel secara tiba-tiba tanpa pemberitahuan yang jelas, apalagi kalau bukan
balas denadam Polri terhadap KPK yang telah memalukan intitusi kepolisian
terkait tindakan KPK terhadap Djoko Susilo. Jika memang itu alasan utama dari
Polisi menangkap penyidik KPK maka ini merupakan bentuk kesuksesan besar para
bajingan tengik yang berada dibalik memanasnya hubungan KPK dan POLRI dalam
rangka menjatuhkan lembaga penegakan hukum agar mereka lebih leluasa menguasai
kekayaan haram dari negeri ini.
Presiden
sebagai manusia yang memberi kepercayaan terhadap rakyatnya untuk menegakkan
KPK sebagai lembaga anti korupsi seharusnya bertindak secara cepat tanpa
basa-basi dan bahasa yang melankolis dan penuh pemikiran yang kurang matang
tetapi di buat seolah-olah matang. Sudah dari awal banyak pejabat dan
makhluk-makhluk dari berbagai golongan di negeri ini berusaha secara implisit
maupun eksplisit untuk melemahkan KPK sebagai penegak anti Korupsi di
Indonesia. Hambalang, Century, dan berbagai kasus besar yang belum terkuak
misterinya dan sedang diidentifikasi oleh KPK merupakan sedikit faktor besar
yang para pelaku hitam di dalamnya berusaha membuat Abu-abu KPK sebagai lembaga
pemutihan. Mau dibawa kemana negeri ini, jika KPK di lemahkan ?
Kekutan-kekutan
hitam dalam rangka melemahkan penegakan hukum masih saja terjadi dan semakin
kuat, karena yang terlibat di dalamnya merupakan jaringan besar yang takut
masuk ke bui. Masih banyak orang-orang seperti Nazarudin dan Gayus di jajaran
kekuasaan di negeri ini, untuk itu perlu dilakukan tindakan tegas terhadap
siapapun yang melakukan kesalahan terutama dalam kasus korupsi ini. Presiden
pun dapat dikatakan sebagai salah satu mata rantai yang tergabung dalam jajaran
koruptor jika tindakannya sebagai orang yang berwenag tidak bisa cepat dalam
mengambil keputusan dan justru terkesan menyuburkan kondisi koruptif di negeri
ini.
Untuk
itu perlu adanya upaya peneyelesaian keadaan baik secara teks maupun konteks
dalam rangka menyelamatkan penegakan hukum di Indonesia, bukan terpancing oleh
beberapa pihak hitam yang berusaha melumatkan dan melemahkan institusi penegak
hukum. Bukan #save KPK yang disengungkan tetapi #save KPK dan Polri , karena
bukan institusinya yang dibanggakan salah satunya melainkan bagaimana watak dan
sumber daya manusia yang loyal dan berkualitas di wilayah tong ataupun isi
perut dalam institusi tersbut. Melindungi keduanya adalah lebih baik, meskipun
seringnya terjadi perebutan hak penyelidikan tetapi inilah bagian dari tugas
pemimpin negara (Presiden) untuk segera memberi kebijakan, bukan diam layakanya
tembok yang tahan pukul tetapi roboh dan menindih orang disekitarnya. Sebelum
para Koruptor melanjutkan tertawa setannya maka tidak ada kata lain selain
mendukung semua institusi penegakan hukum tanpa terprovokasi oleh kekuatan lain
yang berusaha menafikan kebenaran di bumi raya ini. Koruptor adalah kesesatan
yang nyata oleh karena itu perlu ditindak dengan tegas oleh yang berwewenang
baik itu KPK maupun Kepolisian tanpa melihat pangkat maupun jabatan tersangka.
KPK dan Kepolisian tidak akan bersatu jika masing-masing memiliki tujuan untuk
melindungi kepentingan hitamnya yang berasal ddari titipan orang-orang hitam
pula, sehingga kedua lembaga ini berubah menjadi abu-abu seperti sekarang ini.
Oleh:
Akbar
Priyono
Comments
Post a Comment