Konflik
yang terpelihara di Lampung atau “sengaja dipelihara” semestinya mendapat
perhatian serius dari pemerintahan pusat sebagai bentuk tanggung jawab akan
program transmigrasi ke daerah lain. Kemelut yang terjadi sedikit banyak disangkutpautkan
dengan unsur SARA (Suku, Ras, dan Antar Golongan) ini tentu akan merugikan
semua pihak. Jawa, Bali, ataupun masyarakat asli Lampung tidak bisa dibiarkan
saling mengucurkan darahnya dan harus segera dilakukan mediasi antara pihak
yang berkonflik.
Apa
yang terjadi di Kalianda, Lampung Selatan, merupakan beberapa rangkaian konflik
yang melanda wilayah Lampung dimana sebelumnya terjadi di Mesuji terkait kasus
lahan perkebunan dan menewaskan beberapa orang serta di Tulang Bawang terkait
kasus tambak udang plasma yang berujung pada pemadaman listrik selama sebulan
lebih. Lampung Selatan yang terdiri elemen masyarakat dan beragam suku non
lokal seperti Jawa dan Bali, orang Jawa dan Bali ini berasal dari daerahnya
masing-masing sebelum terlibat dalam program transmigrasi pada tahun 80-an.
Lampung
yang multi etnis tentu memberikan warna ke-Indonesiaan yang real, tetapi adanya
bermacam suku yang tinggal di wilayah ini tidak diimbangi dengan program
pemerintah berkaitan dengan kesadaran multikultur, sehingga menciptakan
sekat-sekat suku yang memicu adanya konflik bermuatan SARA. Perlu adanya
percepatan penyelesaian wajah Lampung dari konflik yang sudah memakan banyak
korban ini.
Dalam
kaitannya dengan konflik horisantal di Kalianda, Lampung Selatan, sangatlah diherankan
pergolakan kemanusiaan yang terjadi di Lampung berbuntut pada terbunuhnya 10
jiwa dari masyarakat setempat yang tentunya menimbulkan bekas luka mendalam dan
butuh penyembuhan yang panjang agar terjadi perdamaian yang real antara kedua belah
pihak yang berkonflik. Aparat keamanan yang ada tentunya harus bertanggung
jawab dalam membentuk pengamanan yang konkret dalam mengamankan masyarakat yang
sedang bergejolak.
SARA,
Pancasila, Bhineka Tunggal Ika
Dalam
kasus konflik yang terjadi di Lampung bukan hanya terjadi di satu wilayah,
melainkan di beberapa wilayah dan yang lebih miris kasus-kasus kekerasan yang
ada terjadi di lokasi zona transmigrasi, yang tentunya memicu berbagai
perspektif tentang adanya konflik SARA di wilayah ini. Untuk itu perlu adanya
pencerdasan masyarakat setempat malalui pendidikan yang bermutu dan merata,
begitu juga pemerataan kesejahteraan para penduduk yang berasal dari kalangan
transmigran tentunya perlu ditingkatkan. Istilah transmigran sepatutnya adalah
masa lampau, dan masa sekarang bagaimanapun asal-usulnya mereka adalah warga
Lampung, dan ini adalah hal yang perlu di tanamkan sebagai kekuatan pendukung
perdamaian antar kelompok yang seolah terkotak-oleh memori masa lampau, bahwa
merka berasal dari asal-usul yang berbeda. Kesadaran sebagai warga negara
Indonesia dan khususnya sebagai warga Lampung dalam konteks sekarang tentunya
harus di kuatkan, agar tidak memicu terjadinya konflik yang berhubungan dengan
etnis tadi. Tentunya hal yang ironi, ketika sudah menjadi masyarakat tunggal
tetapi masih membentuk kelompok etnisitas yang memunculkan sikap primodialisme
diantara warga dan memicu adanya tindakan negatif dari masing-masing kelompok.
Jika kelompok suku masih terkotak dalam pemhaman etnisitas-etnisitas serta
selalu di dengungkan tentu akan lebih mudah orang-orang yang memiliki
kepentingan di wilayah Lampung, untuk mengadu domba dengan mudahnya, lihat saja
konlik agraria di Mesuji dan mungkin di Kalianda ini. Sehingga solusi yang
utama adalah menanamkan nilai ke- Indonesiaan melalui poin-poin Pancasila
maupun kesadaran akan kebhinekaan dalam semboyan “Bhineka Tunggal Ika”.
Masyrakat
transmigran tentunya menyadari akan persatuan dan kesatuan wilayahnya, tidak
perlu adanya ceceran darah dalam rangka menyelesaikan sesuatunya, tetapi
sulutan api konflik terjadi karena masalah etnisitas tadi selalu di besarkan
sehingga sangat sensitif dan memicu adanya solidaritas yang negatif dan
puncaknya adalah pertikaian dan pengrusakan, bahkan pembunuhan.
Tentunya
menjadi di pertanyaan yang serius, mengapa Lampung menjadi basis konflik dalam
beberapa tahun terakhir yang notabenenya adalah wilayah yang tidak begitu
kompleks permasalahnnya layaknya Jakarta dan kota besar lainnya. Konflik di
Lampung terjadi karena ada sulutan, sulutan tersebut tidak lain adalah karena
sikap primordialisme di tengah pertemuan arus etnisitas antara warga yang
berasal dari asal-usul yang berbeda tanpa adanya pendidikan Kebhinekaan yang
matang. Oleh karena itu butuh waktu yang tidak sedikit agar terjalin komunikasi
yang baik agar tercipta kerukunan yang harmoni antar penduduk Lampung yang
berasal dari lintas etnis di Indonesia, setiap manusia pasti mencari jati
dirinya melalui masa lalu, dan inilah yang membuat mereka tetap bangga terhadap
asal-usul mereka yang berasal dari beberapa suku di Indonesia, sehingga mustahil
untuk melepaskan kecintaan terhadap asal-usulnya tanpa adanya kesadaran dari
masyarakat setempat dan usaha pemerintah dalam menggalakkan kesatuan tunggal
yang tidak lain adalah menjadi masyarkat Lampung yang satu warna.
Kesimpulan
Identitas
itu perlu, tetapi mengagungkan identitas secara total dan berlebihan tentunya
akan menciptakan sikap kesensitifan berlebihan pula terhadap identitas lain
yang ada di sekitar. Kasus di Lampung semestinya di sikapi dengan mengedepankan
nilai-nilai kesadaran akan kebhinekaan yakni tidak melakukan provokasi terhadap
pihak yang berbeda melainkan mengedepankan dialog dan musyawarah, demi Lampung
yang damai.
Oleh: Akbar Priyono
Comments
Post a Comment