Dimulai
dari sebuah rencana perjalanan untuk mengisi liburan panjang akhir pekan di
bulan Mei 2016 (lebih tepatnya 6-8 Mei), akhirnya kami memutuskan untuk mendaki
Ciremai. Saya dan Pak Budi menyiapkan
beberapa hal dari bekal sampai rencana jalur pendakian yang akan kita lalui. Di
antara Linggarjati, Palutungan, dan Apuy kami akhirnya memutuskan untuk mendaki
dari jalur Palutungan yang bagi kami lebih logis dalam segi persiapan fisik
maupun bekal, karena jalur Linggarjati terlalu jauh dan lebih ekstrim apalagi
kami hanya bertiga. Selain saya dan Pak Budi ada Pak Toha yang ikut. Pak Toha
salah satu rekan kerja kami yang ingin ikut, dia belum pernah mendaki ddan
measa penasaran dengan ajakan kami yang memang kekurangan personil.
Akhirnya
setelah mempersiapkan berbagai hal, seperti perlengkapan dan konsumsi kami
pun memantapkan diri untuk berangkat
pada Jumat, 6 Mei 2016. Sekitar pukul 08.00 Wib kami berangkat menggunakan Bis
Primajasa jurusan Cikarang – Bandung karena kami akan turun di Cikopo dan
melanjutkan bis jurusan Kuningan. Perjalanan pun dimulai, kami bertiga menaikki
bis Primajasa kelas ekonomi yang tarifnya 10 Ribu. Di tengah perjalanan saat
bis melewati Karawang ada dua orang yang memanggul cariel besar, terbesit di
dalam pikiran mereka mau naik gunung juga tapi entah gunung apa. Bis pun
berhenti dan mereka menaiki bis yang kami naiki. Setelah lama melaju, bis pun
sampai Cikopo. Saat kami akan turun, salah satu dari dua orang yang tadi saya
ceritakan menyakan ke kami akan mendaki gunung apa, kami pun menjawab kalau
kami akan ke Ciremai. Kami pun berbalik tanya dan mereka pun memiliki destinasi
yang sama yakni ke Gunung Ciremai. Tapi jalur yang mereka tuju berbeda dengan
jalur yang sudah kami rencanakan, mereka Linggarjati sedangkan kami berniat
untuk mendaki melalui jalur Palutungan. Namun beberapa saat kemudian setelah
turun dari bis dan menunggu bis menuju Kuningan, kami pun mengubah rencana
pendakian untuk start dari Linggarjati saja bersama dua orang tersebut. Nama
keduanya adalah Kukuh dan Krisna yang sedang libur kerja dan mencari
petualangan. Semenjak saat inilah kami berlima menjadi satu tim pendaki.
Bis
tujuan Kuningan pun datang, bis “Sahabat” bukan bis “Luragung” yang sebenarnya
kami tunggu, namun demi waktu yang sudah semakin siang kami pun memutuskan naik
bis “Sahabat” ini dengan tarif Rp.75.000. Cukup mahal tapi lumayan bisnya
ber-ac dan tak banyak berhenti. Perjalanan pun berlalu sampai pada akhirnya
kami sampai di Cirebon, eh bis ini hanya sampai tol Ciperna dan mengoper kami
dengan elf untuk menuju daerah Linggarjati. Kernet bis tadi sempat bilang agar tak
usah bayar saat naik elf karena sudah dicover biaya bis eh tapi pas elf sampai
di Linggarjati kami berlima tetap diminta tambahan ongkos karena dianggap masih
kurang biaya. Kernet bis Cuma ngasih Rp. 20.000 untuk sopir Elf, padahal
semestinya bayar Rp. 40.000 jadi kurang Rp 20.000 lagi. Jadi sekedar saran saja
kita harus pandai mencari dan menawar bis agar mendapat bis yang nyaman dan
tidak repot dioper-oper.
Sekitar
pukul 14.00 wib kami pun sampai di pertigaan Linggarjati. Sesampaianya di
Linggarjati kami pun beristirahat sejenak sambil mengecek logistik yang
sekiranya kurang, setelah semuanya sudah lengkap kami pun mencarter kendaraan
dengan biaya perorang Rp. 8000 menuju base camp pendakian. Tak lama setelah
kami datang dan registrasi pendakian hujan pun datang tak kunjung henti
sehingga membuat kami untuk menunda pendakian, sampai sekitar 16.50 Wib kami
pun melaksanakan pendakian menuju Pos 1 (Cibunar). Pos Cibunar sendiri masih
berada di sekitar lingkungan peedesaan namun rute yang menanjak sepanjang jalan
cukup menguras tenaga. Pos Cibunar merupakan pos pertama pendakian Gunung
Ciremai dari Linggarjati, di pos ini kita dapat melihat pepohonan pinus yang
menyegarkan dan menyejukkan perasaan setleah kurang lebih 45 menit berjalan
dari basecamp. Di pos ini senja sudah mulai lusuh dan akan berganti dengan
petang, namun setelah rehat sejenak di sebuah gubuk kami meutuskan untuk
melanjutkan ke pos-pos selanjutnya harapannya agar dapat mendirikan tenda di
pos yang dekat dengan puncak sebelum teengah malam.
Pos
demi pos pun kami lalui di tengah gelapnya malam dan secerca cahaya senter yang
kami bawa, dari Leuweung Datar sampai Kuburan Kuda. Saat perjalanan sempat
menemui beberapa pendaki yang turun dan kehausan meminta air. Kami pun sempat
rehat pada sebuah pos bayangan untuk melaksanakan sholat, di Pos tersebut pula
ada seorang pendaki wanita yang tidak ikut dengan rekannya karena cidera pada
kakinya. Oh ya, vegetasi dari Pos Cibunar sampai kuburan Kuda adalah tanaman
kopi, pepohonan besar dan rindang, dan kadang kita menemukan semak rerumputan
lebat, vegetasi ini akan kami temukan hingga pos Sangga Buana.
Pada
akhirnya kami pun memutuskan untuk mendirikan di Pos Kuburan Kuda saja kareena
salah stu darri rekan kami sudah terlihat tidak fokus, Si Toha yang memang
tidak banyak omong sudah terlihat lelah. Sedangkan pos-pos setelah Kuburan Kuda
sudah dipastikan adalah trek tanjakan sehingga akan menambah beban dan
kelalahan oleh karenannya kami memutuskan untuk istirahat di sini dan akan
melanjutkan perjalanan esok pagi. Sekitar pukul 9.30 Wib malam kami sampai di
Pos Kuburan Kuda yang dikenal angker tersebut tetapi terlihat biasa saja karena
di sekitar kami banyak tenda yang berdiri.
Setelah
mencari tempat yang cocok untuk mendirikan tenda kami pun langsung mendirikan.
Tak lama setelahnya kami memasak untuk mengisi perut kami yang sudah lapar.
Setelahnya kami isi dengan obrolan basa-basi untuk saling mengenal di antara
kami yang baru kenal. Demi mempersiapkan pendakian besok kami pun harus cepat
tidur agar tetap bugar. Sehinggga setelah ngobrol naglor-ngidul kami pun memutuskan
tidur di tenda yang kapasitasnya sebenarnya empat tapi diisi lima orang, walau
begitu ruang yang ada sangat cukup dan menambah suasana hangat ddi dalam tenda.
Kami merencanakan pendakian besok pada pukul 5.00 Wib.
Jam
05.00 Wib 7 Mei 2016 pun tiba tetapi di antara kami masih banyak yang ngantuk
dan melanjutkan tidur sampai pukul 06.00 Wib. Dengan semangat baru dan sarapan
secukupnya (walau bukan nasi) kami akan memulai pendakian sekarang dengan
diiringi doa.
Langkah
demi langkah pun kami gapai, lelah menghadapi tanjakan berusaha kami tutupi
dengan semangat percaya diri untuk mendapatkan Puncak Ciremai. Walau puncak
adalah bonus tetapi ia adalah bonus yang harus didapatkan, dengan rasa sadar
akan kemampuan diri dan kesabaran tentunya. Pos demi pos dan tanjakan demi
tanjakan kami lalui. Jujur jalur Ciremai via Linggarjati itu membutuhkan tenaga
ekstra dan payah melebihi pendakian Slamet via Bambangan, namun rasa-rasanya
hal tersebut tidak membuat saya patah arah, pengalaman seperti ini bahkan lebih
berat pernah saya dapatkan saat mendaki Gunung Argopuro di Jawa Timur sehingga
tidak terlalu pesimis untuk menakulukkan tantangan yang ada. Namun persiapan
fisik yang kurang sebelum mendaki Ciremai saya akui membuat saya begitu lelah,
bahkan untuk membawa ransel perlengkapan pribadi saat ke Puncak begitu berat
sehingga ditawari teman untuk dibawakan.
Pos
Pangalap (sekitar 1 jam), Tanjakan Seruni (Sekitar 1,5 jam), Tanjakan Bapa Tere
(1,5 jam), Batu Lingga (1 jam), hingga Sangga Buana (2 jam). Sekitar 6 jam
perjalanan atau sekitar pukul 12.00 wib kami tiba di Pos Sangga Buana, di Pos
ini kami sengaja berhenti karena hujan dan menunda perjalanan ke Puncak. Hujan
turun cukup deras dan awet sehingga kami memutuskan untuk berlindung di bawah flysheet dan tenda yang sudah berdiri
oleh teman pendaki lain yang menawarkan tumpangan. Dengan pertimbangan licinnya
jalan untuk menuju Pos Pengasinan dan Puncak maka kami cukup lama menunggu
hujan reda di Pos Sangga Buana ini.
Kami
berlima awalnya menunggu hujan reda sepenuhnya agar tidak terjadi hal yang
diharapkan. Tetapi Pak Budi dan Toha meminta izin untuk menuju Pos Pengasinan terlebih
dahulu, kami pun mempersilahkan, dan kami bertiga akan segera menyusul ketika
hujan sudah benar-benar reda. Sekitar pukul 12.30 wib saya, Kukuh, dan Krisna
segera menyusul ke Pos Pengasinan saat hujan sudah mulai reda. Dengan nafas
agak terengap-engap karena menahan lelah, kami pun sampai di Pengasinan dan
bertemu dua rekan kami yang sudah duluan berangkat.
Di Pos Pengasinan ini saya di tawari
oleh Kukuh untuk melanjutkan perjalanan apa tidak, dengan semangat saya jawab “Ya”.
Dia mungkin melihat kondisi langkah saya yang agak gontai dan tak kuat merangkul
tas, tapi dia sebagai orang yang baru kenal mungkin hanya menilai saya dari
luar saja heee tanpa melihat peengalaman saya dalam mendaki gunung yang lebih
menantang daripada Ciremai. Padahal badai gunung, kedinginan dan tremor,
tersesat, dan kehabisan bekal pernah saya alami dalam beberapa pendakian. Hanya
saja setelah terkena tipes memang kondisi fisik saya akui melemah karena dalam
masa pemulihan jarang berolahraga dan mengatur napas, saat di rawat di rumah
sakit juga saya tidak tahu jenis cairan apa saja yang banyak disuntikkan ke
dalam tubuh sehingga mempengaruhi kekuatan saya haa. Dengan semangat itulah
saya dalam kondisi yang cukup lelah berusaha menggapai Puncak Ciremai dari
Pengasinan dengan langkah yang tersisa. Setelah menahan sabar sekitar 1 jam
saya pun sampai di Puncak Ciremai. Kukuh, Krisna, dan Pak Budi lebih awal
sampai di Puncak Ciremai yang ketinggiannya 3078 disusul saya kemudian Pak Toha
yang sudah tampak kelelahan. Sampai di Puncak sekitar Pukul 13.30 wib sehinngga
pemandangan yang ada dihiasi oleh kabut yang lewat silih berganti berdatangan,
sehingga menambah kesan mistis Ciremai.
Kami
tidak berlama-lama di Puncak, Kukuh dan Krisna undur lebih dahulu agar segera
sampai di Pos Kuburan Kuda lebih awal karena akan memasak. Beberapa menit
kemudian sekitar pukul 14.00wib kami pun segera menyusul. Dalam perjalanan,
hujan kembali turun, saya dan Pak Budi sempat terhenti di Batu Lingga untuk
menunggu Pak Toha yang tak kunjung tiba
karena langkahnya yang tak begitu cepat (mungkin sudah lelah). Setelah setengah
jam menunggu di Pos Batu Lingga kami melanjutkan perjalanan lagi di tengah
hujan yang tak kunjung reda. Senja pun datang di tengah perrjalanan kami. Jalanan
untuk turun sudah seperti sungai yang mengalir, ditambah tanah yang semakin
licin dan becek, pakaian juga sudah ditembus air padahal sudah memakai jass
hujan rapat.
Sampai
akhirnya malam datang dan terkesan mencekam karena jalan yang kami turunin
gelap dan curam. Senter yang kami bawa juga semakin redup. Untungnya saat kami
turun bertemu rombongan lain sehingga kami tidak terbawa cemasnya suasana gelap
dan dingin tersebut. Beberapa rombongan lain juga ada yang mendermakan tali
untuk memudahkan rombongan lain turun. Meski begitu banyak juga yang terpeleset
dan jatuh, bahkan saya sempat memegang tumbuhan beduri, sehingga menancap di
telapak tangan tapi untungnya memakai sarung tangan.
Setelah
berjam-jam menerjang hujan, menembus gelap, dan jatuh-bangun di licinnya pos-pos
Linggarjati akhirnya sekitar pukul 20.00 Wib kami sampai di Pos Kuburan Kud
tempat camp kami. Perasaan pun kembali lega dapat berkumpul kembali untuk
mengahangatkan diri bersama teman-teman.
Setelah
santap malam dan ngobrol ngalor-ngidul kami
akhirnya memutuskan untuk tidur agar esok pagi dapat melanjutkan perjalanan
dengan prima.
Akhirnya,
pagi datang sekitar pukul 06.00 wib 8 Mei 2016 kami membongkar tenda dan
melanjutkan perjalanan turun ke Basecamp
utama pendakian. Sekitar pukul 09.30 wib kami sampai setelah melewati berbagai
turunan dan istirahat. Tidak lupa kami membawa sampah-sampah kami saat
mendirikan tenda di Pos Kuburan Kuda sebagai bentuk tanggung jawab kami
terhadap lingkungan yang kami singgahi agar tidak menjadi kotor.
Sesampainya di Basecamp kami tidak langsung pulang melainkan istirahat dan
memebersihkan diri setelah berkotor-kotor. Sekitar pukul 12.00 wib kami
melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki untuk mencari angkot umum bukan
mencarter, kalau mencarter kena tarif Rp 10.000/ orang tapi angkot yang kami
naiki Cuma Rp.5000/ orang. Sesampainya di pertigaan Linggarjati, kami tidak
langsung naik kendaraaan meski banyak yang berlalu lalang dan menawari kami
dengan alasan mencari tarif yang pas sesuai kantong. Sekitar pukul 14.00 kami
sepakat untuk naik Luragung tujuan Cikopo dengan tarif Rp.50.000/ orang.
Termasuk murah meriah dibandingkan dengan tarif bis saat berangkat atau bis
yang sebelunya lewat, mereka menawarkan Rp.60.000 –Rp.70.000. Sekian
Biarkan langkah ini tetap ada
Pada dasarnya langkah hanyalah
alasan manusia untuk melupa
Melupa bayangan, kenangan, atau
rindu yang tak bertepi
Atau sebatas emosi yang tak kunjung
reda
Biarkan langkah ini tetap ada
Ia akan menjadi jejak
Jejak yang takkan terlupa
Mengukir nama kita
Saat kita redup terbawa angin
Hilang dalam bayang kabut
Atau tenggelam dalam debur semesta
Biarkan langkah ini tetap ada
Langkah yang tak kunjung lelah
Comments
Post a Comment