Skip to main content

Argopuro: Sepenggal Kisah Tentang Jejak Tuhan




                        

Menjelang tengah hari (16/1/13)  kami berlima mempercepat gerak kami untuk menuju stasiun Pocin. Kami, Khoiron (Fisika UI), Faqih (Perbankan Syariah PNJ), Maulana (Komunikasi UI), Egi (Psikologi UI), dan Akbar (Jawa UI) menuju ke stasiun Pocin guna melanjutkan perjalanan ke satasiun Senen, tempat di mana kami akan memulai perjalanan jarak jauh menuju stasiun Malang. Dengan KRL kami pun menuju Manggarai untuk transit dan dilanjutkan perjalanan KRL ke Gondangdia hingga akhirnya kami sampai di stasiun Senen menggunakan bis kota yang tersedia.

Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, bahwa berangkatnya kami ke stasiun Senen adalah untuk mengadakan perjalanan ke stasiun Malang. Perjalanan jauh yang akan ditempuh dengan waktu yang tidak singkat ini tentunya memberikan nuansa yang sangat berarti bagi kami sebelum memulai tujuan yang paling utama yaitu pendakian ke gunung Argopuro di Probolinggo-Situbondo. 

Sebelumnya kami sempat was-was dengan rekan pendaki kami yang bernama Rohib karena waktu sudah menunjukan pukul 13.50 WIB tapi belum terlihat batang hidungnya, padahal kereta akan berangkat pukul 14.05 WIB. 

Di tengah rasa khawatir iu akhirnya ia tiba-tiba menghubungi lewat SMS bahwa ia terlambat karena baru menyadari waktu yang tertera di tiket itu berbeda dari asumsinya. Bang Rohib "panggilan akrabnya" (Mahasiswa FT UI 2009) mengira kalau keberangkatan kereta Matarmaja pukul 14.50 WIB, tentu saja  itu keliru karena keberangkatan kereta pukul 14.50 WIB adalah keberangkatan dari Malang yang tertera pada tiket pulang yang sudah kami pesan sebelumya. Ia pun tampak gugup saat bertemu kami beberapa menit menjelang kereta berangkat. 

Perjalanan

Selama perjalanan kereta Matarmaja melalui jalur kereta utara ini kami menyaksikan betapa hijaunya negeri ini dengan pemandangan sawah di musim penghujan, tentunya bulan Januari ini adalah musim penghujan namun tetap kami niatkan untuk melanjutkan pendakian ke Gunung Argopuro sebagai opsi destinasi terkahir kami setelah mendengar kabar buruk bahwa jalur pendakian gunung Semeru di tutup mulai Januari - Maret untuk umum, begitu juga destinasi ke gunung lainnnya seperti gunung Arjuno. 

Sehingga kami memilih mendaki Gunung Argopuro saja yang kami yakini masih di buka, selain alasan-alasan tersebut tentunya karena kami melihat bahwa rute pendakian gunung Argopuro konon merupakan rute pendakian terpanjang di Pulau Jawa dengan panjang trek 40 Km. Meski pada akhirnya kami melakukan perjalanan yang lebih jauh lebih dari 50 Km karena sempat tersesat.

Hingga akhirnya malam datang dan kami masih duduk merenung di kereta, seolah-olah melakukan perjalanan yang tiada ujung. Tapi semua berlalu begitu indah karena kami disuguhi lukisan Tuhan berupa taburan bintang malam yang kami lihat dari jendela kereta ekonomi Matarmaja. 

Memang sebuah reformasi telah terjadi di tubuh perkeretaapiaan Indonesia khususnya berkenaan dengan kereta ekonomi ini yang sebelumnya terkenal kumuh dan sesak oleh penumpang dan tak manusiawi.

Sekarang meskipun levelnya adalah kereta ekonomi namun tetap terlihat nyaman karena sistem pemesanan tiket yang memungkinkan penumpang bisa pesan tiket sebelum hari H, sehingga memastikan semua penumpang dapat tempat duduk. 

Mungkin saja karena jasa CEO PT. KAI Ignasius Jonan, meskipun kami sempat dikecewakan dengan kebijakan PT. KAI yang membongkar lapak-lapak pedagang di stasiun UI dan Pocin dan terkesan tanpa win-win solution serta arogan.

Sejenak kami merenungkan hal-hal yang cukup idealis, mengingat kami semua adalah seorang mahasiswa yang dididik untuk dekat dengan masyarakat, sehingga beberapa kali kami melakukan hal terbaik yang sebisa mungkin kami lakukan termasuk lewat kritik atas tindakan itu melalui cara-cara yang positif termasuk dengan tulisan. 

Hari pun berganti (17/1/13) dan kami akhirnya sampai di stasiun Malang Baru sekitar pukul 07.45 WIB. Sampai di stasiun ini kami tidak banyak berleha-leha tetapi justru mempercepat langkah kami termasuk mencari angkot AMD yang akan mengantarkan kami ke Terminal Arjosari Malang. 

Di terminal ini pula  kami akan melanjutkan perjalanan ke terminal Probolinggo dan bertemu 2 rekan kami yang lain, Susilo (Elektro UI 2009) dan Danang (Arsitek UI 2012) yang mana Susilo sudah berangkat dari Jakarta tanggal 14/1 untuk mampir ke temannya di Tulungagung dan Danang datang ke Malang dari Blora (rumahnya) karena sudah pulang kampung duluan untuk liburan kuliah.

Dari terminal Arjosari kami menggunakan bus Akas AC untuk menuju terminal Probolinggo. Sesampainya di terminal Probolinggo kami menggunakan bus ekonomi menuju alun-alun Besuki Situbondo, selanjutnya sesampainya di alun-alun Besuki, Situbondo kami naik ojek ke Pos Pendakian Baderan.

Di sela-sela perjalanan sebelum sampai pos pendakian kami meminta untuk di antar ke Polsek setempat guna meminta izin pendakian. Setidaknya kami bertemu dengan bapak polisi yang ramah di Pos Polisi ini yang bernama pak Apriyono.

Setelah megurus perizinan akhirnya kami melanjutkan perjalanan lagi menuju pos pendakian gunung Argopuro wilayah Baderan dan disini pun kami disambut hangat oleh pak Susiyono yang merupakan kepala BKSDA di wilayah Baderan ini. 

Di sini kami bisa saling memperkenalkan diri dengan panjang lebar karena kami tidak langsung mengadakan pendakian, melainkan menginap di pos pemantauan tersebut selama semalam untuk mengurangi rasa lelah setelah perjalanan jauh. 

Dengan Pak Susiyono juga kami mengisi biodata untuk registrasi/ Simaksi  termasuk mencantumkan barang bawaan wajib yang mesti dibawa selama pendakian. Kami diwajibkan membawa barang-barang pendakian yang cukup dan dengan porsi yang tepat mengingat rute pendakian yang sangat jauh dan tidak mudah. Di sini juga kami disuguhi tentang kisah misteri baik tentang pendaki yang hilang maupun tentang mitos Dewi Rengganis.

Malam pun pudar dan pagi pun datang (18/1/13) kami harus siap-siap melaksanakan pendakian ke Gunung Argopuro, dengan iringan doa dan foto bersama dengan pak Susiyono kami pun melanjutkan perjalanan untuk mencapai puncak Argopuro dan puncak Rengganis yang kemudian harus diakhiri di Pos Bremi wilayah Probolinggo.

Di hari pertama pendakian kami merasa berada di dunia lain yang memberikan keindahan tiada tara, dan tentunya ini semua adalah ciptaan Tuhan. Melihat bukit-bukit hijau dan menjulang tinggi adalah hal pertama yang disajikan alam Argopuro kepada kami.

Di sisi lain terlihat ladang-ladang penduduk serta jurang yang terjal di sekitarnya dan sekilas merasakan kesedihan juga karena terlihat bekas kebakaran hutan yang telah terjadi beberapa bulan sebelumnya.  

Gunung Argopuro rupanya menjadi wilayah yang rawan terbakar, kami saksikan sendiri sejak dari awal pendakian hingga nantinya di pos-pos lainnya tampak luas sekali area yang tedampak kebakaran bahkan melahap vegetasi yang penuh dengan tumbuhan edelweis. 

Perjalanan pun berlanjut, kami sampai di Pos Mata air yang sebenarnya kami bisa mendirikan tenda di tempat ini tetapi kami lebih memilih melanjutkan perjalanan mengingat perjalanan masih panjang, agar jadwal yang tersusun pun tidak berantakan demi summit di puncak Argopuro. 

Perjalanan pun kami lanjutkan menuju Alun-alun kecil yang merupakan salah satu Pos di padang Savana di gunung ini. Sebelumnya terjadi hujan yang tiada henti dan diantara kami banyak yang merasa lelah dan sakit termasuk terkena kram seperti yang terjadi pada rekan kita Egi, sehingga dalam melangkah harus tergopoh-gopoh dan terkadang memberhentikan langkahnya. 

Di tengah perjalanan ini pula kami bertemu dengan pendaki dari ITS yang sudah memulai pendakian lebih awal pada hari sebelumnya, tetapi mereka lebih memilih berleha-leha sehingga berhasil kami selip. 

Patut diketahui, pada bulan Januari ini hanya ada dua kelompok pendaki yang datang ke gunung Argopuro, mungkin karena musim hujan dan membuat para pendaki merasa kurang nyaman dan aman yang kapanpun bisa terjadi badai dan longsor dan tentunya basah karena hujan. 

Rekan kami Faqih pada pendakian ini juga sempat menceritakan kisah mistis yang dilihatnnya dari sosok ular bermata tiga, hingga sosok makhluk hitam di atas tenda saat bermalam di alaun-alun kecil, sehingga nantinya si Faqih ini kami juluki dengan the Horror.

Pada hari ke – 2 (19/1/13) setelah menjemur pakaian yang basah, maklum kemarin kami baru saja kehujanan dan kedinginan sehingga kemunculan matahari pada pagi hari ini memberikan kegembiraan yang sangat berarti, meskipun beberapa kali kabut tebal melewati perkemahan kami dan menjadikan suasana hening dan dingin. 

Hingga akhirnya kami melanjutkan pendakian dengan diawali doa bersama, sampai pada akhirnya kami di sambut dengan bukit yang cukup curam dan membuat kami menghela nafas sebanyak-banyaknya. Niatan kami pada hari ini adalah menuju Cisentor dan jika tenaga mumpuni akan dilanjutkan menuju Rawa Embik, dimana untuk menuju ke pos berikutnya ini kita akan melewati padang savana yang sangat luas bernama Cikasur. 

Sangat mengesankan sekali melewati bukit curam, melihat beragam spesies satwa dan beragam vegetasi di hutan Argopuro, hingga akhirnya sampai di Cikasur yang terlihat seperti lapangan golf dan tentu kita mengetahui bahwa wilayah ini adalah bekas landasan pesawat pada zaman Jepang dengan ketinggian berkisar 2000 meter, sungguh luar biasa padang savana yang ada di Cikasur ini. 

Berhubung di Cikasur terdapat sumber mata air (sungai kecil) dan tumbuh sayuran selada air maka kami pun mengumpulkan air secukupnya dan memanen selada air yang akan kami jadikan bekal di perjalanan selanjutnya.

Melihat padang rumput yang sangat luas kami pun sempat terlena hingga akhirnya kami meleset jauh dari jalur pendakian yang semestinya kami lalui untuk menuju Cisentor dan Rawa Embik. Alat GPS yang kami bawa sebenarnya sudah memperingatkan kami bahwa rute pendakian salah, tetapi beragam asumsi yang muncul menjadikan kami untuk tetap mengikuti jalur yang sebenarnya tidak perlu kami lewati itu, hal ini pulalah yang menyebabkan kami tersesat di sebuh kawah belerang dan hutan lebat. 

Kami pun memutuskan untuk putar balik dengan kembali ke Pos Cikasur padahal sudah berjalan sekitar 3,5 kilo ke depan jauh dan melelahkan. Setelah berdikusi panjang lebar dan mengambil waktu untuk berpikir positif kami pun alhamdulillah menemukan jalan pendakian utama dan melanjutkan perjalanan ke Cisentor dengan kembali ke Pos Cikasur terlebih dahulu dengan iringan hujan yang cukup lebat.

Kebetulan juga kami bertemu tim pendaki asal ITS yang kami salip sebelumnya sedang beristirahat di Cikasur, sehingga kami sempatkan untuk menyapa dan bertanya panjang mengenai jalur. Secepatnya pula setelah mengetahui akses yang benar kami pun lanjutkan perjalanan ke Cisentor.

Ternyata jalur yang benar berada di dekat sungai kecil tempat kami sebelumnya mencari selada air. Hanya berpenunjuk patok kecil. 

Perlu diketahui juga, bahwa pihak pengelola Gunung Argopuro sengaja tidak memasang tanda-tanda besar dengan tulisan layaknya di gunung-gunung lainnya dengan alasan menjaga keasrian alam. Sehingga resiko tersesat sangat mungkin terjadi. Kurang lebinya itu yang disampaikan Pak Susiyono di Pos singgah waktu pertama kali datang beberapa hari lalu.

Di tengah perjalanan menuju Pos Cisentor, si Egi mengeluh kelaparan dan ia pun langsung membukan tasnya dengan cepat untuk menemukan bekal yang sekiranya bisa di makan. Begitu juga bang Khoiron yang nantinya kami juluki dengan the Navigator pun mengalami kedinginan yang cukup parah ditengah hujan yang tak kunjung usai.

Tetapi berhubung sudah terlanjur meniatkan diri ke Cisentor, walaupun hujan deras kami pun tetap melanjutkan perjalanan dengan keyakinan menemukan gubuk yang bisa kami diami nantinya. Kabar adanya gubuk di Cisentor ini dari Tim pendaki yang kami temui sebelumnya itu.

Kami melanjutkan perjalanan, di mana di tengah perjalanan jauh menuju Cisentor banyak diantara kami seolah-olah melihat gubuk di depannya, mungkin sekedar halusinasi di tengah kelelahan dan hujan serta kabut. Perjalanan pun tetap kami lanjutkan di tengah lelah dan hujan yang sedikit mereda.

Sampai akhirnya petang datang dan kami masih menghadapi hujan  ditambah rasa ngeri melihat jurang yang dalam di sisi kiri kami dan melihat bekas longsoran bukit di sisi kanan kami, kami harus berhati–hati karena berjalan di kegelapan dan basahnya tanah yang kami injak serta semak belukar dan pohon yang telah tumbang. 

Sebenarnya kami akan melanjutkan perjalanan lebih jauh meski langit telah gelap tetapi demi keamanan bersama kami pun menghantikan laju jalan  dan mendirikan tenda di sekitar bukit yang kami harap tidak terjadi longsoran seperti pada jalur yang kami lewati sebelumnya. Berhubung banyak diantara kami yang basah dan kedinginan kami pun langsung membuka terpal dan menyalakan api. Malam minggu ini kami habiskan dengan tubuh yang dingin dan tenda yang sedikit bocor.

Misi dua Puncak

Alhamdulillah malam ini kami lalui dengan aman dan sekarang pagi di hari Minggu (20/1/13), kami harus melanjutkan perjalanan ke Cisentor. Setelah merapikan camp dan merapikan pakaian basah, kami pun melanjutkan ke Pos Cisentor yang jarakanya ternyata hanya 300 meter dari lokasi camping tapi harus melewati turunan yang licin dan curam dan tentunya bisa dibayangkan jika kemarin sore dalam kondisi gelap tetap dilanjutkan perjalanan ke sini, tentu saja berbahaya.

Sehingga keputusan kemarin sore untuk mendirikan tenda di tengah perjalanan adalah tepat meskipun terjadi perdebatan ringan. Gubuk yang kami idam-idamkan dari kemarin pun terlihat dan kami pun merapikan gubuk dan menjemur perlengkapan yang basah oleh hujan kemarin serta mempersiapakan masak untuk bekal ke Rawa Embik yang akan dilanjutkan ke puncak Argopuro dan puncak rengganis yang jaraknya masih berkilo-kilo.

Perjalanan ke Rawa Embik memang panjang tetapi kami tidak membawa semua perbekalan kami selain dari jas hujan dan makanan secukupnya, karena rute begitu jauh dan menanjak, serta nantinya juga saat akan menuju jalur Bremi atau arah pulang kami masih harus lewat Cisentor kembali.

Dalam kondisi bawaan yang ringan dan membawa sedikit perbekalan, kecuali satu orang yang membawa Ransel berisi bekal makanan kelompok yakni Maulana kami pun melanjutkan perjalanan ke Rawa Embik dengan iringan doa tentunya.

Setelah menempuh perjalanan sekitar 2,5 kilo dan melewati punggung bukit yang menanjak, kami pun merebahkan diri di Rawa Embik dan membuka bekal makanan dan tidak lama kemudian kami melanjutkan perjalanan kembali ke puncak Argopuro dan dilanjutkan ke Puncak Rengganis. Dengan tenaga yang tersisa dan nafas yang masih berhembus, akhirnya kami berhasil mencapai puncak Argopuro yang kala itu masih dipenuhi kabut tebal dan gerimis. 

Setelah melakukan take picture kami pun turun dari Puncak Argopuro dan melanjutkan perjalanan ke puncak Rengganis. Di Puncak Argopuro rekan kami yang bernama Akbar sempat melantunkazn Adzan dan di puncak Rengganis sempat melantunkan iqomah.

Alhamdulillah kedua puncak sudah kami daki dan langsung saja kami melanjutkan perjalanan ke Cisentor kembali. Patut diketahui bahwa di Puncak Rengganis ini terdapat sebuah situs yang tentunya mengandung nilai sejarah yang tinggi, lebih mirip bangunan candi yang tersusun dari batu bata. Konon dulu menjadi tempat persemedian, dan di tempat ini pulalah masih menyimpan mitos tentang Dewi Rengganis. 

Konon Dewi Rengganis hidup pada masa kerajaan Majapahit, tapi mitos yang ada menyebutkan bahwa dewi Rengganis terkadang menemui pendaki gunung Argopuro dengan wujud perempuan yang sangat cantik. Terlepas dari kebenaran yang ada, kami selaku tamu di tempat ini selalu berusaha berhati-hati dalam berkata dan bertingkah guna menghormati apa yang ada di sini.

Hari pun semakin sore dan kami pun lebih memilih beristirahat di gubuk Cisentor, untuk mempersiapkan perjalanan ke danau Taman Hidup dan dilanjutkan ke pos terakhir di Bremi yang masih sangat jauh dengan jarak yang berkisar belasan kilometer dengan rute tanjakan dan turunan yang curam.

Pagi di hari selanjutnya (21/1/13) kami bertemu dengan tim pendaki yang berangkat dari jalur Bremi tapi kami tidak sempat berkenalan panjang lebar karena mereka juga langsung melanjutkan perjalanan ke puncak Argopuro. Di hari ini kami pun segera berbenah setelah santap pagi dan menyimpan perbekalan baik makanan maupun air yang tersedia di sumber air Cisentor.

Dengan iringan doa kami pun melanjutkan perjalanan ke Bremi dengan tujuan transit adalah danau Taman Hidup, yang tentunya kami sudah tahu bahwa kami harus siap fisik yang ekstra karena jarak yang jauh dan waktu yang semakin mepet untuk pulang ke Jakarta sesuai dengan tiket Kereta yang sudah kami pesan sebelumnya.

Setelah melewati jalan yang berliku dengan pemandangan hutan yang pernah terbakar, semak belukar yang begitu lebat, dan gerimis yang menghadang, serta hutan lebat kami pun berhasil mencapai Danau Taman Hidup yang cukup berkabut pasca hujan, sungguh indah pemandangan di sini, dimana sebelumnya pun kami di suguhkan dengan pemandangan tubuh Semeru yang begitu kekar di perjalanan ke danau Taman Hidup.

Kami tidak berlama-lama di danau Taman Hidup guna mengejar waktu, sehingga kami melanjutkan perjalanan kembali dan masih melewati vegetasi hutan yang lebat dengan rute yang begitu curam dan lembab, sehingga banyak diantara kami yang mengalami luka pada kaki dan terhisap darahnya oleh pacet di beberapa bagian tubuhnya. 

Hari pun semakin petang dan gelap, tempat yang bernama Bremi yang kami kira sudah dekat ternyata masih belum memunculkan batang hidungnya, di mana vegetasi hutan rimba yang seolah-olah  tiada ujung masih menemani kami di kegelapan malam, padahal rute begitu licin dan menurun sehingga kami harus berjalan pelan dan mengecek satu dengan kawan lainnya serta menggunakan penerangan dengan senter. 

Meski kegelapan menyelimuti hutan yang kami lewati, namun kami tidak patah arah walau sempat terjadi kegalauan di antara kami dalam perjalanan tiada henti ini, apakah jalur yang dilewati itu benar karena begitu gelap. 

Alhamdulillah GPS satelit yang dibawa oleh Khoiron begitu membantu sehingga tidak mengantarkan kami ke arah yang salah melainkan ke jalan yang tepat. Dengan keahliannya menggunakan GPS maka bang Khoiron kami juluki The Navigator.

Di tengah kelelahan dan luka pada kaki, kami pun berusaha tabah dan berharap ada lampu yang terlihat di bawah sana, ternyata harapan itu tidak kami dapatkan karena jalan masih jauh dan sedikit mencekam di tengah kegelapan hutan. 

Hingga akhirnya kami sampai di sebuah vegetasi hutan yang berbeda dari vegetasi sebelumnya yakni kawasan hutan damar. Ini tentu sebuah tanda baik bahwa kami sampai di di kawasan hutan produksi yang itu berarti kami sudah dekat dengan Bremi (pos pendakian terkahir).

Tapi kami merasa jarak yang harus ditempuh masih jauh karena tidak tampak satupun lampu penerang sebagai pertanda perkampungan penduduk dari atas sini, semuanya gelap, gelap, dan gelap. 

Dengan pertimbangan keamanan serta kondisi fisik, kami pun memutuskan berhenti di sebuah gubuk yang mungkin milik petani di hutan Damar ini. Sebelumnya di antara kami sempat berselisih apakah perjalanan dilanjutkan atau tidak, sebelum memutuskan untuk bersitirahat. Ini tentu karena faktor kelelahan, sehingga emosi pun cukup memuncak namun kami saling memahami untuk lebih bijaksana lagi. 

Lampu perkampungan

Tak disangka setelah kami bangun di subuh hari, kami bisa melihat gemerlapnya lampu dari ketinggian tempat kami mendirikan tenda di gubuk ini, dan sinyal-sinyal HP pun bisa kami tangkap. Sepertinya semalam dataran di bawah kami tertutup kabut sehingga tak nampak satupun gemerlap lampu.

Pagi pun datang (22/1/13) kami pun merapikan tempat yang kami gunakan dan melipat tenda yang kami bangun. Dengan iringan doa kami pun melanjutkan kembali ke Pos terkahir pendakian Bremi yang masih harus kami tempuh dengan jalan yang sempoyongan karena luka-luka yang tercetak pada kaki kami. Tetapi, semangat untuk melihat perdaban kembali membuat kami tetap melangkah dan tetap tersenyum dengan keadaan yang bisa dikatakan sudah “kronis”.

Hingga akhirnya, adengan ucapan Alhamdulillah kami sampai di Pos Bremi dan disambut oleh petugas setempat. 

Perjalanan hidup yang memberi warna ini tentunya tidak terlupakan di hati kami. Tetapi, perjalanan belum selesai di sini. Kami harus ke kota Malang kembali guna naik kereta Matarmaja pada tanggal 23/1/13 pukul 14.50 WIB. Setelah menunggu bus tujuan Malang cukup lama kami pun sampai di Malang pada sore hari (22/1/13) sehingga kami memilih tidur di pelataran stasiun Malang karena stasiun pada malam hari harus di kosongkan.

Hari Rabu (23/1/13) pun datang dan kami pun naik kereta Matarmaja untuk kembali ke Jakarta. Teman kami Faqih pulang lebih awal (22/1/13) dengan menggunakan kereta Ekonomi AC Bengawan  dengan harga yang lebih mahal daripada tiket kereta yang kami miliki. Sebelumnya dia sudah pesan tiket pulang yang sama dengan kami, berhubung adanya kegiatan penting ia pun mengembalikan tiket yang sudah dibeli bersama dan membeli tiket kereta lain.  

Sedangkan kami berenam (Khoiron, Rohib, Susilo, Maulana, Akbar, Egi) tetap pulang menggunakan Kereta Matarmaja, untuk si Danang pulang ke Blora menggunakan bis tujuan Surabaya yang dinaiki dari Probolinggo. Sedangkan Akbar turun di Pekalongan saat Matarmaja berhenti di stasiun Pekalongan. 

Intinya kami adalah kami manusia lemah yang berusaha mencari arti kehidupan. 

Dari perjalanan ini kami menemukan sejumlah julukan untuk mereka:

Khoiron Anwar (The Navigator), Rohib (The Documentator), Susilo Ady Saputro (The Wet)—basah, Akbar Priyono (The Poor), Faqihudin Faqih (The Horror), Egi Hidayatullah (The Hunger)—sindrome lapar, Maulana Ghozali (The Strong), Danang (The Silence).

Kami hanya berjalan 55,5 Km, melewati hujan dan badai, melewati kegelapan, melewati  jurang, dan sedikit luka oleh keadaan untuk menuju Puncak Argopuro, Namun petualangan sesungguhnya adalah menjalani hidup ini yang penuh godaan. Di mana setiap saat kita dapat terjerumus ke dalam jurang kehinaan, kegelapan hidup, luka hati, dan berbagai badai masalah. 

Namun keduanya memiliki  musuh yang sama yakni diri kita sendiri. 


Joerney to the East (16-24 Januari 2013)







                                                                           Cisentor



                         Puncak Rengganis


                           Pra Cikasur



                         Puncak Rengganis




                            Savana


                         Danau Taman Hidup
                             Cikasur



                          Pasca Cisentor


                     Pra Pos 1 Mata Mata Air



                         Puncak Argopuro


                            Pra Cikasur



                         Pra Pos 1 Mata Air



                              Nyasar






                            Pra Cikasur



                             Cikasur



                                                                      Cisentor



                         Puncak Rengganis



                            Pos Pendakian



                  Perjalanan Pasca Pos Mata Air



                            Cikasur



                        Puncak Rengganis



                             Nyasar



                            Pos Pertama



                        Puncak  Rengganis



Makan Selada Air



                                                                     Rute terjal ke Bermi




GPS "Penolong"


Alun-alun Kecil "Taman Surga"


Eksresi lelah








Foto-foto adalah dokumentasi dari saudara Rohib (The Documenter)



Cek Video: https://www.youtube.com/watch?v=xicEuEsCzp0







Comments

Popular posts from this blog

Makhluk Paradoksal Itu Bernama Prabu Watu Gunung

Prabu Wat u G unu ng : Sebuah Tragedi Moralitas Perkawinana Anak dan Ibu Latar Belakang Indonesia yang merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau lebih dari 17.000 pulau, dan tentunya memiliki keanekaragaman hayati yang luar biasa, begitu juga dengan keanekaragaman masyarakat yang masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga melahirkan budaya-budaya yang beranekaragam pula dengan nilai yang tak terhingga. Nenek moyang bangsa Indonesia adalah manusia yang penuh dengan kekreativitasan dalam berkarya seni dan pandai dalam memaknai dan mengelolah segala yang ada di alam sekitar. Bukti-bukti sejarah telah memberikan pemahaman akan hal tersebut, baik itu dalam bentuk situs seperti candi maupun peninggalan lain dalam bentuk tulisan yang terangkai indah dalam prasasti maupun teks-teks yang terwariskan. Hal ini tentunya bertolak belakang dengan kondisi masy a rakat sekarang yang cenderung bangga terhadap budaya asing yang terkesan lata .

Point Of View Pertunjukan Wayang Kulit: Lakon Kumbakarno Gugur Dalam Kaitannya dengan Kehidupan Politik Berbangsa dan Bernegara di Indonesia

Pendahuuan Wayang sebagai kebudayaan nasional memiliki sejarah panjang dalam berbagai konteks dan dinamika kehidupan di Nusantara hingga menjadi negara yang bernama Indonesia. Menjadi alat ritual sesembahan terhadap dewa, menjadi alat dakwah, menjadi alat seni pertunjukan untuk menghibur masyarakat, hingga menjadi alat kekuasaan orang-orang yang berkuasa yang  berusaha memanfaatkannya, baik untuk suksesi diri dan golongannya maupun penanaman ideologi kepada orang lain melalui wayang. Dinamika perpolitikan di negri ini pun ada kalanya selalu dikaitkan dengan kehidupan dalam dunia wayang, baik itu nilai-nilai moralitas dalam wayang hingga hakikat penciptaan manusia dan kehidupan berbangsa dan bernegara yang sering di gambarkan dalam  wayang. Beberapa tokoh pergerakan nasional sering juga mengidentitaskan dirinya sebagai salah satu tokoh wayang yang tentunya dapat disimpulkan bahwa ia mencita-citakan dirinya sebagai orang yang ideal layaknya dalam kehidupan wayang ataupun sekedar

Curug Bengkelung, Geopark Mini di Selatan Pekalongan

Pekalongan tak kehabisan dengan objek wisata favorit, hal ini tak lepas dari munculnya spot-spot wisata baru yang memang tersebar di kabupaten ini. Wilayah utara berbatasan dengan pantai (Laut Jawa) dan wilayah selatan merupakan daerah perbukitan hijau yang luas yang tentu menyimpam sejumlah potensi pariwisata. Salah satu yang baru-baru ini menjadi daya tarik sejumlah wisatawan adalah Curug Bengkelung yang terletak di bagian selatan Kabupaten Pekalongan. Eksotisme alam berusaha ditawarkan tempat wisata ini, yakni perpaduan air terjun dan tebing berbatu yang alami. Meski terletak di daerah perbukitan, kerja sama masyarakat dan dinas pariwisata cukup baik sehingga potensi wisata yang sebelumnya kurang dikenal ini makin diminati, di antaranya adalah pembangunan akses jalan ke Curug Bengkelung yang begitu terawat serta adanya loket resmi untuk pembelian tiket para travelermenjadikan objek wisata ini nyaman dan terkondisikan tanpa calo atau preman. Sejumlah fasilitas pun