Skip to main content

Nyepi dan Retorika



      Hari raya Nyepi tahun 1935 Saka, tentunya menjadi momen yang istimewa bagi segenap masyarakat ketika melihat  kondisi bangsa yang begitu runyam seperti saat ini.  Para penguasa yang dalam praktiknya memainkan retorika dan pencitraan tentu bertolak belakang dengan prinsip nyepi dalam hari raya Nyepi yang tentu saja mengandung nilai dari sebuah kata “Sepi ing pamrih, rame ing gawe” yang bermakna sepi dalam pamrih, dan rame dalam bekerja. Hal ini yang bertolak belakang dengan para politikus yang hobinya mencari suara dukungan dengan obral janji melalui retorika yang membodohkan masyrakat karena banyak dari obral janji mereka yang tidak dilaksanakan atau “Rame ing pamrih, sepi ing gawe” ramai dalam pamrih (retorika, dan janji), sepi dalam pekerjaan (realisasi).

Politik pencitraan
       Pilihan menjadi aktivis parpol tentunya menuntut menjalankan konsekuensi sistem kepartaian agar partai yang dinaunginya menjadi dambaan bagi para masyarakat pemilih (khususnya pemilih pemula), demi suksesnya partai untuk mengantarkan kadernya ke wilayah legislatif maupun eksekutif yang tentunya dibutuhkan ide cemerlang dalam rangka menggaet masa baik itu retorika maupun demagogi hingga pada akhirnya memunculkan janji-janji palsu dan kata-kata nihil. Fungsi partai yang pada dimensi lain seharusnya menjadi jalan untuk mensejahterakan rakyat seutuhnya, tapi pada kenyataannya telah kehilangan orientasi di mana telah terlahir prinsip partai yang orientasi utamanya adalah perebutan kekuasaan semata. Rakyat yang menjadi korban hanya mencibir dan tidak tahu harus bagaimana setelah tertipu oleh para ahli retoris di belantara perpolitikan kita. Pencitraan yang diniatkan sebagai bagaian dari usaha menutupi borok yang ada tentunya sangat nista jika tidak disepadankan dengan realisasi kinerja yang dinamis dan holistik dari para pemegang amanat. Kekuasaan yang bertabur dengan pencitraan ini pula yang melangengkan prinsip hipokrit itu sendiri, sehingga atas nama citra politik seperti halnya motto dan logo serta jargon menjadi sebuah legitimasi untuk menutupi borok-borok yang tak terlihat berkat kecerdikan menjaga citra oleh golongan elit.

Hakikat nyepi
       Bukan hanya agama Hindu yang mengenal konsep “sepi” dalam kehidupan ini, dalam Islam pun mengenal konsep “Uzlah” yang berarti mengasingkan diri –lihatlah sejarah Nabi Muhammad ketika mengasingkan diri ke Gua Hira. Prinsip sepi tentunya bukan semata-mata harus meniggalkan pangung kekuasaan dan menjadi zuhud dan fatalis, sepi bagi penguasa tentunya menghindari diri dari bahan cercaan masyarakat karena tindakan yang dilakukannya, untuk kemudian mengedepankan diri dalam usaha “sepi korupsi” dan “sepi obral janji” sebagai bentuk pengamalan dari “sepi ing pamrih, ramai ing gawe” tadi. Menjaga sepi menjadi prinsip orang dahulu kala dalam rangka memaknai hidup, dan pasrah akan keadaan, dan tentunya mendekatekan diri kepada Sang Penguasa. Makna dari sepi dalam hari raya Nyepi tentunya lebih mendalam lagi bagi umat Hindu, selain sebagai hari yang sakral tentunya menjadi ajang perenungan hidup selama setahun perjalanan waktu. Para penguasa di negeri ini yang sebagian besar telah terjangkit “penyakit” kronis korupsi semestinya mampu menghayati apa hakikat dari jabatan yang mereka emban, sebagai evaluasi hidup bahwa segala yang di cari dunia ini sifatnya fana dan perlu adanya pengendalian diri demi terwujudnya pemimpin yang amanah dan masyarakat yang sejahtera.

Pencitraan sepanjang masa
       Nilai moralitas yang terkandung dalam makna “sepi” dalam hal ini adalah peringatan tahun baru Saka 1935 yang termanifestasi dalam ritual Nyepi, tentunya menjadikan arti akan pengorbanan seorang manusia untuk menyingkirkan rasa pamrih, ketidakikhlasan, dan sikap ambisius, serta mengagungkan pencitraan individu untuk mendapatkan apa yang dicitakan dan diinginkan. Nyepi Adalah momen yang luar biasa untuk evaluasi setiap manusia Indonesia yang bukan hanya umat Hindu tetapi semua umat, utamanya bagi kita yang sedang dilanda krisis moralitas kebangsaan. Di mana masih terlihat dengan jelas wajah-wajah koruptor maupun premanisme di tubuh partai politik yang seharusnya mengawal masyarakat ke arah yang lebih baik dan lebih cerdas guna membangun bangsa ini tetapi pada kenyataanya tidak demikian. Bagi mereka yang tidak mampu memahami nilai hidup dari perayaan Nyepi, tentu dalam hidupnya akan diwarnai dengan ambisi kekuasaan yang diperoleh dengan berbagai cara, termasuk melanggengkan politik pencitraan yang tidak diiringi dengan realisasi janji.

Penutup
      Tidak ada yang istimewa dari perayaan Nyepi tahun 1935 Saka ini, jika kita tidak mampu memaknai apa arti “sepi” dalam konteks Nyepi. Apakah hanya sekedar berdiam di rumah, ataukah mengambil hikmah untuk senantiasa merenungi hidup di dunia ini khususnya dalam masalah tugas dan amanah, di saat manusia lebih mengutamakan retorika untuk memenuhi ambisi maka di saat itulah Nyepi sebagai tindakan untuk menentang kapalsuan-kepalsuan dari janji dan omong kososng para politikus yang memanfaatkan retorika dan pencitraan demi kekuasaan yang melambai-lambai di hadapannya. Tentu kita akan menjadi segolongan orang yang bodoh jika masih mengabaikan “Sepi ing pamrih, rame ing gawe”, karena yang dibutuhkan bangsa Indonesia sekarang adalah ketulusan dalam pengabdian membangun bangsa dan bukan sekedar janji dalam retorika dan gaya-gaya pencitraan yang hasilnya nanti tidak dapat dipertanggungjawabkan dan justru membuat rakyat menagis karena telah tertipu oleh janji palsu.

Oleh: Akbar Priyono















Comments

Popular posts from this blog

Point Of View Pertunjukan Wayang Kulit: Lakon Kumbakarno Gugur Dalam Kaitannya dengan Kehidupan Politik Berbangsa dan Bernegara di Indonesia

Pendahuuan Wayang sebagai kebudayaan nasional memiliki sejarah panjang dalam berbagai konteks dan dinamika kehidupan di Nusantara hingga menjadi negara yang bernama Indonesia. Menjadi alat ritual sesembahan terhadap dewa, menjadi alat dakwah, menjadi alat seni pertunjukan untuk menghibur masyarakat, hingga menjadi alat kekuasaan orang-orang yang berkuasa yang  berusaha memanfaatkannya, baik untuk suksesi diri dan golongannya maupun penanaman ideologi kepada orang lain melalui wayang. Dinamika perpolitikan di negri ini pun ada kalanya selalu dikaitkan dengan kehidupan dalam dunia wayang, baik itu nilai-nilai moralitas dalam wayang hingga hakikat penciptaan manusia dan kehidupan berbangsa dan bernegara yang sering di gambarkan dalam  wayang. Beberapa tokoh pergerakan nasional sering juga mengidentitaskan dirinya sebagai salah satu tokoh wayang yang tentunya dapat disimpulkan bahwa ia mencita-citakan dirinya sebagai orang yang ideal layaknya dalam kehidupan wayang ataupun...

Coretan Angin

Rakyat Subfersive Beberapa hari yang lalu tepatnya tanggal 7 Oktober 2012, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) UI Depok mengadakan diskusi dengan M. Sobary di sebuah Villa di Cisaruah, Bogor. Diskusi yang topiknya bertemakan “Peranan NU Dalam Mengahadapi Kondisi Bangsa Indonesia Sekarang “ membawa si pembicara mengatakan sebuah kata Subfersive yang pengertiannya adalah kritis terhadap suatu hal yang terjadi, khususnya terhadap kebijakan atau sesumbar suatu golongan tertentu, baik itu yang mengatasnamakan rakyat maupun mengatasnamakan pemerintahan maupun golongan tertentu yang bertingkah terlalu subjektif dengan rangsangan ideologi masing-masing yang seringnya justru menciderai kelompoknya sendiri dalam rangka membangun bangsa Indonesia. Cidera-cidera kelompok yang seringnya bertingkah normatif dan tidak relvan serta tidak menggunakan korelasi yang baik pada akhirnya akan merusak orientasi yang paling dalam dari sebuah cita-cita untuk membangun bangsa ke...

Sumpah Pemuda The Generation

Agent Of Primitive Tentu masih terngiang dibenak semua saudara sebangsa dan setanah air, rekan-rekan mahasiswa dan semua masyarakat akan kejadian bentrok fisik antar mahsaiswa UNM (Universitas negeri Malang) yang kemudian berlanjut dengan tewasnya dua korban jiwa dari Mahasiswa. Tindakan yang seringnya kita lihat di adegan film yang menampilkan kehidupan masyarakat primitif telah terjadi secara aktual dan ironinya hal tersebut terjadi di dunia pendidikan, yang lebih memalukannya hal tersebut terjadi di wilayah perguruan tinggi negeri yang tentunya mengususng Tridharma perguruan tinggi dan mendengungkan agent of change. Nilai-nilai kemanusiaan yang sering diteriakkan oleh mahasiswa hanya sebatas awang-awang atau utopia jika melihat kondisi mahasiswa yang labil seperti kajadian di kampus UNM. Morat-maritnya mental pelajar yang dibuktikan dengan rangkaian aksi tawuran pelajar dari sekolah menengah hingga sekolah tinggi menunjukkan belum sempurnyannya pendidikan moralitas di neger...