Gelar Pahlawan Bisu
Memaknai
hari pahlawan pada 10 November merupakan bentuk seremonial yang tiada guna jika
kita hanya memperingati pahlawan yang telah gugur secara seremonial semata, peringatan
hari pahlawan tentunya harus dibarengi dengan perenungan secara mendalam serta
merefleksikan sikap yang dilakukan terhadap bangsa dan negara selama ini.
Kerika pahlawan dengan gigihnya melawan penjajahan serta harus mengorbankan apa
yang dimiliki demi menemukan hakikat kemerdekaan secara fisik, tetapi generasi
selanjutnya justru menggadaikan pelbagai harkat dan martabatnya serta bentuk
kedaulatannya dalam sistem penjajahan model baru.
Kedaulatan dan Kesejahteraan
Tidak
perlu memahami teori penjajahan atupun analisis yang matang tentang apa itu
sebuah kedaulatan, negara Indonesia bagaimanapun belum sepenuhnya menjadi
negara merdeka ketika aset-aset asing bercokol di negeri ini. Tak perlu ragu
bahwa Freeport dan Newmont serta perusahaan minyak asal Amerika dan dari asing
lainnya baik itu Chevron, Shell Petro China dan lain-lain merupakan bentuk
penjajahan zaman sekarang yang lebih buruk daripada politik etis sekalipun.
Freeport yang hanya memberikan sedikit keuntungan untuk negeri ini, dan
keuntungan besar diolah dan dinikmati oleh Amerika, tentu sebuah bentuk penghianatan
kita akan perjuangan pahlawan yang berjuang pada waktu itu. Negara yang
diperjuangkan dengan tumpahan darah dan air mata harus di jual atas nama nilai
kontrak yang sama sekali tidak menguntungkan penduduk pribumi. Kontrak yang
begitu panjang dan hampir selesai bagi Freeport tentunya harus segera
diselesaikan jangan diperpanjang, yanga hanya akan menambah derita bangsa
meskipun nilai kontraknya dinaikkan. Harga diri bangsa harus segera di
merdekakan dari noda-noda asing.
Kedaulatan
yang terkoyakan ini, bukanlah sebuah kebetulan melainkan sebuah renacana yang
sikapnya politis dan bengis. Sampai kapanpun orang yang menjadi pemulus
jalannya antek asing di negeri ini tentunya tidak berhak mendapat gelar
pahlawan. Soeharto telah menjaddi bapak pembangunan, pembangunan sarana dan
prasarana dan membuat orang-orang di zaman ini pun banyak yang mengenang
romantisme “ah lebih baik di zaman Soeharto, apa-apanya murah” tetapi mereka
tidak sadar bahwa pembangunan yang digelintirkan olehnya merupakan bagian dari
proyek Amerika untuk mempermukus usahanya menggali kekayaan alam di negeri ini.
Kedaulatan yang murni tentunya akan menciptakan kesejahteraan yang merata,
bagaimana mungkin Indonesia meratakan keesejahteraan jika kekayaan alam yang
semestinya digunakan untuk mensejahterakan rakyatanya di gadaikan kepada asing
dengan rasio keuntungan sangat tidak relevan dan ironis.
Revolusi Jilid 2
Untuk
meruntuhkan dilema-dilema yang ada dan berkepanjangan terkait dengan saham
asing yang lebih dominan di negeri ini tentu dibutuhkan tindakan revolusioner
yang tidak perlu menumpahkan darah. Semua harus dirubah sebelum terlambat dan
membuat anak cucu kita menderita. Hari pahlawan mari jadikan kekuatan pemersatu
gagasan ide akan kebangsaan yang berdaulat secara menyeluruh, agar sumber daya
alam tidak dimanfaatkan asing apalagi dikuasai oleh asing. Ketika Amerika cemas
akan Iran sebagai negara pembakang maka Indonesia pun bisa berbuat demikian
sebelum negeri ini benar-benar tergadaikan dan kita menjadi babu-babu Amerika.
Menahan perih di negeri sendiri serta menelan ludah di negeri orang merupakan
implementasi dari manusia Indonesia.
Entahlah
apa itu revolusi jilid 2, yang jelas negara ini butuh perubahan total dalam
bidang pengelolahan tambang utamanya yang dikelolah oleh asing maupun swasta
yang hanya mementingkan pihak tertentu. Tidak tahu apa yang bisa diselesaikan
selain dengan jalan yang sedikit keras jika negara ini ingin terlepas dari
penjajahan gaya baru ini. Tidak perlu retorika, yang dibutuhkan adalah gerakan
keberanian untuk segera memutuskan perkara aset asing di Indonesia. Sebut saja
Freeport, berhubung masa kontraknya akan habis, tentu perusahaan ini jangan
diterima lagi di Indonesia, kita harus segera mengusirnya dengan mengabaikan
tawaran kontrak yang akan diberikan.
Biarkan
rakyat berujar dengan bahasanya, mensuarakan pembebasan yang tidak pernah
digubria. Dahulu selalu berujar merdeka atau mati ! tetapi setelah kita merdeka,
justru kita kembali ke belenggu penjajahan gaya baru, penjajahan ekonomi
kapitalis, penjajahan sumber daya mineral. Semua rakyat dimatikan dengan halus,
bahwa pertambangan asing yang ada akan senantiasa memberikan kompensasi
kehidupan yang layak bagi warga negara tetapi semua itu hanya sekedar pemanis belaka,
semuanya diangkut ke Amerika. Kekayaan alam yang sesmetinya kita nikmati
sebagai bagian dari perjuangan para pahlawan bangsa tetapi semuanya di
privatisasi oleh orang-orang berduit.
Penutup
Saya
tak bisa berujar lagi, hanya sebuah keresahan di dalam hati. Bagaimana mungkin
kedaulatan yang di perjuangkan oleh para pendahulu kita dengan mudahnya
diserahkan kepada negara lain dengan bentuk yang halus tetapi lebih mamatikan
dan merugikan. Yang disalahkan tentunya adalah rezim yang berkuasa pada waktu itu,
siapa lagi kalau bukan rezim orde baru, yang dengan senangnya menjual aset
bangsa kepada asing. Dengan demikian jangan sekali-kali mendukung diberikannya
gelar pahlawan pada sosok bernama Soeharto. Pembangunan yang ada pada masa orde
baru hanyalah pemanis belaka, dananya dari asing dan juga bagian dari pemberian
kemudahan kepada asing dalam rangka mengeksploitasi alam Indonesia dengan
mudah, yakni ketika aspal-aspal sudah halus menuju ke desa-desa mereka pun
lebih leluasa untuk menacapkan alat pengeruk di lahan tambang. Pahlawan
sesungguhnya adalah pahlawan bisu, pahlawan yang berjuang dan tidak mngharapkan
keuntungan dari siapapun apalagi menjual negerinya.
Maafkan Kami Palestina
Sebagai satu-satunya Negara peserta Konferensi Asia-Afrika di
Bandung yang belum pernah merdeka tentu menjadikan kita semua melihatnya
sebagai Negara yang patut didukung agar terlepas dari penjajahan Isreal yang
sampai sekarang masih melakukan terror melalui agresi yang tak berkemanusiaan
dimana korbannya adalah anak-anak dan perempuan yang sebenarnya bukan sasaran
dari serangan Israel. Kutukan dan solidaritas dunia memang patut di apresiasi
sebagai pesan perdamaian yang menggugah kita semua untuk simpati, tetapi semua
bentuk protes dan kutukan terhadap Israel tidak bisa meredam sikap lalim Israel
atas Palestina jika tidak ada komitmen yang matang dan tegas utamanya dari
sekjen PBB dan Negara-negara Liga Arab yang terkesan semu dalam menyelesaikan
kekerasan Israel atas Palestina.
Serangan –serangan yang dilakukan Israel atas Palestina tentunya
kita lihat saja sebagai tragedi kemanusiaan dan bukan semata-mata perseteruan
atas nama agama, oleh karena itu Negara-negara di dunia tidak boleh diam akan
hal tersebut, termasuk Indonesia yang memang dari awal kemerdekaannya sudah
menjalin hubungan dengan Palestina dan menentang eksistensi Negara Israel.
Tetapi, apa yang diberikan Inndonesia demi kedamaian di jaluir Gaza atau
kemerdekaan Palestina masih pasif dan sekedar formalitas semata. Palestina dalam sejarah perjuangan
kemerdekaan Indonesia merupakan pihak yang mendukung perjuangan moril maupun
materil agar Indonesia terlepas dari belenggu penjajahan, suara kemerdekaan
untuk Indonesia dari bumi Palestina dilantunkan oleh Syekh Muhammad yang
merupakan tokoh ternama di Palestina .
Darah, Iman, dan
Kemanusiaan
Jika kita bukan satu iman ataupun satu ideology dengan masyrakat
Palestina, tentunya kita tidak serta merta apatis dengan mengabaikan tragedy di
kemanusiaan. Dari sisi kemanusiaan ini pulalah yang secara naluriah tidak
menghendaki adanya penjajahan di muka bumi ini maka berawal dari sini baik kita
sebagai manusia yang beragama muslim ataupun non muslim tentunya kita harus
bangkit bersama melawan penindasan bangsa Israel yang sudah berlaku zalim
terhadap wanita dan anak-anak Palestina. Dialog-dialog dan usaha perdamaian
yang dilakukan oleh berbagai pihak baik itu melalui PBB dan liga Arab seringnya
diabaikan begitu saja. Liga Arab yang
semestinya lebih massif melakukan pendekatan-pendekatan terhadap kedua pihak
agar tercipta win-win solution justru patut dipertanyakan kredibelitasnya
solidaritasnya terhadap negera arab lainnya khususnya dalam masalah Palestina.
Ketakutan terhadap negara adi daya Amerika yang sepenuhnya mendukung eksistensi
Negara Israel menjadikan Negara-negara Arab seperti halnya Arab Saudi tidak
bisa berkutik karena ketakutan akan rusaknya hubungan harmonis Amerika-Arab
Saudi. Dari pihak PBB sendiri terkesan lambat dan membiarkan kekejian yang
dilakukan oleh Israel, oleh karena itu apakah PBB hanya sebatas Persatuan
Banci-banci dan tidak bisa mengatasi tragedy kemanusiaan yang semsetinya dapat
diatasi jika semua negara yang tergabung dalam PBB bersatu. Inggris pun
seolah-olah lepas tangan sebagai negara yang secara nyata mendukung berdirinya
negara Yahudi yang merdeka (Der Judenstaat)
sebuah konsep negara yang awalnya hanya ide dalam buku karangan Theodore Herzl
yang selanjutnya dukungan berdirinya negara Yahudi terjadi di Kabinet Inggris
pada tahun 1917 melalui deklarasi Balfour, hingga akhirnya terjadi eksodus
besar-besaran ke wilayah Palestina dan berdirilah negara israel pada tahun 1948
dan secara tidak tidak bertanggung jawab Inggris melepaskan diri dari tanggung
jawab konflik yang ada di wilayah sengketa setelah mendirikan negara Israel.
Semua sudah berlalu, negara-negara yang terbilang menegakan HAM justru secara
blek-blakan mendukung negara Israel yang merupakan “teroris” bagi negara
Palestina, sehingga untuk mencari resolusi akan beridrinya negara Palestina
yang merdeka dan utuh tidaklah mulus. Haruskah darah yang menjadi solusi
perdamian di wilayah ini ? dan haruskah kekerasan yang berturut-turut di
jadikan pijakan dalam melanggengkan sebuah tujuan bernama “Negara Yahudi” ?
jika permasalahan ini tidak segera terkendali maka gerakan kekerasan niscaya
akan lahir di seluruh dunia dan tentunya lebih massif daripada gerakan radikal
yang ada sekarang, sebagai bentuk protes atas Israel yang membabi buta terhadap
warga Palestina yang bukan semata-mata karena pelanggaran kemanusiaan tetapi
juga karena (sensitifnya) jalinan satu iman yang sebenarnya sudah lama terjadi.
Sekali lagi tragedi di Palestina adalah tragedy kemanusiaan dan murni
penjajahan sehingga perlu adanya persatuan dunia, sebelum peristiwa ini di
jadikan alasan golongan radikal untuk menuntaskan masalah dengan jalan yang
salah.
Penutup
Maafkan kami Palestina, mungkin kata yang tepat sebagai individu
ataupun bangsa dengan nama Indonesia dengan prinsipnya yang menentang
penjajahan di muka bumi harus terhapuskan, tetapi tidak bisa memberikan balasan
setimpal terhadap Palestina yang pernah memberikan dukungan dan pengakuan atas
eksistensi Indonesia di kancah internasional. Sebagai satu-satunya peserta KAA
yang belum merdeka harusnya menjadi bagian intropeksi setiap bangsa yang dulu
pernah dijajah dan sekarang menjadi bangsa yang merdeka dan berdaulat untuk
melakukan usaha keras demi terciptanya Palestiana yang merdeka, bersatu,
berdaulat, adil, dan makmur.
Oleh: Akbar Priyono
Comments
Post a Comment