Melukis hidup, ya setiap orang akan melukis hidupnya entah dengan tema apa dan warna apa. Kehidupan memiliki beragam versi ada yang penuh perjuangan dan mungkin sekedar mengandalkan warisan. Belum genap setahun dilepas di kehidupan nyata pasca kelulusan dari sebuah universitas, saya menemukan beragam fenomena yang menggugah selera, baik itu tentang orang lain maupun pengalaman bagi diri. Peta misterius kehidupan agaknya tidak cukup dipahami hanya berdasarkan teori atau motivasi-motivasi yang marak di televisi. Ia akan lebih terasa saat kita mampu menghadapi beragam tantangan ataupun pilihan dalam kehidupan. Kok panjang banget ya pengantarnya, yang jelas kita semua pernah dan akan mengalami beragam warna dalam hidup ini dengan bobot yang berbeda tentunya.
Dimulai dari seorang satpam yang saya temui di sebuah tempat, ia bercurhat sambil berkaca-kaca matanya. Seorang satpam yang mendatangi saya saat sedang duduk untuk sekedar ngobrol ngalor-ngidul sampai akhirnya dia menceritakan dirinya yang merupakan satpam baru di tempat tersebut, karena baru ya saya tanya memang sebelumnya di mana dan apakah berkarir satpam juga sebelumnya, dan pertanyaan-pertanyaan lain yang merujuk pada masa-masa yang telah lalu. Ia menjawab kalau dirinya pernah bekerja di perusahaan Jepang yang ada di kota ini namun... ah sudahlah mungkin lebih cakep kalau kisah ini dimulai dari secuil warna yang saya temui akhir-akhir ini saja, saya yang merupakan alumni sastra tetapi kok bisa "nyasar" kemana-mana dari perusahaan makanan sampai perusahaan yang bergerak di bidang otomotif sempat saya rasakan aromanya. Tapi dari situlah saya jadi tambah ngerti apa itu ilmu hidup.
Selain diundang oleh perusahaan makanan entah mengapa niatan awal sih pingin jadi reporter di daerah (biar bisa mengkritisi kebijakan setempat) malah nyasar jadi sales marketing mobil asal Jepang "M*t*ubis*i", sempat mendapat beberapa prospek sih namun tidak saya "follow up" karena saya tidak betah, setelah merasa sangat mantabbb bahwa apa yang saya lakukan tersebut bukan dunia saya alias "dunia lain" maka keluarlah saya dari job tersebut. Suara hati bilang "Kamu disini ngapain?" tentu saja saya ingin cari pengalaman dan berangan-angan menyalurkan angan agar menjadi seorang "pedagang sukses" atau apalah. Ya memang sih mendapatkan bermacam pengalaman, bisa mengenal banyak orang di lapangan, ngobrol sama rekan kerja lain yang paham dengan ilmu pemasaran, ketemu dengan customer dari berbagai jenjang yang sekedar menawar ataupun berniat membeli mobil impian, ya bisa dimaklumi mobil yang saya jual adalah mobil yang cukup digemari oleh kelas menengah seperti Out*nde*, Paj**o, S*ra*da, Del*c* yang bagi sebagian orang cukup menguras kantong. Sebenarnya bisa cepat kaya sih kalau saja mau dan mampu menjual mobil seperti ini dengan serius, ya sih kagak jual mobil pun kalau tekun bisa cepet sukses. Awalnya juga sih iseng aja, iseng-iseng berhadiah sambil nunggu yang mungkin pantas ditunggu. Keisengan tersebut malah membuat perusahaan merekrut saya. Di sisi lain atau pas mahasiswa dulu sebenarnya pingin banget jadi wirausahawan muda, untuk itu pingin uji mental dengan jualan mobil seperti ini tapi ternyata tak mudah :) soalnya dulu kalau sama kawan-kawan jualnya donat atau risol itupun tiap pekan :). Sebagai mantan organisator saya punya beberapa kenalan tapi saya tidak mempedulikan hal itu dalam menawarkan barang yang saya jual, lebih suka riwa-riwi dengan rekan lain di pameran atau pasar, disana bisa ngobrol dengan banyak orang dari satpam, tukang sate, hingga petinggi perusahaan. Tapi pernah juga sih menawarkan barang ke salah satu kenalan yang sekarang menjabat di sebuah lembaga pemerintahan "X", dia sih minta maaf gak beli mobil malah si dia nawarin job yang mungkin lebih "bergengsi" tapi saya menolak, lebih suka mencari sendiri terbang bersama suara hati (bergaya angkuh :) ) meski tak dinafikkan sebenarnya juga pingin tapi lagi-lagi suara hati bilang "Memang lu gak ingin berjuang dari keringet sendiri?" lebih enak loh, lebih terasa loh. Ah sudahlah mengapa saya begitu percaya pada suara hati? padahal di sana kan banyak yang enak-enak. :D
Entahlah, mengapa Tuhan menciptakan hati yang seperti ini. Tapi saya yakin banyak hikmah tersembunyi.
Suatu waktu di sebuah Industri Makanan
Saat datang ke perusahaan makanan yang terletak di kawasan industri "C" untuk menghadiri panggilan wawancara, saya datang begitu pagi itung-itung biar kelihatan sama Gusti Allah kalau saya serius mencari kerja, mencari rezeki buat modal nikah (oh tidak juga begitu, intinya hidup harus kerja, kerja, dan kerja). Lama duduk termenung di ruang tunggu tiba-tiba datang seorang muda yang baru datang dengan mengumbar senyum, sampai pada akhirnya terjadi ngobrol yang begitu intens dan ternyata dia alumni dari kampus saya di fakultas manajemen tahun 2000-an. Saya pikir tak akan pernah menemukan teman almamater di kota pengasingan seperti ini :) rupanya salah, ada juga.
Dia curhat sebenarnya sudah bekerja di sebuh perusahaan, pernah juga mendirikan Perseroan tetapi gulung tikar akibat salah urus dan itu bukan sekali dua kali tapi tiga kali mendirikan, ya demi kehidupan yang terus berlanjut, demi istri dan anaknya yang masih kecil maka menjadi kuli di perusahaan orang lain lebih baik daripada gengsi tapi anak tak bisa minum susu. Pada akhirnya saya pun cuma bisa menertawakan diri saya sendiri yang belum begitu paham akan pahitnya dunia ini. Tak lama setelah itu, sedikit kepahitan pun datang kepahitan yang tak begitu pahit malah bikin ketawa ketika saya harus berhadapan dengan pihak perusahaan saat wawancara "Maaf kami belum bisa menerima Anda, karena tidak sesuai dengan apa yang kami butuhkan, kami butuh yang berpengalaman dalam pengawasan produksi makanan (GMP)", di dalam hati "ya iyalah om, saya juga tahu kalau guwa tidak belajar ilmu yang gituan, kan saya datang atas undangan sampean" saya kira ada kerjaan untuk posisi periklanan produk olahan kalian, kan sedikit-dikit dulu saya belajar ilmu linguistik yang tiap tugasnya merancang dan menganalisa kata-kata, jadi mungkin bisa diandalkan dalam konsep pemasaran. Akhirnya selesai dan pulang dengan membawa kenangan yang begitu aneh tersebut.
Suatu waktu dengan seorang satpam
Kembali soal satpam yang saya temui di sebuah tempat, ia rupanya lulusan sebuah universitas. Berkaca-kaca matanya karena menceritakan nasibnya kini yang sudah berubah 180 derajat dari awalnya seorang yang dipercaya perusahaan dan mendapatkan tempat yang cukup strategis yang tentu membuatnya berpenghasilan besar. Bekerja di sebuah perusahaan besar milik Jepun Hi*ac** tentunya dibutuhkan kedisiplinan dan kejujuran yang tinggi, tapi di posisi strategis tersebut justru membuatnya kurang begitu sadar dan teliti akan banyaknya resiko yang dimiliki, saat rekan-rekan divisinya melakukan pemalsuan laporan atau korup dan mark up dia merasa tidak terlibat dan hanya menjalankan tugas yang sewajarnya, tapi pada akhirnya pihak perusahaan menyapu habis jajaran yang berada di dalam divisi tersebut, dengan alasan semuanya terlibat. Padahal si dia berkali-kali bersumpah tidak terlibat. Maka karir yang sudah dibangun puluhan tahun pun berakhir, menyisakan depresi yang tak berkesudahan dan berimbas ke anak istrinya. Dalam depresi yang tak berkesudahan, keluarga selalu memberikan semangat sampai akhirnya dia berpikir untuk mencari pekerjaan lain dari pekerjaan sopir hingga satpam dilakukannya, yang penting melakukan pekerjaan halal sambil menemukan pekerjaan yang mungkin lebih sesuai. Setelah saya keluar dari perusahaan otomotif saya tak berjumpa lagi orang tersebut, sekali lagi ternyata saya begitu sadar bahwa saya mendapat pelajaran dari orang lain, orang yang mungkin tak kita sangka bahwa mereka sebenarnya lebih luas alam pikirnya dari kita, Bahwa kehidupan ini harus dijalani apapun resikonya, dan saya tentu harus mempersiapkan segalanya dengan baik dalam menghadapi hari esok.
Pers dan Oemar Bakrie
Ketertarikan saya pada dunia pers dan mengajar belum pupus, akhirnya saya pun lebih berfokus untuk menjadi wartawan ataupun guru saja. Hingga pada suatu waktu saya mendapatkan undangan dari sebuah sekolahan dan sebuah harian nasional sekaligus. Sebuah sekolahan di sebuah kota yang menginginkan saya untuk mengajar disana, sedangkan status saya masih dalam seleksi tahap lanjutan di sebuah harian nasional tersebut, tentu hal ini membuat saya harus memilih, dan akhirnya saya lebih memilih menjadi tenaga pengajar dengan alasan yang sudah dipikirkan tentunya. Ya menjadi guru mungkin sebuah pilihan bagi sebagian orang, maka tak heran ada juga sarjana keguruan yang lebih memilih menjadi pegawai bank he,, mungkin karena gaji guru seperti dikebiri (kata Iwan Fals). Tapi tidakkah kita tahu, ilmu yang kita bagikan dan senyum anak-anak yang ceria setiap pagi lebih "berharga" daripada gaji yang menumpuk tapi kadang tak menenangkan hati. Mungkin bahasa lainnya adalah keberkahan, entah nantinya gimana yang jelas setiap orang akan dihadapkan pada kondisi realita kehidupan pada saatnya, utamanya ketika sudah berkeluarga, dan pikiran yang berbau idealis akan pudar begitu saja. Sekali lagi, entah mengapa saya begitu percaya pada suara hati.
dan lain-lain...
Mungkin perjalanan aneh ini bukan karena Tuhan begitu iseng, atau saya yang iseng-iseng buang waktu tapi ada secerca nilai-nilai kehidupan yang saya temui di luar sini yang memberikan pelajaran bagi saya untuk menjalani hidup yang lebih baik dan bermanfaat kedapannya nanti, mempertahankan prinsip dan memilih. Semoga.
Entah warna apalagi yang akan saya temui....
Terima kasih kapada pak satpam, tukang sate, sales mobil, orang bangkrut, tanpa kalian perjalanan ini kurang begitu berwarna...
Dimulai dari seorang satpam yang saya temui di sebuah tempat, ia bercurhat sambil berkaca-kaca matanya. Seorang satpam yang mendatangi saya saat sedang duduk untuk sekedar ngobrol ngalor-ngidul sampai akhirnya dia menceritakan dirinya yang merupakan satpam baru di tempat tersebut, karena baru ya saya tanya memang sebelumnya di mana dan apakah berkarir satpam juga sebelumnya, dan pertanyaan-pertanyaan lain yang merujuk pada masa-masa yang telah lalu. Ia menjawab kalau dirinya pernah bekerja di perusahaan Jepang yang ada di kota ini namun... ah sudahlah mungkin lebih cakep kalau kisah ini dimulai dari secuil warna yang saya temui akhir-akhir ini saja, saya yang merupakan alumni sastra tetapi kok bisa "nyasar" kemana-mana dari perusahaan makanan sampai perusahaan yang bergerak di bidang otomotif sempat saya rasakan aromanya. Tapi dari situlah saya jadi tambah ngerti apa itu ilmu hidup.
Selain diundang oleh perusahaan makanan entah mengapa niatan awal sih pingin jadi reporter di daerah (biar bisa mengkritisi kebijakan setempat) malah nyasar jadi sales marketing mobil asal Jepang "M*t*ubis*i", sempat mendapat beberapa prospek sih namun tidak saya "follow up" karena saya tidak betah, setelah merasa sangat mantabbb bahwa apa yang saya lakukan tersebut bukan dunia saya alias "dunia lain" maka keluarlah saya dari job tersebut. Suara hati bilang "Kamu disini ngapain?" tentu saja saya ingin cari pengalaman dan berangan-angan menyalurkan angan agar menjadi seorang "pedagang sukses" atau apalah. Ya memang sih mendapatkan bermacam pengalaman, bisa mengenal banyak orang di lapangan, ngobrol sama rekan kerja lain yang paham dengan ilmu pemasaran, ketemu dengan customer dari berbagai jenjang yang sekedar menawar ataupun berniat membeli mobil impian, ya bisa dimaklumi mobil yang saya jual adalah mobil yang cukup digemari oleh kelas menengah seperti Out*nde*, Paj**o, S*ra*da, Del*c* yang bagi sebagian orang cukup menguras kantong. Sebenarnya bisa cepat kaya sih kalau saja mau dan mampu menjual mobil seperti ini dengan serius, ya sih kagak jual mobil pun kalau tekun bisa cepet sukses. Awalnya juga sih iseng aja, iseng-iseng berhadiah sambil nunggu yang mungkin pantas ditunggu. Keisengan tersebut malah membuat perusahaan merekrut saya. Di sisi lain atau pas mahasiswa dulu sebenarnya pingin banget jadi wirausahawan muda, untuk itu pingin uji mental dengan jualan mobil seperti ini tapi ternyata tak mudah :) soalnya dulu kalau sama kawan-kawan jualnya donat atau risol itupun tiap pekan :). Sebagai mantan organisator saya punya beberapa kenalan tapi saya tidak mempedulikan hal itu dalam menawarkan barang yang saya jual, lebih suka riwa-riwi dengan rekan lain di pameran atau pasar, disana bisa ngobrol dengan banyak orang dari satpam, tukang sate, hingga petinggi perusahaan. Tapi pernah juga sih menawarkan barang ke salah satu kenalan yang sekarang menjabat di sebuah lembaga pemerintahan "X", dia sih minta maaf gak beli mobil malah si dia nawarin job yang mungkin lebih "bergengsi" tapi saya menolak, lebih suka mencari sendiri terbang bersama suara hati (bergaya angkuh :) ) meski tak dinafikkan sebenarnya juga pingin tapi lagi-lagi suara hati bilang "Memang lu gak ingin berjuang dari keringet sendiri?" lebih enak loh, lebih terasa loh. Ah sudahlah mengapa saya begitu percaya pada suara hati? padahal di sana kan banyak yang enak-enak. :D
Entahlah, mengapa Tuhan menciptakan hati yang seperti ini. Tapi saya yakin banyak hikmah tersembunyi.
Suatu waktu di sebuah Industri Makanan
Saat datang ke perusahaan makanan yang terletak di kawasan industri "C" untuk menghadiri panggilan wawancara, saya datang begitu pagi itung-itung biar kelihatan sama Gusti Allah kalau saya serius mencari kerja, mencari rezeki buat modal nikah (oh tidak juga begitu, intinya hidup harus kerja, kerja, dan kerja). Lama duduk termenung di ruang tunggu tiba-tiba datang seorang muda yang baru datang dengan mengumbar senyum, sampai pada akhirnya terjadi ngobrol yang begitu intens dan ternyata dia alumni dari kampus saya di fakultas manajemen tahun 2000-an. Saya pikir tak akan pernah menemukan teman almamater di kota pengasingan seperti ini :) rupanya salah, ada juga.
Dia curhat sebenarnya sudah bekerja di sebuh perusahaan, pernah juga mendirikan Perseroan tetapi gulung tikar akibat salah urus dan itu bukan sekali dua kali tapi tiga kali mendirikan, ya demi kehidupan yang terus berlanjut, demi istri dan anaknya yang masih kecil maka menjadi kuli di perusahaan orang lain lebih baik daripada gengsi tapi anak tak bisa minum susu. Pada akhirnya saya pun cuma bisa menertawakan diri saya sendiri yang belum begitu paham akan pahitnya dunia ini. Tak lama setelah itu, sedikit kepahitan pun datang kepahitan yang tak begitu pahit malah bikin ketawa ketika saya harus berhadapan dengan pihak perusahaan saat wawancara "Maaf kami belum bisa menerima Anda, karena tidak sesuai dengan apa yang kami butuhkan, kami butuh yang berpengalaman dalam pengawasan produksi makanan (GMP)", di dalam hati "ya iyalah om, saya juga tahu kalau guwa tidak belajar ilmu yang gituan, kan saya datang atas undangan sampean" saya kira ada kerjaan untuk posisi periklanan produk olahan kalian, kan sedikit-dikit dulu saya belajar ilmu linguistik yang tiap tugasnya merancang dan menganalisa kata-kata, jadi mungkin bisa diandalkan dalam konsep pemasaran. Akhirnya selesai dan pulang dengan membawa kenangan yang begitu aneh tersebut.
Suatu waktu dengan seorang satpam
Kembali soal satpam yang saya temui di sebuah tempat, ia rupanya lulusan sebuah universitas. Berkaca-kaca matanya karena menceritakan nasibnya kini yang sudah berubah 180 derajat dari awalnya seorang yang dipercaya perusahaan dan mendapatkan tempat yang cukup strategis yang tentu membuatnya berpenghasilan besar. Bekerja di sebuah perusahaan besar milik Jepun Hi*ac** tentunya dibutuhkan kedisiplinan dan kejujuran yang tinggi, tapi di posisi strategis tersebut justru membuatnya kurang begitu sadar dan teliti akan banyaknya resiko yang dimiliki, saat rekan-rekan divisinya melakukan pemalsuan laporan atau korup dan mark up dia merasa tidak terlibat dan hanya menjalankan tugas yang sewajarnya, tapi pada akhirnya pihak perusahaan menyapu habis jajaran yang berada di dalam divisi tersebut, dengan alasan semuanya terlibat. Padahal si dia berkali-kali bersumpah tidak terlibat. Maka karir yang sudah dibangun puluhan tahun pun berakhir, menyisakan depresi yang tak berkesudahan dan berimbas ke anak istrinya. Dalam depresi yang tak berkesudahan, keluarga selalu memberikan semangat sampai akhirnya dia berpikir untuk mencari pekerjaan lain dari pekerjaan sopir hingga satpam dilakukannya, yang penting melakukan pekerjaan halal sambil menemukan pekerjaan yang mungkin lebih sesuai. Setelah saya keluar dari perusahaan otomotif saya tak berjumpa lagi orang tersebut, sekali lagi ternyata saya begitu sadar bahwa saya mendapat pelajaran dari orang lain, orang yang mungkin tak kita sangka bahwa mereka sebenarnya lebih luas alam pikirnya dari kita, Bahwa kehidupan ini harus dijalani apapun resikonya, dan saya tentu harus mempersiapkan segalanya dengan baik dalam menghadapi hari esok.
Pers dan Oemar Bakrie
Ketertarikan saya pada dunia pers dan mengajar belum pupus, akhirnya saya pun lebih berfokus untuk menjadi wartawan ataupun guru saja. Hingga pada suatu waktu saya mendapatkan undangan dari sebuah sekolahan dan sebuah harian nasional sekaligus. Sebuah sekolahan di sebuah kota yang menginginkan saya untuk mengajar disana, sedangkan status saya masih dalam seleksi tahap lanjutan di sebuah harian nasional tersebut, tentu hal ini membuat saya harus memilih, dan akhirnya saya lebih memilih menjadi tenaga pengajar dengan alasan yang sudah dipikirkan tentunya. Ya menjadi guru mungkin sebuah pilihan bagi sebagian orang, maka tak heran ada juga sarjana keguruan yang lebih memilih menjadi pegawai bank he,, mungkin karena gaji guru seperti dikebiri (kata Iwan Fals). Tapi tidakkah kita tahu, ilmu yang kita bagikan dan senyum anak-anak yang ceria setiap pagi lebih "berharga" daripada gaji yang menumpuk tapi kadang tak menenangkan hati. Mungkin bahasa lainnya adalah keberkahan, entah nantinya gimana yang jelas setiap orang akan dihadapkan pada kondisi realita kehidupan pada saatnya, utamanya ketika sudah berkeluarga, dan pikiran yang berbau idealis akan pudar begitu saja. Sekali lagi, entah mengapa saya begitu percaya pada suara hati.
dan lain-lain...
Mungkin perjalanan aneh ini bukan karena Tuhan begitu iseng, atau saya yang iseng-iseng buang waktu tapi ada secerca nilai-nilai kehidupan yang saya temui di luar sini yang memberikan pelajaran bagi saya untuk menjalani hidup yang lebih baik dan bermanfaat kedapannya nanti, mempertahankan prinsip dan memilih. Semoga.
Entah warna apalagi yang akan saya temui....
Terima kasih kapada pak satpam, tukang sate, sales mobil, orang bangkrut, tanpa kalian perjalanan ini kurang begitu berwarna...
Comments
Post a Comment