Skip to main content

3 Hari Memebelah Jawa Tengah



Pagi itu 15 Agustus 2013 aku yang sudah memiliki janji dengan sahabat ku yang bernama Khoiron Anwar (lulusan Fisika FMIPA UI 2013) berencana mendatanagi seorang sahabat kami yang bernama “Puteri” di wilayah Purbalingga. Laju bus mengantarkan saya ke Terminal Tegal sebagai  lokasi pertemuan kami, saya sendiri berasal dari Pemalang dan sahabatku berasal dari  Brebes. Kita adalah teman kampus di Universitas Indonesia yang saat ini sedang mendapat libur semester dan hari raya idul fitri. Perjalanan sempat mengalami kendala karena bis yang saya naiki bukan tujuan Tegal tetapi tujuan Purwokerto, merasa di tipu kernet saya pun turun di dekat Pemalang kota untuk mencari bis jurusan Tegal dan ternyata saya mendapatkannya hingga akhirnya sampailah ke destinasi yang diharapkan yakni di Mushola Terminal Tegal. Awalnya sempat bingung untuk menuju ke Purbalingga, apakah lewat Bumiayu ataukah lewat Pemalang sehingga harus putar balik kembali perjalanan yang sudah saya lalui dari Pemalang ke Tegal. Dengan pertimbangan waktu dan kenyamanan kami pun memilih berputar balik dan melanjutkan perjalanan ke Purbalingga lewat Pemalang meskipun jalannya tidak jauh berbeda jika kita melalui Bumiayu tetapi lewat Pemalang agaknya lebih cepat.                                                                                                                

Sampai akhirnya tujuan utama yakni datang ke rumah “puteri” tercapai, kami kira ini adalah final destination, setelah ngobrol panjang lebar dan istirahat di rumah Puteri kami pun melanjutkan perjalanan ke Karangbolong ke rumah sahabt kami bernama Yulianto teman kampus juga yang kebetulan sering menganjurkan saya untuk main ke rumahnya yang katanya tinggal di dekat laut selatan dengan gunung-gunung kecil atau lebih tepatnya bukit-bukit kapur mengitarinya. Kebetulan niatan kami yang ingin mengibarkan bendera merah putih di puncak Slamet tidak tercapai, sehingga bukit-bukit pun tidak masalah apalagi ada di lokasi ujung selatan pulau Jawa, sehingga memiliki kesan perjuangan pula. Sekitar dua jam kami naik motor ke Karang Bolong dan kami pun tiba di rumah Yulianto dengan sambutan hangat, dan betapa terpesonanya kami berdua karena pemandangan di depan rumahnya adalah samudera Hindia, dengan posisi rumah yang berada di atas bukit kecil menjadikan pemandangan samudera hindia atau laut selatan Jawa tersebut lebih indah, dengan pemandangan ombak besar yang menderu dan perahu-perahu nelayan yang sedang tidak digunakan untuk melaut membuat kami sangat terpesona. 

Hingga hati pada posisi syukur terhadap penguasa jagad yang luar biasa ini “tadi pagi yang kulihat adalah lautan Jawa utara (Tegal), siangnya yang kulihat adalah kokohnya puncak Slamet (Purbalingga), dan sore ini yang kulihat adalah ombak samudera hindia (Karangbolong, Kebumen).Setidaknya kami berada di Kebumen pada tanggal 16 Agustus 2013 sehingga mendekati hari kemerdekaan, untuk itu tidak kami sia-siakan untuk meminta Yulianto mengantarkan kami ke puncak bukit yang menjulang tepat di depan samudera Hindia, dan tentunya sambil membawa bendera merah putih. Setelah meniti tangga, semak, dan berbagai tumbuhan hutan yang ada kami pun memilih sepot untuk beristirahat dan menancapkan bendera merah putih tepat di atas sebuah bukit dengan view lautan hindia yang buas itu. 

Suara ombak yang menghunus karang sebenarnya memberi sinyal takut kepada saya untuk melihat kebawa, tetapi semua itu terlupakan ketika kami berusaha merenungi karunia Tuhan yang ada, karunia akan alam Indonesia yang benar-benar penuh keindahan. Samudera yang luas itu kekayaan Indonesia yang sesungguhnya dengan wilayahnya yang 2/3 adalah lautan “Jales Viva Jaya Mahe” di laut kita berjaya mengalahkan beragam badai dan gelombang untuk menjadi manusia yang tangguh, tapi apa daya paradigma kita sebagai negara maritim solah-olah tertelan dengan beragam julukan lain yang ada seperti Indonesia negara agraris yang tentunya membuat banyak orang mengangap bahwa daratanlah tumpuan utama kehidupan dan melupakan jargon semboyan “nenek moyangku seorang pelaut”. 

Terlepas dari itu semua, apa yang ada di Indonesia adalah cipratan surga dari langit yang begitu menakjubkan, dan tentunya di detik-detik peringatan kemerdekaan Indonesia ada di pikiran kami bagaimana kami harus merenungi makna kemerdekaan itu semua. Apakah benar-benar merdeka? Apakah merdeka itu? Apakah sudah merdeka? Di sana masih ada Freeport? Di sana masih ada kebijakan asing yang mengintervensi kebijakan pemerintah? Dan lain-lain. Ombak samudera Hindia dari ketinggian begitu indah dan membuat siapa saja terkesima. Memang katanya spot yang kami datangi bukan puncak bukit sungguhan karena kata si Yulianto masih agak jauh dan cukup lebat karena tertutup hutan untuk mendatangi puncak bukit yang kata orang sekitar disebut sebagai puncak gunung Lanang. Tidak mengapa memang tidak menuju puncak utama, karena hari sudah siang dan kondisi cuaca yang mendung serta kami harus meneruskan perjelanan ke Dieng, Wonosobo maka kami pun sepakat dengan tuan rumah untuk turun. Ia bercerita bahwa saat di rumah biasanya sudah biasa naik turun bukit untuk mencari rumput sebagai makanan sapinya, kadang juga sapi dibawa naik bukit bersama. Mahasiswa FE UI ini memang terlihat sebagai sosok yang sederhana. Akhirnya sekitar pukul 10.00 Wib kami izin pamit pada tuan rumah yang bersedia menerima kami, baik tidur maupun makan dengan lauk ikan khas samudera Hindia.                                                                                                                    

Siang itu (15/8/13) kami melajukan motor dengan kecepatan tinggi agar sampai ke Dieng sorenya, namun berbagai kendala muncul seperti tersesat  karena GPS yang dari awal kami puji-puji tidak berjalan dengan baik sehingga kami melenceng jauh dari yang diperkirakan sampai akhirnya kami tiba di kota Purworejo yang sebenarnya tidak ada niatan ke tempat ini. Tapi apa daya kendaraan sudah melaju dan hari ini tepat hari Jumat seingga mengharuskan kami mencari masjid untuk salat Jumat, sampai akhirnya tibalah di masjid alun-alun Purworejo. Barulah setelah salat jumat dan rehat sejenak sambil mengisi batere HP kami melanjutkan perjalanan ke Dieng dengan menggunakan GPS yang sudah aktif, tapi berhubung sudah melenceng jauh maka kami pun mencari jalan pintas agar sampai ke tujuan dengan cepat. Alih-alih mencari jalan pintas kami justru tersesat di area persawahan di perbatasan Purworejo dan Temanggung, tapi setelah dilihat kembali kami dan bertanya pada petani arah yang kami tuju memang tidak salah hanya posisi jalan saja yang membuat kami tersesat, dan pak tani pun mengarahkan agar kami belok kanan bukan lurus yang sebenarnya itu arah persawahan. Dari jalan tikus inilah kami menemukan jalan menuju Wonosobo, meskipun pada selanjutnya kami juga tersesat ke arah jalan menuju hutan sehingga sekali lagi diberi arahan petunjuk oleh orang lain. Terkadang insting lebih kuat daripada tekhnologi, hingga kami pun menemukan jalan utama menuju Kretek Wonosobo dan melanjutkan perjalanan ke negri kabut bernama Dieng. Dalam posisi hujan gerimis dan berkabut kami sangat berhati-hat membawa kendaraan kami (Honda Vario) yang sebetulnya lumayan enak untuk dibawa berkendara dalam posisi tanjakan. Dengan sabar kami menghadapi hujan dalam berkendara, sehingga membuat kami terasa kedinginan apalagi ini dalam ketinggian 1000 meter lebih di atas permukaan laut. Sampai akhirnya kami tiba di Dataran tinggi Dieng menjelang adzan maghrib berkumandang dan dengan rasa syukur sekali lagi kami panjatkan kepada Tuhan yang menciptakan alam Indonesia begitu indahnya. Inilah tanah para dewa kata orang-orang “Ti” dan “Hyang”. Ketinggian yang membuat adrenalin meningkat dengan bibir-bibir jalan berupa ladang terasering dan ada pula jalan yang longsor membuat kami berkendara dengan hati-hati. Adzan maghrib pun tiba kami sampai di depan telaga warna, tapi sayang tempat ini baru saja ditutup untuk pengunjung beberapa menit sebelum kedatangan kami karena hari yang sudah gelap, dan akhirnya kami pun melajukan sepeda motor menuju spot lain yang tidak lain adalah kawah sikidang dekat dengan posisi candi-candi Arjuna, di mana kami baru menyadari bahwa tempat yang kami tuju ada di wilayah Banjarnegara bukan lagi di Dieng bagian Wonosobo. 

Langit gelap pertanda malam tiba pun datang dan kami pun segera menuju kawah untuk menikmati pemandangan yang ada, di kawah Sikidang (Banjarnegara) tempat wisata dibuka sampai malam sehingga kami tepat datang ke wilayah ini, harga tiket masuknya pun murah. Setelah menjalankan ibadah salat maghrib dengan kondisi kedinginan pula akibat celana jeans yang basah dan tidak ada rencana menginap pada awalnya, terbesitlah untuk pulang pada malam itu juga tetapi entah mengapa ada ide cemerlang agar kami tidak pulang dan melihat pemandangan pada esoknya yang tentunya konsekuensinya mencari tempat berteduh hingga esok pagi. Rencananya kami ingin tidur di mushola di area kawah ini tetapi berhubung perut lapar dan tersekap oleh suhu dingin (sekitar 1800 meter) kami pun menuju warung makan di sekitar tempat ini, dan pilihan pun jatuh pada warung bakso. Sampai akhirnya terbesit modus untuk mengenalkan diri pada Pak (TB) dan meminta agar memberi tumpangan di warungnya yang beralaskan rumput dan berpenghangat asap arang yang mengepul karena dikipas. Kami pun dipersilakan bahkan mendapat jatah kasur yang hangat yang digelar diatas rumput, karena Pak (TB) juga terbiasa tidur seperti ini menjaga warungnya. Beberapa obrolan pun kami lemparkan, seperti tentang proyek pembangunan panas bumi di wilayah Kawah yang tenryata ketua tim waktu itu adalah dosen dari sahabt Khoiron, yang mana sahabatku ini mengambil spesialisasi jurusan Geologi yang kajiannya tidak jauh dengan kajian panas bumi atau geothermal.                                       

Kami pun menyelesaikan pembicaraan dan beristirahat di warung bakaso ini. Hingga akhirnya fajar datang dengan dinginnya dan kami berusaha melawannya dengan mengambil air wudhu untuk menjalankan shalat subuh, dengan rasa dingin yang ada dan jeans yang sedikit basah (sifatny menyerap dingin) membuat tulang-tulang ini seperti membeku. Kami pun tidak menyia-nyiakan pagi ini 17 Agustus 2013 hari kemerdekaan Indonesia. Dengan rasa hormat kami pun mengambil bendera merah putih yang terpasang di tiang listrik yang ada di sekitar kawah sekit untuk kami bawah ke kawah, tidak itu saja rangsangan untuk mendaki semakin kuat setelah baru menyadari bahwa di sekitar kawah ada bukit yang cukup tinggi. Tanpa bekal apapun selain bendera merah putih, kami berusaha mendaki bukit tersebut yang ternyata dalam hitungan jam puncaknya tidak kunjung kami dapati puncaknya, rupanya rute pendakian ini begitu menarik untuk didaki hingga ke puncaknya hanya saja semak dan pepohonan yang basah menjadi halangan untuk ke puncak secara cepat , dengan keterbatasan bekal maka saya pun meminum air embun atau apa saja yang bisa digunakan untuk menggantikan cairan yang hilang karena kami merasa harus mendaki lebih tinggi. 

Sampai akhirnya kami mengucap rasa syukur kepada Tuhan ketika kami sampai di puncak bukit yang di sana ada pemandangan langka bagi saya pribadi yakni samudera Awan dan kokohnya punggung gunung Sumbing yang tentunya ini tidak berbeda jauh dengan pendakian gunung yang kami impikan saat  berniat ke gunung Slamet, yakni mengibarkan merah putih dan menyanyikan lagu Indonesia raya di puncak Slamet dan disaksikan samudera awa. Mungkin saja ketinggian dataran tinggi Dieng yang berada di atas 1800 meter ditambah tinggi bukit dengan ketinggian ratusan meter setara dengan pendakian gunung-gunung yang memiliki tinggi 3000 meter seperti gunung Gede di Bogor, tetapi di Gunung Gede sendiri pemandangan samudera awan terbilang langka bahkan tidak ada. Sehingga kami mengabadikan momen seperti ini. Samudera awan tepat di tanggal 17 Agustus 2013 atau 68 tahun Indonesia merdeka. Langit yang cerah, gunung yang , menjulang terlihat dari tempat kami berdiri dan saat itu pulalah kami menyanyikan Indonesia raya.
                                         
Siang pun datang dan kami pun menyegerakan turun untuk menuju ke tempat Pak (TB) yang ternyata sudah kami tinggal berjam-jam. Tidak lain tentunya segera berkemas dan mengundurkan diri untuk melanjutkan perjalanan serta mengucapkan banyak terima kasih pada beliau. Sampai di warung Pak (TB) si bapak dan istrinya sedang berbenah untuk berjualan kembali dan kami pun sempat memesan makanan pada mereka untuk mengisi perut kami yang masih kosong dan segera melanjutkan perjalanan. Sampai akhirnya kami pamit dan dengan berat hati kami meninggalkan orang baik yang menolong kami ini hanya dengan senyuman.                                                                                                                                             

Perjalanan selanjutnya adalah pulang ke rumah masing-masing, tetapi rupanya dari awal sahabt saya Khoiron merasa belum puas karena belum melihat pantai pasir panjang yang berada di wilayah Purworejo, di mana hari kemarin keinginan yang begitu kuat untuk melihat pantai pasir panjang sangat kuat tetapi saya yang waktu itu mengemudikan sepeda motor tidak menggubris keinginan sahabtku itu karena hari sudah tengah hari dan kami belum menemukan jalan ke arah Wonosobo, hingga akhirnya karena keinginan sahabatku untuk melihat pantai begitu kuat dan daripada menyesal saat pulang maka saya pun mengiyakan ketika sahabatku tersebut mengajakku kembali ke Purworejo ataupun wilayah Kebumen asal dapat melihat pantai pasir panjang (seperti apa yang tergambarkan di GPS bahwa wilayah sepanjang pantai selatan dari Kebumen sampai Purworejo hingga ke Jogja tergambar memiliki sebuah garis pantai yang begitu panjang), sepanjang tiga wilayah tersebut.     

Akhirnya dengan tenaga yang tersisa kami pun melanjutkan perjalanan bukan untuk pulang melainkan kembali ke arah selatan yakni tepian pantai samudera Hindia, pantai yang landai bukan terjal atau karang. Kami pun memutuskan untuk memotong jalan, yakni melalui beberapa daerah yang bagi kami masih asing, patokannya adalah Waduk Wadas Lintang. Sampai akhirnya kami tiba di kota Kebumen dan sejenak kami rehat di warung minum es dawet hitam untuk mengobati rasa lelah kami sambil menanyakan arah pantai terdekat untuk kami datangi.                                       

Setelah kami telusuri petunjuk yang diberikan oleh penjual dawet, kami pun sampai di pantai Laguna Kebumen. Sebuah pantai panjang yang memukau dengan lagun-lagun yang luar biasa. Pantai bagi sahabtku Khoiron adalah sebuah bentuk keindahan yang luar biasa dan mengobati kegalauannya. Dia lebih menyukai pantai daripada gunung. Saya pun menyukai pantai tapi juga menyukai gunung, karena di ke dua tempat ini kita bisa menuliskan sebuah nama kekasih kita. Jika di pantai nama kekasih bisa ditulis di hamparan pasir, jika di gunung tentunya kita bisa menuliskan nama kekasih di deretan awan yang membentang. Mungkin. 

Aku adalah pengelana 
Aku tak takut tersesat
Mencari tujuan, mencari cinta, mencari kekuatan
Tak bisa aku berikan yang terbaik
Tapi aku akan selalu mencoba
Terus mencoba, hingga temukan makna hidup yang paling dalam
Aku adalah pengembara
Mengelana terkadang tak tau arah

Samudera hati tak ubahnya lautan sepi yang penuh pasir 
Melukiskan sebuah nama dan sebuah cerita
Tak usahlah berbangga memegang panji jika bukan dari lubuk hati
Menyembunyikan kata-kata indah yang sepenuhnya dikatakan













                                                         

Comments

Popular posts from this blog

Makhluk Paradoksal Itu Bernama Prabu Watu Gunung

Prabu Wat u G unu ng : Sebuah Tragedi Moralitas Perkawinana Anak dan Ibu Latar Belakang Indonesia yang merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau lebih dari 17.000 pulau, dan tentunya memiliki keanekaragaman hayati yang luar biasa, begitu juga dengan keanekaragaman masyarakat yang masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga melahirkan budaya-budaya yang beranekaragam pula dengan nilai yang tak terhingga. Nenek moyang bangsa Indonesia adalah manusia yang penuh dengan kekreativitasan dalam berkarya seni dan pandai dalam memaknai dan mengelolah segala yang ada di alam sekitar. Bukti-bukti sejarah telah memberikan pemahaman akan hal tersebut, baik itu dalam bentuk situs seperti candi maupun peninggalan lain dalam bentuk tulisan yang terangkai indah dalam prasasti maupun teks-teks yang terwariskan. Hal ini tentunya bertolak belakang dengan kondisi masy a rakat sekarang yang cenderung bangga terhadap budaya asing yang terkesan lata .

Point Of View Pertunjukan Wayang Kulit: Lakon Kumbakarno Gugur Dalam Kaitannya dengan Kehidupan Politik Berbangsa dan Bernegara di Indonesia

Pendahuuan Wayang sebagai kebudayaan nasional memiliki sejarah panjang dalam berbagai konteks dan dinamika kehidupan di Nusantara hingga menjadi negara yang bernama Indonesia. Menjadi alat ritual sesembahan terhadap dewa, menjadi alat dakwah, menjadi alat seni pertunjukan untuk menghibur masyarakat, hingga menjadi alat kekuasaan orang-orang yang berkuasa yang  berusaha memanfaatkannya, baik untuk suksesi diri dan golongannya maupun penanaman ideologi kepada orang lain melalui wayang. Dinamika perpolitikan di negri ini pun ada kalanya selalu dikaitkan dengan kehidupan dalam dunia wayang, baik itu nilai-nilai moralitas dalam wayang hingga hakikat penciptaan manusia dan kehidupan berbangsa dan bernegara yang sering di gambarkan dalam  wayang. Beberapa tokoh pergerakan nasional sering juga mengidentitaskan dirinya sebagai salah satu tokoh wayang yang tentunya dapat disimpulkan bahwa ia mencita-citakan dirinya sebagai orang yang ideal layaknya dalam kehidupan wayang ataupun sekedar

Curug Bengkelung, Geopark Mini di Selatan Pekalongan

Pekalongan tak kehabisan dengan objek wisata favorit, hal ini tak lepas dari munculnya spot-spot wisata baru yang memang tersebar di kabupaten ini. Wilayah utara berbatasan dengan pantai (Laut Jawa) dan wilayah selatan merupakan daerah perbukitan hijau yang luas yang tentu menyimpam sejumlah potensi pariwisata. Salah satu yang baru-baru ini menjadi daya tarik sejumlah wisatawan adalah Curug Bengkelung yang terletak di bagian selatan Kabupaten Pekalongan. Eksotisme alam berusaha ditawarkan tempat wisata ini, yakni perpaduan air terjun dan tebing berbatu yang alami. Meski terletak di daerah perbukitan, kerja sama masyarakat dan dinas pariwisata cukup baik sehingga potensi wisata yang sebelumnya kurang dikenal ini makin diminati, di antaranya adalah pembangunan akses jalan ke Curug Bengkelung yang begitu terawat serta adanya loket resmi untuk pembelian tiket para travelermenjadikan objek wisata ini nyaman dan terkondisikan tanpa calo atau preman. Sejumlah fasilitas pun