Strategi “Marhae-NU-isme”
Di
dalam sejarahnya Marhaen merupakan nama seorang rakyat jelata yang diabadikan
oleh presiden Soekarno sebagai ideologi yang lahir dari alam pikirnya. Ideologi
itu bernama Marhaenisme, paham akan kepedulian terhadap rakyat kecil seperti
petani, pedagang, dan nelayan. Berbeda dengan konsep proletar ala komunis di
Eropa yang mencirikan masyarakat tanpa memiliki alat produksi. Strategi peduli
nasib rakyat kecil melalui konsep “Marhaen” menjadi topik yang menarik untuk
diperbincangkan di tengah proses pencalonan presiden yang belangsunng.
Dapat kita saksikan kedua calon
presiden saat ini untuk masa kepemimpinan 2014-2019 yakni Prabowo Subianto dan
Joko Widodo yang notabenenya berasal dari partai yang berbeda, Prabowo dari
partai Gerindra dan Jokowi dari partai PDI Perjuangan namun konsep kepemimpinan
yang disuarakan tidak jauh berbeda, kepemimpinan yang nasionalis ala Soekarno
dan konsep ekonomi kerakyatan ala “Marhaen”. Simbol-simbol di dalam kampanye yang
seolah mengagungkan Presiden RI pertama tersebut menjadi bukti nyata bahwa
meski berbeda namun memiliki inspirasi yang sama. Gelora Marhaenisme “alam
pikir” soekarno menjadi spirit kedua calon presiden yang ada.
Dari
kesamaan ide yang diusung bisa saja menjadi catatan bahwa konsep “Marhen” adalah bentuk penarikan simpati terhadap
rakyat kecil, tetapi itu bukanlah sebuah perkara yang buruk karena bagaimanapun
itu adalah strategi politik yang logis di alam kehidupan demokrasi saat ini
dengan catatan kampanye yang sehat wal
afiat bukan kampanye hitam.
Dari rakyat jelata ke kaum beragama
Setelah menguatkan
pencitraan akan ideologi “Marhaen” para calon Presiden pun mendekati dan
meminta restu pada ulama di berbagai pesantren Nahdlatul Ulama (NU). Warga nahdliyin (sebutan bagi orang NU) merupakan
penyumbang suara terbesar di dalam setiap pemilu yang dilaksanakan, sehingga
tidak mengherankan jika selama ini berbagai calon pejabat yang hendak
mencalonkan diri rela menjadi NU “jadi-jadian”, sebagai salah satu upaya
menaklukkan hati warga nahdliyin. Di
pra Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 pun para calon berlomba-lomba mengaku
dirinya mendapat dukungan suara dari ulama NU sebagai legitimasi mereka
menjaring massa nahdliyin
sebanyak-banyaknya.
Kaum beragam di Indonesia menjadi
sasaran empuk para calon yang memiliki ambisi besar untuk menjadi orang pertama di negeri ini. Dari sejarahnya
memang demikian, bahwa bangsa Indonesia yang beragama dengan mayoritas
penduduknya beragama Islam memiliki pandangan tersendiri ketika melihat
pemimpin mereka memiliki akhlak agama yang baik atau tidak, oleh karena itu
dengan memposisikan dirinya dekat ataupun menjadi bagian organisasi keislaman
tertentu seperti NU, maka suara mayoritas di organisasi tersebut pun dapat
dijaring.
“Marhae-NU-isme”
Istilah
“Marhae-NU-isme” sepertinya menarik untuk disematkan kepada mereka yang
memiliki konteks ajaran “Marhaen” dan ajaran “NU” sebagai kesatuan ideologi.
Apalagi menjelang pemilihan presiden seperti saat ini, kedua ideology tersebut
sangalah laku untuk mencari massa pendukung. Kasus “Marhae-NU-isme yang
ditemukan di dua kubu calon presiden yakni Prabowo dan Jokowi menguatkan hal
tersebut bahwa konteks rakyat jelata ala Marhaen dan religiusitas ala NU
menjadi daya tarik massa untuk memilih presidennya. Lalu di saat rakyat
dihadapkan dalam posisi kesamaan citra calon, maka rakyat harus jeli memilih
calon pemimpin mereka yang lebih baik.
Penutup
Melihat
pencitraan yang serupa di dalam pemilihan presiden tahun ini tentu menjadi
sebuah fenomena yang wajar ketika inspirasi yang ada di alam pikir sama pula.
Semuanya berlomba mendulang suara demi kekuasaan tertinggi di negeri ini.
Menjual visi-misi kerakyatan tentu menuai harapan di setiap benak masyarakat,
untuk itu sangatlah hina ketika para calon yang mengatasnamakan dirinya menjadi
bagian rakyat dan bagian dari manusia beragama melanggar janji yang disuapkan
kepada khalayak luas.
Comments
Post a Comment