Estetika, Etika, dan Independensi Media
Kasus
Forum Pemred di Nusa Dua Bali yang
mendapat beragam kritik dari beberapa pihak, merupakan bentuk usaha intervensi
beberapa konglomerat untuk memperoleh citra media – lihat OSO (Oesman Sapta
Odang) dan Tomi Winata. Kedua tokoh konglomerat yang merupakan sosok fenomenal
dan kemudian turut andil dalam acara Forum Pemred tentu saja menjadi pukulan
bagi media yang berusaha menjunjung independensi.
Usaha untuk memperoleh Pleasure (kenikmatan)
oleh kalangan konglomerat, selama ini ditonjolkan dengan usaha untuk menguasai
media tertentu guna kepentingan-kepentingan
pencitraan pribadi — lihat TV One, MNC, dan Metro TV. Oesman Sapta Odang
dan Tomi Winata yang notabene adalah pengusaha besar, tentu memiliki modus yang
sama apalagi ketika di Forum Pemred yang memiliki dana sponsor miliaran rupiah
tersebut secara sepihak melakukan tindakan di luara schedule acara, peluncuran tabloid oleh Sapta Odang
dan jamuan makan oleh Tomy Winata.
Adalah hal yang kontradiktif ketika media yang selama ini berusaha membangun independensi atas beragam permasalahan, tetapi harus terlibat dalam forum yang dihadiri oleh konglomerat “bermasalah”. Tentunya bukan tanpa alasan penulis mengatakan hal yang demikian, apa yang disebut independen media massa adalah memperjuangkan idealisme jurnalistik untuk tidak condong ke arah yang menggoyahkan idealisme tersebut, dan ketika konglomerat mampu mengintervensi media maka yang terjadi adalah konglomerasi media yang pada hakikatnya “zaman ini” sudah terjadi — iklan suksesi kekuasaan konglomerat di media massa.
Saat penulis mengikuti program
Kuliah Kerja Nyata (K2N) UI di Pulau Karimata Kabupaten Kayong Utara,
Kalimantan Barat untuk pertama kalinya mengetahui sosok OSO yang begitu
dihormati bahkan “ditakuti”di daerahnya atas beragam hal utamanya karena dia
berhasil meloloskan Kayong Utara sebagai kabupaten baru, lepas dari kabupaten
Ketapang. Sedangkan Tomy Winata tak ubahnya Abu Rizal Bakri yang memiliki
beragam bisnis di beberapa tempat, utamanya di wilayah Lampung dengan bisnis
“kontroversialnya”.
Etika media massa
Media
massa baik cetak maupun elektronik, sepatutnya harus menjadi gunung batu yang
kokoh dan bukan menjadi gunung es yang mampu mencair oleh beragam godaan
eksternal media massa. Gejala-gejala intervensi terhadap media oleh segolongan
konglomerat memang sudah terjadi di beberapa media, tetapi sepatutnya ada usaha
untuk menekan beragam intervensi lain untuk menghentikan daftar itu.
Saat pertemuan di Nusa Dua yang dananya didukung oleh
sponsor hingga milyaran rupiah tentu merupakan ancaman akan etika para
wartawan dan dalam hal ini adalah pimpinan redaksi. Ketika pimpinan redaksi
sudah berhasil dikelabui oleh orang yang berpengaruh maka yang akan terjadi adalah
sikap tendensi yang berujung pada terabaikannya sistem independensi dan tindakan
pelanggaran etika di media massa pun terjadi. Kekeuatan ideologi para pemred sedang
diuji oleh transisi waktu, di mana sebentar lagi adalah tahun politik (2014)
yang mana orang-orang terkait akan berusaha memanfaatkan peran media.
Propaganda dan beragam gagasan beraroma kekuasaan terbuka secara implisit dalam
pertemuan di Nusa Dua bali antar beberapa Pemred media massa.
Penutup
Dalam
perdebatan yang panjang ini, tentu perlu adanya pikiran waras dari para Pemred
media untuk senantiasa menjunjung sikap independen dalam rangka menegakkan
keadilan di negeri ini tanpa pandang bulu melalui suara-suara yang terbaca di
masyarakat. Jangan sampai pertemuan di Nusa Dua Bali yang bertajuk Forum Pemred
mencacatkan kekutan media yang memiliki peranan begitu besar di dalam
keharmonisasian masyarakat karena
terbujuk oleh pundi-pundi rupiah, selama ini media massa dikenal sebagai
alat rakyat untuk menentang kekuasaan yang lalim, jika medianya saja sudah
mampu dijinakkan oleh pihak yang lalim tentu masyrakatlah yang akan merugi,
karena tidak ada pembelaan untuknya.
Oleh Akbar Priyono
Comments
Post a Comment