Skip to main content

Mahkamah Kongkalikong


                             Mahkamah Kongkalikong

                                   Oleh Akbar Priyono*

        Menyikapi kasus penangkapan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentu tidak berbeda jauh dengan sikap semua rakyat yang miris dan sedih mendengarkan berita ini dan menginginkan agar institusi MK dibubarkan ataupun menghukum berat ketua MK. Mahkamah konstitusi yang menjadi muara terkahir sebuah kasus hukum di Indonesia dan ibaratnya adalah malaikat bagi segenap masyarakat tetapi justru menghianati nilai kebenaran yang sepatutnya dijunjung tinggi.
      
        Tentu saja hal yang tragis dan ironi ini sepatutnya menjadi pembelajaran setiap manusia yang masih sadar akan kebenaran. Bahwa kekuatan dan kekuasaan di negeri ini masih condong berpihak kepada ketidakbenaran karena diisi oleh kepentingan-kepentingan golongan. Hukum di negeri ini yang masih membutuhkan orang-orang bijak dan tegas dalam mengambil keputusan, ternyata dimanfaatkan oleh sejumlah pihak yang punya kepentingan demi meluluskan segala hasratnya.
         
        Bagaimanapun kasus yang menjerat ketua MK ini harus dijadikan pijakan keputusan pemerintah ke depannya agar tidak memilih otoritas yang salah dalam sebuah institusi, karena ini sangat berkaitan erat dengan kondisi rakyat dan negara ke depan. Hukum adalah hal yang sakral dan bukan masalah sepeleh karena berkaitan erat dengan martabat dan derajat manusia di dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Apabila hukum sudah dikuasai oleh sekelompok golongan tentu akan terjadi perubahan orientasi keberpihakan dan tujuan awal dari fungsi dan peranan hukum karena sudah tidak ada lagi independensi yang tertanam di dalamnya. Independensi sebagai kekuatan hukum bukan semata-amat pada wacana dan aturan yang berlaku tetapi mencakup semua hingga ke akar-akarnya yang tentunya berkaitan erat dengan manusia-manusia sebagai pelaku di dalamnya. Jangan sampai orang yang mencuri biji kopi ataupun sandal divonis bertahun-tahun penjara, sedangkan mereka yang menjadi tersangka korupsi dan kecurangan-kecurangan politik divonis ringan hanya karena mampu membeli keputusan hukum itu sendiri.

Hukuman untuk hakim korup
       
         Mennyadari telah terjadi kasus kongkalikong di wilayah peradilan tinggi di Indonesia, tidak tanggung-tanggung ketua MK menjadi pelakunya, tentu dibutuhkan tindakan tegas berkaitan dengan sanksi yang dijatuhkan. Pengunduran diri sebagai ketua MK tetnunya belum cukup menjadikan masyarakat puas, dibutuhkan hukuman yang berat untuk orang yang sepatutnya menjadi panutan bagi segenap masyarakat ini. Apakah perlu hukuman potong jari dan pemiskinan seperti apa yang dikatakan oleh Akil Mochtar sendiri? tentunya itu kembali kepada hukum yang berlaku dan bagaimana konteks peradilan berjalan nantinya. Apabila hukum di Indonesia berkomitmen untuk berpihak kepada rakyat maka hukuman untuk ketua MK yang terjerat kasus korupsi ini, tentunya harus berlipat ganda dibanding pelaku korupsi pada umumnya. Jika pada kenyataannya berbeda dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat luas terkait dengan hukuman untuk ketua MK ini tentu akan menanamkan bibit korupsi yang lebih buruk di negeri ini.      
        
        Korupsi adalah tindakan kesemenaan yang harus dihapus bukan dikasihani dan diberi ampun dengan mudah. Bukankah kita dapat melihat beberapa kasus yang ada di negara lain seperti di Cina yang dengan tegasnya memberikan hukuman begitu berat terhadap mereka yang melakukan aksi korupsi di negerinya. Karena mereka sadar bahwa korupsi adalah tindakan yang sangat lalim dan menambah penderitaan rakyat. Dalam sejarah bangsa Indonesia pun sebetulnya kita pernah memiliki hukuman yang bisa dikatakan berat dan “radikal” bagi pelaku korupsi yakni Dombreng sebuah aksi masyrakat yang mengarak pejabat korup di wilayah eks Karisidenan Pekalongan saat peristiwa revolusi tiga daerah tahun 1945. Tentu jangan melihat begitu “liarnya” hukaman Dombreng yang pernah terjadi, tetapi bagaimana mengadopsi hukuman atau sanksi seperti ini di era sekarang dalam bentuk lain, yang tentu saja dapat digunakan sebagai salah satu hukuman alternatif untuk menjegal koruptor, agar supaya korupsi di negeri ini dapat berkurang bahkan lenyap. Dombreng merupakan jenis sanksi sosial dengan cara mengarak tersangka korupsi yang tidak lain adalah pimpinan korup di wilayah eks Karisidenan Pekalongan (Tegal, Brebes, Pemalang) tahun 1945. Hukuman ini berasal dari kata Kentongan dan Breng (seng atau kaleng), karena tersangka korup diarak keliling layaknya topeng monyet, tentang Dombreng dapat dilihat dalam buku sejarah karya Anton E. Lucas yang berjudul One Soul One Struggle: Peristiwa Tiga Daerah Dalam Revolusi Indonesia. Setidaknya Dombreng tidak lebih menyakitkan daripada hukuman mati atau potong jari dan tidak lebih ringan daripada hukuman pemiskinan. Mari bayangkan jika pimpinan Negara yang korup diarak keliling Monas oleh rakyatnya sendiri tentu akan membuatnya jerah dan tidak akan mengulangi tindakan korupsi yang pernah dilakukannya. Oleh sebab itu kita butuh hukuman alternatif apalagi terhadap pelaku kongkalikong hukum di mahkamah konstitusi, yang merupakan benteng utama peradilan Negara ini.

Penutup

Jika Mahkamah Konstitusi yang seharusnya menjadi panutan dalam masalah hukum justru melakukan tindakan senonoh berupa kongkalikong peradilan maka dengan ini Mahkamah Konstitusi sebagai benteng utama peradilan di Indonesia tidak mampu menjaga kredibilitas serta independensi untuk sebuah keadilan, dan tentunya ketika benteng utama itu retak dan roboh maka hanya ada satu benteng terakhir dan tertinggi dari sebuah hukum, tidak lain adalah hukuman dari rakyat itu sendiri. Apakah semua pelaku korupsi diserahkan kepada rakyat saja untuk diadili? Karena merekalah pemilik rasa dan karsa sesungguhnya. Salam

Comments

Popular posts from this blog

Makhluk Paradoksal Itu Bernama Prabu Watu Gunung

Prabu Wat u G unu ng : Sebuah Tragedi Moralitas Perkawinana Anak dan Ibu Latar Belakang Indonesia yang merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau lebih dari 17.000 pulau, dan tentunya memiliki keanekaragaman hayati yang luar biasa, begitu juga dengan keanekaragaman masyarakat yang masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga melahirkan budaya-budaya yang beranekaragam pula dengan nilai yang tak terhingga. Nenek moyang bangsa Indonesia adalah manusia yang penuh dengan kekreativitasan dalam berkarya seni dan pandai dalam memaknai dan mengelolah segala yang ada di alam sekitar. Bukti-bukti sejarah telah memberikan pemahaman akan hal tersebut, baik itu dalam bentuk situs seperti candi maupun peninggalan lain dalam bentuk tulisan yang terangkai indah dalam prasasti maupun teks-teks yang terwariskan. Hal ini tentunya bertolak belakang dengan kondisi masy a rakat sekarang yang cenderung bangga terhadap budaya asing yang terkesan lata .

Point Of View Pertunjukan Wayang Kulit: Lakon Kumbakarno Gugur Dalam Kaitannya dengan Kehidupan Politik Berbangsa dan Bernegara di Indonesia

Pendahuuan Wayang sebagai kebudayaan nasional memiliki sejarah panjang dalam berbagai konteks dan dinamika kehidupan di Nusantara hingga menjadi negara yang bernama Indonesia. Menjadi alat ritual sesembahan terhadap dewa, menjadi alat dakwah, menjadi alat seni pertunjukan untuk menghibur masyarakat, hingga menjadi alat kekuasaan orang-orang yang berkuasa yang  berusaha memanfaatkannya, baik untuk suksesi diri dan golongannya maupun penanaman ideologi kepada orang lain melalui wayang. Dinamika perpolitikan di negri ini pun ada kalanya selalu dikaitkan dengan kehidupan dalam dunia wayang, baik itu nilai-nilai moralitas dalam wayang hingga hakikat penciptaan manusia dan kehidupan berbangsa dan bernegara yang sering di gambarkan dalam  wayang. Beberapa tokoh pergerakan nasional sering juga mengidentitaskan dirinya sebagai salah satu tokoh wayang yang tentunya dapat disimpulkan bahwa ia mencita-citakan dirinya sebagai orang yang ideal layaknya dalam kehidupan wayang ataupun sekedar

Curug Bengkelung, Geopark Mini di Selatan Pekalongan

Pekalongan tak kehabisan dengan objek wisata favorit, hal ini tak lepas dari munculnya spot-spot wisata baru yang memang tersebar di kabupaten ini. Wilayah utara berbatasan dengan pantai (Laut Jawa) dan wilayah selatan merupakan daerah perbukitan hijau yang luas yang tentu menyimpam sejumlah potensi pariwisata. Salah satu yang baru-baru ini menjadi daya tarik sejumlah wisatawan adalah Curug Bengkelung yang terletak di bagian selatan Kabupaten Pekalongan. Eksotisme alam berusaha ditawarkan tempat wisata ini, yakni perpaduan air terjun dan tebing berbatu yang alami. Meski terletak di daerah perbukitan, kerja sama masyarakat dan dinas pariwisata cukup baik sehingga potensi wisata yang sebelumnya kurang dikenal ini makin diminati, di antaranya adalah pembangunan akses jalan ke Curug Bengkelung yang begitu terawat serta adanya loket resmi untuk pembelian tiket para travelermenjadikan objek wisata ini nyaman dan terkondisikan tanpa calo atau preman. Sejumlah fasilitas pun