Skip to main content

Daging Sapi dan “Daging” Wanita


Daging Sapi dan Daging Wanita

Menjamurnya kasus korupsi di negeri ini tak ubahnya dari dulu selalu menampilkan fenomena-fenomena yang unik untuk diamati, Pada mulanya kasus korupsi yang terdengar hanya sebatas pengambilan hak orang lain yang dilkaukan oleh pihak elit, pada kasus yang baru-baru ini terdengar bahwa para elit tidak cukup puas jika uang yang diperolehnya tidak digunakan untuk hal-hal yang lebih menantang seperti halnya “bermain” wanita.                                                  

Tanpa menyudutkan partai PKS yang oknumnya melakukan tindak pidana korupsi dan juga terjerat dalam kasus hubungannya dengan wanita-wanita cantik, tentu dalam konteks ini apa yang dilakukan oleh oknum partai tersebut memberikan indikator bahwa moralitas elitis negeri ini telah diambang kehancuran moralitas. Jika hal ini disangkutpautkan dengan partai yang notabenenya adalah partai Islam tentu sangatlah ironis, ketika agama dijadikan kesuksesan meraih suara dalam kesuksesan partai, tetapi hal yang bertentangan dengan agama justru datang dari dalam partai tersebut, yang tentunya bukan hanya citra partai yang dirusak tetapi citra agama yang suci pun dirusak oleh oknum-oknum tersebut. Korupsi daging sapi masih menjadi isu hangat di masyarakat begitu juga aliran dana korupsi yang masuk ke kantong-kantong wanita simpanan para elitis politik tersebut. Isunya memang masih terkait harta, tahta, wanita yang konon menjadi sumber penyakit kehidupan manusia jika tidak mampu mengendalikan diri, sehingga mungkin saja orang-orang yang terjerat kasus korupsi daging sapi dan penggila “daging wanita” ini sedang terjerumus dalam arus politik yang ada. Fenomena LHI dan AF tentunya menjadi pembelajaran semua insan politik maupun masyarakat Indonesia secara luas untuk senantiasa memiliki kontrol dalam menjalankan praktek kegiatan politik agar tidak merugikan diri dan semua.

Ideologi partai                                                                                                                                    
        
         Dalam sejarah, korupsi dan wanita adalah godaan terbesar bagi pemegang tahta yang kapanpun dapat menjatuhkan posisi yang dimilikinya. Ketika ada elit PKS melakukan hal yang ironis dari landasan utamanya yakni sebagai partai yang menyatakan bersih dan putih, tentu apa yang dilakkan oknumnya telah “menggorok leher” partai itu sendiri. Dalam teorinya, akhirnya tidak ditemukan lagi apa yang disebut aktivis partai yang mampu mempertahankan ideologinya, yang ada hanyalah aktivis partai yang berusaha memanen kekayaan sebanyak-banyaknya guna menambah gudang kas partai maupun pribadinya, karena tujuan utamanya adalah suara massa dalam pemilu karena dengan begitu menjadikan eksistensi partai terjamin. Semua ini dikarenakan tidak adanya kontrol ideologi dan etika massa aktivis parpol sehingga terbawa oleh arus kuat untuk mencari kekayaan partai dari cara yang tidak dibenarkan. Ideologi yang disuarakan dalam bentuk penampilan (appereance) tidak dapat diaplikasikan dalam relita yang ada, semua hanya berdasar jelmaan (replica) pencitraan dari ideologi agama pada masa silam, bahwa apa yang berbau agama adalah kebenaran mutlak. Dunia ide (Realm of idea) para politikus sudah tidak lagi untuk kepentingan umat tetapi kepentingan golongan dan individu, amanat-amanat yang diemban dinafikkan begitu saja sehingga dapat dikatakan nalar murni semakin lenyap, hati nurani sebagai manusia sosial dan sebagai wakil rakyat sudah terkikis – degradasi moralitas. Penghianatan-penghianatan ideologi secara nyata dapat kita lihat selain daripada kasus daging sapi dan “daging” wanita adalah ketika para politikus pindah haluan partai akibat kecewa dengan partai yang dinaunginya. Lalu bagaimana mungkin mampu membangun negara ini dengan politik yang sehat jika dalam praktek pelaksanaan ideologi yang dianutnya tidak konsisten dan tidak konsekuen dan bagai kutu loncat. Mungkin tidak jauh dari ungkapan Plato bahwa “Kota (negara) kita didirikan di atas kata-kata belaka”.

Dampak di masyarakat                                                                                                                                 

          Polemik daging sapi dan “daging” wanita oleh politikus PKS sejatinya adalah hukuman moral bagi partai yang mengaku partai “langit” partai agama tetapi justru menghilangkan  kesuciannya dengan melakukan tindakan senonoh dengan “berselingkuh” dengan kemewahan duniawi yang sangat mudah ditemui dalam praktek politik. Segi-segi keburukan partai politik telah menjadi sanksi sosial yang bukan berimbas pada satu atau dua partai politik, tetapi semua partai politik pun secara jelas telah menerima imbasnya bahwa partai politik secara sah dan nyata di dalam paradigmama masyrakat adalah sarang bagi para koruptor. Hal ini secara nyata pula telah menjadi pendidikan buruk bagi masyarakat di bawah untuk tidak ikut serta aktif dalam jalannya demokrasi pasca reformasi 15 tahun yang lalu karena stigma negatif partai politik tadi yang sudah melekat di benak mereka. Harta, tahta, dan wanita bukan lagi menjadi bahasan baru bagi kehidupan politik, tetapi menjadi refleksi kita untuk tetap berhati-hati dengan amanat yang kita genggam agar senantiasa mementingkan kepentingan umum daripada kepentingan golongan. Melihat ini semua tentunya bukan kita menyalahkan sistem demokrasi sebagai nikmat Tuhan yang diberikan pasca reformasi 1998, tetapi bagaimana upaya manusia-manusia pelaku jalnnya reformasi ini untuk mengisinya dengan nilai-nilai moralitas dan keidealisan yang tinggi dalam rangka membangun negeri dan masyarakatnya secara menyeluruh. Tentunya kasus daging sap dan “daging” wanita ini dapat dijadikan indikator bagi kita pula bahwa negara kita dalam keadaan sakit kronis demokrasi.


Comments

Popular posts from this blog

Point Of View Pertunjukan Wayang Kulit: Lakon Kumbakarno Gugur Dalam Kaitannya dengan Kehidupan Politik Berbangsa dan Bernegara di Indonesia

Pendahuuan Wayang sebagai kebudayaan nasional memiliki sejarah panjang dalam berbagai konteks dan dinamika kehidupan di Nusantara hingga menjadi negara yang bernama Indonesia. Menjadi alat ritual sesembahan terhadap dewa, menjadi alat dakwah, menjadi alat seni pertunjukan untuk menghibur masyarakat, hingga menjadi alat kekuasaan orang-orang yang berkuasa yang  berusaha memanfaatkannya, baik untuk suksesi diri dan golongannya maupun penanaman ideologi kepada orang lain melalui wayang. Dinamika perpolitikan di negri ini pun ada kalanya selalu dikaitkan dengan kehidupan dalam dunia wayang, baik itu nilai-nilai moralitas dalam wayang hingga hakikat penciptaan manusia dan kehidupan berbangsa dan bernegara yang sering di gambarkan dalam  wayang. Beberapa tokoh pergerakan nasional sering juga mengidentitaskan dirinya sebagai salah satu tokoh wayang yang tentunya dapat disimpulkan bahwa ia mencita-citakan dirinya sebagai orang yang ideal layaknya dalam kehidupan wayang ataupun...

Coretan Angin

Rakyat Subfersive Beberapa hari yang lalu tepatnya tanggal 7 Oktober 2012, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) UI Depok mengadakan diskusi dengan M. Sobary di sebuah Villa di Cisaruah, Bogor. Diskusi yang topiknya bertemakan “Peranan NU Dalam Mengahadapi Kondisi Bangsa Indonesia Sekarang “ membawa si pembicara mengatakan sebuah kata Subfersive yang pengertiannya adalah kritis terhadap suatu hal yang terjadi, khususnya terhadap kebijakan atau sesumbar suatu golongan tertentu, baik itu yang mengatasnamakan rakyat maupun mengatasnamakan pemerintahan maupun golongan tertentu yang bertingkah terlalu subjektif dengan rangsangan ideologi masing-masing yang seringnya justru menciderai kelompoknya sendiri dalam rangka membangun bangsa Indonesia. Cidera-cidera kelompok yang seringnya bertingkah normatif dan tidak relvan serta tidak menggunakan korelasi yang baik pada akhirnya akan merusak orientasi yang paling dalam dari sebuah cita-cita untuk membangun bangsa ke...

Sumpah Pemuda The Generation

Agent Of Primitive Tentu masih terngiang dibenak semua saudara sebangsa dan setanah air, rekan-rekan mahasiswa dan semua masyarakat akan kejadian bentrok fisik antar mahsaiswa UNM (Universitas negeri Malang) yang kemudian berlanjut dengan tewasnya dua korban jiwa dari Mahasiswa. Tindakan yang seringnya kita lihat di adegan film yang menampilkan kehidupan masyarakat primitif telah terjadi secara aktual dan ironinya hal tersebut terjadi di dunia pendidikan, yang lebih memalukannya hal tersebut terjadi di wilayah perguruan tinggi negeri yang tentunya mengususng Tridharma perguruan tinggi dan mendengungkan agent of change. Nilai-nilai kemanusiaan yang sering diteriakkan oleh mahasiswa hanya sebatas awang-awang atau utopia jika melihat kondisi mahasiswa yang labil seperti kajadian di kampus UNM. Morat-maritnya mental pelajar yang dibuktikan dengan rangkaian aksi tawuran pelajar dari sekolah menengah hingga sekolah tinggi menunjukkan belum sempurnyannya pendidikan moralitas di neger...