Mengapa harus dilepas,
bukankah yang terbang takkan kembali kecuali kau memungutnya. Sedangkan
kebanyakan dari kita hanya diam.
Perjalanan
dimulai siang itu 18 April 2015, dari sebuah perumahan di Cikarang Utara saya
menuju stasiun Lemah Abang untuk berangkat ke Purwakarta. Sebelumnya sudah
berkordinasi dengan kawan-kawan UI yang hendak ikut, Egi dan Kiki. Egi si anak
Psikologi sudah biasa mendaki gunung sedangkan Kiki anak keperawatan yang sejak
lama ingin diajak naik gunung. Siang itu yang cukup panas namun tetiba saja
mendung disusul gerimis, beruntung saya sudah sampai di LA station (sebutan
keren untuk stasiun Lemah Abang). Saya sudah sarankan pada mereka untuk
berangkat dari Depok menuju stasiun Kota jam 11 agar dapat tiket Kereta Lokal
Purwakarta, tapi entah mengapa mereka “ngeyel” tidak datang lebih awal ya akhirnya sampai stasiun Kota sudah pukul 1 siang lebih padahal kereta berangkat pukul 12.45. Akhirnya mereka terlambat dan yang
gelisah bukan mereka saja tapi saya yang sudah dapat tiket, padahal rencana
awalnya bisa bertatap muka di LA station. Tapi berhubung ada kereta kedua tujuan Purwakarta yang berangkat
pukul 16.45 saya pun meminta mereka untuk naik kereta tersebut pada sorenya dan memutuskan agar bertemu di stasiun Purwakarta saja.
Dua setengah jam perjalanan saya tiba
di stasiun Purwakarta, saya putuskan menunggu mereka. Berjam-jam
menunggu dan akhirnya jam menunjukkan pukul 16.45 tapi apa yang terjadi diluar dugaan,
mereka memberi kabar bahwa tiket tujuan Purwakarta sudah habis. Bikin sewot sih
tapi mau gimana lagi yang jelas saya berusaha legowo, entah apa yang mereka
kerjakan selama berjam-jam apa main-main di Kota Tua atau tidur. Berhubung
mereka masih niat untuk ikut misi ini dibuktikan dengan membeli tiket kereta lain
yakni tujuan Cikampek dan dilanjutkan ke Purwakarta dengan bis saat tiba di stasiun Cikampek nanti, saya pun
mengiyakan untuk menunggu kembali, padahal kereta dijawalkan sampai Cikampek
pukul 8 malam. Saya tunggu berjam-jam sambil memeluk ransel, ditambah sedikit
rasa gemes. Sambil kontak-kontakan dan beberapa pertimbangan selepas isya saya
memilih untuk menunggu langsung di terminal Ciganea, alasan awal sih bis dari
Cikampek akan lewat sini tapi rupanya tidak, harus dua kali naik.
Ciganea letaknya dekat dengan Plered yakni kota terdekat dengan lokasi
pendakian, makanya saya putuskan menunggu mereka di lokasi ini sebagai titik pertemuan. Akhirnya kawan-kawan pun
sampai di Ciganea pukul 10 malam. Sekitar 7 jam saya menunggu dengan rasa gelisah dan ngantuk eh mereka tiba-tiba nongol dengan raut senyum girang sambil ngledek,,, tapi tak apa sih saya
sebagai senior dalam tim ini menganggap mereka hanyalah anak muda yang masih butuh pemakluman dan perlu membimbing mereka agar lebih baik dalam urusan waktu. Karena waktu itu kejam,
hutang semenit menebusnya harus berjam-jam. Tentu itu merugikan..
Tidak
lama kemudian kami langsung naik angkot jurusan Plered yang tarifnya berkisar
Rp.10.000, sebenarnya dari Plered ke pintu masuk pendakian (Warung Kandang) masih
harus menempuh jarak yang jauh sedangkan saat itu sudah tengah malam sehingga
angkot yang menuju Warung Kandang tak ada lagi. Untuk itu cuma ada dua pilihan,
menyewa angkot dengan biaya yang mencapai Rp.250.000 atau naik ojek yang
berkisar Rp. 50.000. Karena kami hanya bertiga tentu sangat berat untuk menyewa
angkot sehingga lebih tertarik untuk naik ojeg yang ada di pasar Plered dengan
biaya yang telah ditawar. Setelah angkot yang kami naiki dari Ciganea tiba di
Plered kami pun lanjut menggunakan ojek, kendaraan yang membawa kami pun cukup
dua motor karena salah satu tukang ojeg bersedia memboncengkan dua orang
sekaligus yakni saya dan Kiki dengan tarif cukup murah Rp.50.000 sedangkan Egi
yang bonceng satu bayarnya Rp. 30.000. Padahal kalau saja mereka tidak
terlambat dan kita datang ke Plered lebih awal, akan ada angkot jurusan
Plered-Warung kandang dengan tarif Rp.10.000. Penyesalan tiadalah guna
Sekitar
setengah jam kemudian setelah motor melalui trek berliku dan jalanan yang curam
kami pun sampai di rumah seorang warga atau Pos 1, sebelum menuju pos 2 (tempat
registrasi) kami pun rehat sebentar di rumah warga tersebut untuk mengisi perut
yang kosong sejak sore dan mengecek kembali logistik pndakian. Disini saya
berjumpa dengan beberapa pendaki dari Presiden University Cikarang dan beberapa buruh pabrik yang mungkin jenuh akan rutinitas, dari pertemuan ini kami bertukar
pikiran.
Niatan
awal ke Pos 2 pukul 3 pagi tapi berhubung sudah membawa flysheet maka sayang
kalau hanya tidur di rumah warga, kami pun lanjut ke Pos 2 setelah makan dan
salat. Akhirnya kami sampai di tempat registrasi sekitar 15 menit dari pos ,
disini dikenai biaya Rp.5000 untuk tiap orang, selanjutnya kami mendirikan
tenda sederhana yang dibuat hanya menggunakan flysheet beralaskan jas hujan dan
matras. Setelah tenda berdiri kami pun memutuskan untuk istirahat walau
sebentar sebelum pendakian pagi nanti, dan benar saja pukul 3 pagi kami bangun tapi
sayangnya senter yang kami bawa tidak menyala dengan baik beruntungnya
rekan-rekan dari Presiden University dan teman dari buruh juga sudah bangun dan siap muncak, kebetulan tenda mereka berdiri di samping tenda kami. Akhirnya kami putuskan muncak bareng.
Kami pun berdoa bersama, sekecil
apapun gunung adalah alam yang tidak bisa diprediksi, untuk itu perlu waspada
dan tak boleh meremehkannya. Kami mulai melangkahkan kaki ke jalur yang menjulur di samping
tenda yang kami dirikan, sebuah jalur yang kami kira jalur ke puncak Bongkok, jalur yang
beberapa menit setelah dimasuki cukup curam dan rapat dengan semak berduri, cukup banyak yang terluka bayangkan saja saat terpeleset yang
dipegang bukan kayu atau akar tapi lidah daun berduri. Sampai akhirnya kami pada sebuah kondisi
kebingungan karena jalur yang kami telusuri tidak ada sambungannya lagi alias
buntu tertutup semak belukar yang rapat, kami pun berdiskusi dan menebak-nebak mana
sebenarnya jalur yang tepat, kami putuskan turun perlahan untuk mencari adanya
kemungkinan jalur lainnya yang mungkin tadi terlewat tetapi sama sekali tidak
kami temukan dan memutuskan untuk kembali ke pos 2, dan benar saja jalur yang
kami lalui tadi bukan jalur menuju puncak Bongkok tetapi jalur ke gunung lain
yang rutenya belum dibuka dan masih tertutup rapat.
Setelah
sejenak mencerahkan pikiran di Pos 2 kami memutuskan untuk melanjutkan summit attack
mumpung masih ada waktu sekitar 1,5 jam lagi sebelum matahari terbit. Awalnya
jalur cukup enak untuk didaki sampai pada ketinggian 700 m hingga 900 m jalur
sangat curam berkisar 90 derajat dan tali pengaman yang tersedia cukup membantu
kami yang sudah kelelahan, maklum tenaga kita sudah terkuras di jalur yang
salah sebelumnya. Akhirnya sebelum pukul 6 pagi kami mencapai puncak Bongkok di
ketinggian +900 m. Lalu terjadi peristiwa yang cukup menggelikan ternyata
kamera yang dibawa Egi baterainya tertinggal di tenda ahhh tidakk, kamera
handphone pun mati, dokumentasi pun terancam tiada. Bukan untuk eksis-eksisan
tapi pemandangan yang begitu apik dan cerah dari puncak Bongkok sangat sayang
untuk tidak diabadikan. Beruntung teman-teman dari President University
memberikan sedikit ruang memori kameranya untuk memotret kami. Seingat saya nama mereka adalah Bak
Pao, Tyo, dan Mr.X yang masih mengejar target agar diterima menjadi
anggota tetap organisasi pecinta alam di kampusnya.
Mungkin
itulah sedikit langkahku yang mampu kuceritakan. Ceritaku dari sudut kerinduan 90
derajat, sudut perjuangan, sudut yang bersiku, sudut yang terjal, antara
melepaskan atau memperjuangkan, yang pasti apa yang dilepas akan terbawa angin
dan takkan kembali kecuali tangan kita sendiri yang memungutnya, kalau kita
hanya melepas dan berharap kembali lalu hanya duduk terdiam tentu ia akan pergi
menjauh dan menjauh terbawa angin yang lebih kencang. Kok jadi puitis dan
gak nyambung gini…
Salam 90 derajat kerinduan ---
foto terima kasih (presiden univ.)
dan lain-lain
Comments
Post a Comment