Skip to main content

Point Of View Pertunjukan Wayang Kulit: Lakon Kumbakarno Gugur Dalam Kaitannya dengan Kehidupan Politik Berbangsa dan Bernegara di Indonesia


Pendahuuan

Wayang sebagai kebudayaan nasional memiliki sejarah panjang dalam berbagai konteks dan dinamika kehidupan di Nusantara hingga menjadi negara yang bernama Indonesia. Menjadi alat ritual sesembahan terhadap dewa, menjadi alat dakwah, menjadi alat seni pertunjukan untuk menghibur masyarakat, hingga menjadi alat kekuasaan orang-orang yang berkuasa yang  berusaha memanfaatkannya, baik untuk suksesi diri dan golongannya maupun penanaman ideologi kepada orang lain melalui wayang.

Dinamika perpolitikan di negri ini pun ada kalanya selalu dikaitkan dengan kehidupan dalam dunia wayang, baik itu nilai-nilai moralitas dalam wayang hingga hakikat penciptaan manusia dan kehidupan berbangsa dan bernegara yang sering di gambarkan dalam  wayang. Beberapa tokoh pergerakan nasional sering juga mengidentitaskan dirinya sebagai salah satu tokoh wayang yang tentunya dapat disimpulkan bahwa ia mencita-citakan dirinya sebagai orang yang ideal layaknya dalam kehidupan wayang ataupun sekedar pencitraan belaka guna mendapat respon positif dari rakyat maupun massa.

Tokoh Kumbakarno dalam tulisan ini, diangkat karena tokoh ini memiliki karakter kesatria dan setia pada negera meski wujudnya yang raksasa dan merupakan saudara dari Rahwana (Dasamuka) yang menjadi pemimpin lalim. Kesetiaan pada negera inilah yang tentunya berkaitan erat dengan dunia perpolitikan sekarang yang semakin berwarna dan berkarakter baik itu positif maupun negatif. Kumbakarno yang berwujud raksasa masih memiliki cinta terhadap negerinya, tetapi dalam perpolitikan di negeri ini orang-orang yang banyak mencitrakan diri dengan retorika dan mengumbar kebaikan lainnya, justru dalam kinerjanya dan tingkah lakunya seperti raksasa dan terkesan mencari keuntungan dari kekuasaan yang dimilikinya yang tentunya merugikan rakyat dan negara.

Oleh karena itu Lakon Kumbakarno Gugur yang pernah saya lihat dalam pertunjukkan wayang kulit oleh Ki Enthus Susmono dalam suatu acara, tentunya menjadi reflksi diri tentang hakikat dari mencintai negara itu seperti apa.

Wayang dan Ideologi Perpolitikan

Wayang selain sebagai alat pertunjukan yang di dalam pertunjukkan itu sendiri seorang Dalang dapat memberikan pesan-pesan luhur ataupun pesan “pesanan” tentu menjadi alat yang sangat membantu dalam rangka menyebarkan nilai-nilai seseorang yang dimiliki oleh dirinya ataupun golongan yang bersamanya. Penanaman ideologi tentunya terbilang sukses saat kepemimpinan Soeharto, dimana melalui wayang, sang presiden ini berusaha menyampaikan ideologi Pancasila kepada masyarakatnya. Terlepas dari hegemoni Jawa kala kepemimpinannya, wayang pada dasarnya telah menguatkan kekuasaannya, dimana kita ketahui bahwa pada masa Soeharto Pancasila yang sakral hanya di jadikan alat kelanggengan kekuasaannya atas nama kesakralan itu sendiri, yang kemudian menjadikan manusia Indonesia terkukung dalam penerapan aturan yang dilakukannya waktu itu. Disini jelas bahwa wayang pada masa orde baru memiliki peranan yang sangat penting dalam rangka melanggengkan kekuasaan, atau dalam bahasa lain adalah budaya yang di politikkan lain halnya dengan politik yang tak berbudaya yang identik dalam kepemimpinan Soeharto. 

Pertunjukkan wayang yang terkesan subjektif atas sebuah nilai yang di pesan oleh penguasa pada waktu itu tentunya adalah sisi kelam dalam dimensi lain fungsi dari wayang itu sendiri.
Selain sebagai alat pertunjukkan, wayang dalam kaitannya dengan perpolitikkan telah bermetamorfosis menjadi sebuah tokoh yang di identikan dengan beberapa penguasa kala itu. Disini tentunya merujuk pada nilai-nilai filosofi yang terdapat pada tokoh wayang yang ada. Dimana tokoh-tokoh ideal senantiasa di gambarkan dalam pertunjukkan wayang yang tentunya menginspirasi para penonton, termasuk presiden-presiden republik ini yang notabenenya berasal dari kehidupan Jawa yang dekat dengan kebudayaan wayang, sehingga dalam masa kepemimpinannya beberapa di antara meraka mengambil tokoh wayang sebagai bagian dari identitas dirinya yang mungkin saja di jadikan sebagai alat pencitraan demi mendapat simpati rakyat, ataupun memang sebuah kebanggaan mengidentitaskan salah seorang tokoh wayang untuk memotivasi dirinya dalam perpolitikan yang kelabu.

Beberapa presiden yang mengidentikan dengan salah seorang wayang diantaranya adalah Sokarno dan Soeharto, Soekarno mengidentikan dengan Kresna sedangkan Soeharto mengidentiikan diri dengan Semar yang merkayat, meski pada kenyataanya nilai-nilai kerakyatan padda masa Soeharto banyak yang dilanggarnya yakni pelanggaran HAM (Haka Asasi Manusia) pada masa kekuasaanya adalah hal yang selalu di ingat hingga sekarang. 

Untuk itulah wayang dan ideologi perpolitikan memiliki kaitan yang cukup erat, selain sebagai pencitraan diri dan mungkin sebuah inspirasi kehidupan para penguasa, tentunya wayang menjadi alat suksesi dirinya dalam menebarkan pemikiran-pemikiran yang fundamental guna mensukseskan kebijakannya dan melanggengkan kekuasaanya bahkan sebagai propoganda terhadap paham dan ideologi lain yang berseberangan.

Lakon Kumbakarno Gugur dan Realita Perpolitikan

Lakon Kumbakarno Gugur merupakan lakon yanag disukai oleh mantan presiden RI ke-4 yakni KH. Abdul Rahman Wahid (Gusdur), Lakon Kumbakarno Gugur yang pernah saya saksikan dalam acara peringatan 1000 hari wafatnya Gusdur dan ditampilkan oleh Ki Enthus Susmono kurang lebihnya memiliki pesan-pesan moral tentang kebangsaan. Mencintai bangsa yang bukan sekedar fisik dan retorika semata melainkan sebuah ketulusan agung guna mempertahankan eksistensi bangsa dan negara serta mempertahankannya dalam kondisi bagaimanapun.

Kumbakarno yang memiliki tubuh raksasa tetapi bersikap bijak dan Kesatria yang merupakan adik dari Rahwana (Dasamuka) ratu Alengka yang menculik dewi Sinta dari Rama, rela mati demi mempertahankan negaranya, dan alasan utamanya berperang hingga mati bukanlah untuk membela Rahwana yang keji tetapi sebuah pertanggungjawaban atas dirinya yang seorang kesatria di Alengka. Salah ataupun tidak salah seorang pemimpin itu bukanlah urusan, tetapi mempertahankan negara dari serangan luar adalah tanggung jawab dan kewajiban (Rigth or Wrong is My Country).

Kumbakarno yang sebelumnya tertidur lelap, oleh Indrajit putra Rahwana ia di bangunkan agar mau menjadi Senopati dan berperang di medan perang melawan pasukan Rama yang dibantu oleh Sugriwa dan Hanoman dalam rangka merebut Dewi Sinta kembali. Kumbakarna di buat murka oleh kematian kedua anaknya yakni Aswanikumba dan Kumbakumba anak kembarnya yang mati di medan perang oleh pasukan Pancawati. Nafsu Rahwana yang menginginkan kedua anak Kumbakarna yang masih muda dan di jadikan pasukan perangnya di medan pertempuran sungguh menampilkan sisi kemurkaan yang di lakukan kepada saudara sendiri, meski pada akhirnya menyesali kematian Aswanikumba dan Kumbakumba. Inilah politik kekuasaan dan terlebih lagi jika dikaitkan dengan Dewi Sinta sebagai sebab-musabab peperangan ini maka dapat dikatakan bahwa wanita menjadi salah satu objek yang memiliki power dalam politik kekuasaan. Kekuatan wanita di dalam perpolitikan tentunya dapat di verivikasi lagi sebagai sesuatu yang bernilai positif maupun negatif, nilai positif tentunya wanita dalam sejarah seringkali menjadi orang yang mendorong seorang pemimpin laki-laki melakukan kebijakan yang bermaslahat atau disini wanita berada dibalik susksesnya pemimpin laki-laki, baik itu memberikan wejangan maupun inspirasi. Sedangkan dilihat dari sisi negatif kekuatan wanita dalam perpolitikan, tentu wanita memiliki segi keindahan yang mampu membuat setiap pemimpin laki-laki tergoda dalin terlena sehingga dari kecantikan yang ia miliki dapat menjadikan seorang penguasa atau pemimpin melakukan tindakan yang lalim seperti halnya di dalam kisah Rahwana ini.

Kembali ke cerita Kumbakarno yang setia pada tanah airnya, setelah terbangun dari tidurnya dan di ceritakan akan kematian kedua anaknya maka Kumbakarno pun sangat murka dan siap menjadi Senopati untuk bertempur di medan perang dengan tujuan membela negeri Alengka bukan membela Rahwana, hal ini pulalah yang di sampaikan kepada Wibisana adiknya yang juga raksasa berhati luhur dan memihak Rama. Dengan menggunkana pakaian putih atau pakaian Brahmana ia pun menuju ke medan peretempuran hingga akhirnya ia meregang nyawa, Kumbakarna gugur di tangan Rama melalui panahnya yang mampu mematahkan bahu-bahu Kumbakarna. Kumbakarna yang berwujud raksasa pun akhirnya oleh dewa di masukan ke dalam surga karena bakti luhurnya.

Melihat ringkasan cerita Kumbakarna yang rela membela ibu pertiwi tanpa rasa pamrih dan tidak rela adanya 
pertumpahan darah hingga akhirnya Ia sendiri yang harus meregang nyawa, tentu  menunjukan bahwa sosok Kumbakarna dalam cerita Ramayana karya empu Walmiki ini memiliki sifat yang pada perkembangan zaman di sebut sebagai sifat  nasionalisme atau ideologi nasionalisme.

Jika dikaitkan dengan kehidupan perpolitikan di negeri ini yang terlalu banyak politik pencitraan di bandingkan dengan tindakan realitasnya tentu memberikan pertanyaan kepada kita tentang wujud raksasa di zaman sekarang. Raksasa yang di identikan dengan kejahatan dan dan keburukan sikap, dengan melihat cerita wayang dengan lakon Kumbakarno Gugur dan dikaitkan dengan kehidupan perpolitikan sekarang ini tentu merubah perspektif itu. Dimana raksasa pada zaman sekarang tidak bisa di ejewantahkan dalam bentuk rupa ataupun fisik melainkan sikap dan tindakan para penguasa dalam melakukan kebijakan dan memberikan contoh kepada rakyatnya. Ini semua dapat dilihat dari sikap kepemimpinan wakil rakyat di negeri ini yang seolah-olah tidak menjadi manusia yang manusia lagi tetapi menjadi manusia yang berwatak buta atau raksasa yang siap menerkam segalanya. Sikap rakus pejabat dalam masa jabatannya seperti melakukan tindakan korupsi merupakan pelanggaran moralitas dan norrma sosial yang tentunya tidak berbeda dengan watak raksasa yang rakus dan lalim.

Sehingga tidak ada keraguan lagi bahwa bentuk raksasa yang ideal di saat ini adalah mereka yang melakukan pelanggaran norma dan etika dalam menjalankan perpolitikannya, sikut sana- sikut sini serta caplok sana-capolok sini tentu itu adalah upaya politikus-politikus zaman sekarang demi mencapai kursi kekuasaan dan ini tidak berbeda jauh dengan Rahwana si Raksasa yang zalim. Kekuasaan pada dasarnya memang membawa manusia pada penyimpangan (Power tends to Corrupt) apalagi jika para pemangku kekuasaan memiliki mentalitas yang lemah maka penyimpangan-penyimpangan besar pun tidak terelakkan.

Sosok Kumbakarna yang menjadi raksasa bijaksana sangat memberi cerminan bagi kita, bahwa manusia tidak bisa dilihat dari fisik semata dalam rangka mencintai bangsa dan negaranya  melainkan bagaimana Ia melakukan sebuah tindakan real terhadap negaranya. Lain halnya dengan manusia-manusia bangsa Indonesia sekarang yang lebih mengutamakan politik retorika dan impian-impian idealis bahkan utopis yang tujuannya sebagai bentuk cinta negara tetapi dalam perjalanannya bukan kebaikan yang ia lakukan, melainkan penghiantan terhadap rakyat. Hal ini karena yang di utamakan adalah politik pencitraan tentunya.

Jadi paradigma nilai yang ada dalam lakon Kumbakarno Gugur merupakan tamparan terberat bagi setiap pelaku politik di negeri ini, yang seolah-olah semakin hari bukannya membaik tetapi semakin kusam. Dari politik kumis hingga politik kotak-kotak pada hakikatnya sedang mempertaruhkan dirinya di ranah kelabu, apakah ia benar-benar mengapresiasi nilai-nilai kerakyatan atau hanya sekedar pencitraan yang ujung-ujungnya penghianatan terhadap rakyat itu sendiri. Siapa yang berhasil mewujudkan diri menjadi penguasa yang idealnya seperti Satria Piningit dengan pencitraan yang ada tanpa melenyapkan poin-poin penting pengabdian terhadap rakyat melalui sikap yang heroik di dalam menjalankan politik kenegaraannya, tentu ia telah lepas dari identitas raksasa baik itu fisik maupun mentalnya. Tetapi, jika yang terjadi adalah pengagungan politik pencitraan tanpa adanya bukti atau realitas yang merubah dinamika persoalan masyrakat yang runyam seperti kemiskinan, kebodohan, dan pendikan ditambah ia melakukan pidana seperti melakukan korupsi, maka inilah yang disebut manusia suci tetapi hati dan mentalnya adalah raksasa bengis.
Kumbakarno tentunya hanya sebuah simbol pendidikan karakter seseorang, agar selalu waspada terhadap dirinya maupun orang lain, agar senantiasa menitiberatkan pada permasalahan masalah secara konkret daripada secara pencitraan. Tentu ini semua berkaitan erat dengan makna filosofis wayang kulit khususnya pada lakon Kumbakarno Gugur.

Melihat ini semua tentunya pertunjukan wayang kulit yang dibawakan oleh Ki Enthus pada peringatan 1000 hari wafatnya Gusdur di Ciganjur tentu memiliki sisi pendidikan kosmologi tentang hakikat moralitas manusia yang mencintai negaranya, utamanya dalam memeahami karakter individu sebagai pribadi yang berbangsa dan bernegara untuk menjalankan politik secara real daripada retorika semata tanpa adanya tindakan perubahan yang diharapkan adanya oleh rakyat luas di negeri ini. Sosok Kumbakarno tentunya menjadi bahan refleksi kita semua.

Kesimpulan

Nasionalisme yang dangkal mungkin sering kita lihat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Menyanyikan lagu Indonesia Raya saat menonton sepak bola ataupun upacara dan berbagai pertemuan resmi itu memang bentuk nasionalisme dan cinta kepada bangsa Indonesia, tetapi itu masih terlalu dangkal jika yang keluar hanya dar mulut kita tanpa adanya usaha real untuk melakukan perubahan terhadap bangsa ini. Hal ini pulalah virus yang dialami oleh para politikus di kalangan atas, banyak yang mengatasnamakan bangsa dan negara, rakyat miskin, dan berjanji untuk suatu perubahan tetapi nyatanyaitu hanya tipu daya sang Raksasa. Moralitas Kumbakarno yang notabenenya adalah Raksasa tetapi berhati luhur, cinta tanah airnya dan rela mati bukan karena sanjungan melainkan kemaslahatan negaranya adalah hal yang sepatutnya ditirukan oleh setiap politikus-politikus di bangsa ini. Rakyat sudah muak dengan politik pencitraan.

Pertunjukan wayang kulit oleh Ki Enthus Susmono dengan lakon Kumbakarno Gugur tentunya memberikan pesan moralitas tersendiri bagi setiap kalangan khususnya mereka praktisi politik agar tidak menghianati bangsanya melalui kontrol pada diri untuk tidak melakukan tindakan penyelewengan. Karena cerita wayang yang ada bukan sekedar pertunjukkan dongeng yang menuturkan kebaikan mengalahkan keburukan, tetapi juga bagaimana secara subjektif para penonton mampu menghayati tokoh-tokoh yang diperankannya. Jika sesosk raksasa rela mati demi menyelamatkan negeranya demi eksistensi bangsa dan negaranya tanpa pamrih dan pujian, lalu mengapa banyak para prktisi politik yang berwujud manusia tetapi malah membunuh rakyatnya dengan penyimpangan yang dilakukannya demi kesejahteraan golongan. Padahal dalam retorika yang selalu di ucapkan mereka mengatasnamakan rakyat dan bertujuan mensejahterakan rakyat, apakah inio yang disebut cinta kepada negara layaknya Kumbakarno ? tentu tidak!

Nilai-nilai wayang yang begitu luhur memang layak digunakan sebagai alat penghayatan terhadap realita sosial yang terdapat di Indonesia. Masih banyak relevansi-relevansi tokoh di dalam pertunjukkan wayang terhadap kehidupan sekarang, khususnya di dalam dunia perpolitikan kita. Sebut saja Kumbakarno.

Data Acuan
Buku:
1.      Mannheim, Karl. Terj.Drs. F. Budi Hardiman.1991.Ideologi dan Utopia Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik. Penerbit Kanisius: Yogyakarta.
2.      Zoutmulder, P.J. Terj. Dick Hartoko SJ.1985.Kalangwan sastra Jawa Kuno Selayang Pandang.Djambatan:_____

Intenet:
2.      http://jamansemana.com/category/wayang/wayang-kulit/ki-h-anom-soeroto/kumbakarna-gugur/ (Di akses pada hari Senin tanggal 21 Oktober 2012 pukul 13.56)
3.      http://maspatikrajadewaku.wordpress.com/2012/04/16/aswanikumba-kumbakumba-lena-ki-sugino-siswocarito/ (Di akses pada hari Senin tanggal 21 Oktober 2012 pukul 14.07 wib)
4.      http://wayangkumbakarnagugur.blogspot.com/ (Di akses pada hari Senin tanggal 21 Oktober 2012 pukul 14.23 wib)
6.      http://www.scribd.com/doc/34822733/KUMBAKARNA-GUGUR (Di akses pada hari Sabtu, 27 Oktober 2012 pukul 07.48 wib)
7.       http://hardono.melesat.com/2008/08/nasionalisme-ala-kumbakarna/ (Di akses pada hari Sabtu, 27 Oktober 2012 pukul 07.53 wib)
8.      http://adamgifari.blogspot.com/2011/07/kumbakarna-gugur-pesan-keteladanan-dari.html (Di akses pada hari Sabtu, 27 Oktober 2012 pukul 07.55 wib)


 Oleh : Akbar Priyono 















Comments

Popular posts from this blog

Makhluk Paradoksal Itu Bernama Prabu Watu Gunung

Prabu Wat u G unu ng : Sebuah Tragedi Moralitas Perkawinana Anak dan Ibu Latar Belakang Indonesia yang merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau lebih dari 17.000 pulau, dan tentunya memiliki keanekaragaman hayati yang luar biasa, begitu juga dengan keanekaragaman masyarakat yang masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga melahirkan budaya-budaya yang beranekaragam pula dengan nilai yang tak terhingga. Nenek moyang bangsa Indonesia adalah manusia yang penuh dengan kekreativitasan dalam berkarya seni dan pandai dalam memaknai dan mengelolah segala yang ada di alam sekitar. Bukti-bukti sejarah telah memberikan pemahaman akan hal tersebut, baik itu dalam bentuk situs seperti candi maupun peninggalan lain dalam bentuk tulisan yang terangkai indah dalam prasasti maupun teks-teks yang terwariskan. Hal ini tentunya bertolak belakang dengan kondisi masy a rakat sekarang yang cenderung bangga terhadap budaya asing yang terkesan lata .

Curug Bengkelung, Geopark Mini di Selatan Pekalongan

Pekalongan tak kehabisan dengan objek wisata favorit, hal ini tak lepas dari munculnya spot-spot wisata baru yang memang tersebar di kabupaten ini. Wilayah utara berbatasan dengan pantai (Laut Jawa) dan wilayah selatan merupakan daerah perbukitan hijau yang luas yang tentu menyimpam sejumlah potensi pariwisata. Salah satu yang baru-baru ini menjadi daya tarik sejumlah wisatawan adalah Curug Bengkelung yang terletak di bagian selatan Kabupaten Pekalongan. Eksotisme alam berusaha ditawarkan tempat wisata ini, yakni perpaduan air terjun dan tebing berbatu yang alami. Meski terletak di daerah perbukitan, kerja sama masyarakat dan dinas pariwisata cukup baik sehingga potensi wisata yang sebelumnya kurang dikenal ini makin diminati, di antaranya adalah pembangunan akses jalan ke Curug Bengkelung yang begitu terawat serta adanya loket resmi untuk pembelian tiket para travelermenjadikan objek wisata ini nyaman dan terkondisikan tanpa calo atau preman. Sejumlah fasilitas pun