Skip to main content

Makhluk Paradoksal Itu Bernama Prabu Watu Gunung

Prabu Watu Gunung: Sebuah Tragedi Moralitas Perkawinana Anak dan Ibu



Latar Belakang

Indonesia yang merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau lebih dari 17.000 pulau, dan tentunya memiliki keanekaragaman hayati yang luar biasa, begitu juga dengan keanekaragaman masyarakat yang masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga melahirkan budaya-budaya yang beranekaragam pula dengan nilai yang tak terhingga.

Nenek moyang bangsa Indonesia adalah manusia yang penuh dengan kekreativitasan dalam berkarya seni dan pandai dalam memaknai dan mengelolah segala yang ada di alam sekitar. Bukti-bukti sejarah telah memberikan pemahaman akan hal tersebut, baik itu dalam bentuk situs seperti candi maupun peninggalan lain dalam bentuk tulisan yang terangkai indah dalam prasasti maupun teks-teks yang terwariskan. Hal ini tentunya bertolak belakang dengan kondisi masyarakat sekarang yang cenderung bangga terhadap budaya asing yang terkesan lata.

Tentunya pemahaman akan manusia Indonesia harus dilihat dari apa yang telah dihasilakan dalam sejarah, karena dengan melihat sejarah yang kita miliki akan menjadikan bekal kita untuk hidup lebih baik pada masa sekarang maupun masa yang akan datang. Oleh karena itu tidak salah jika kita menggali sebuah nilai dari beragam peninggalan nenek moyang kita yang telah arif dan bijaksana untuk menorehkan pesan-pesan yang penuh makna filosofis baik dalam bentuk tutur, mitos, maupun tulisan-tulisan yang tujuannya adalah untuk memberi pengajaran kepada dirinya sendiri maupun orang lain untuk mencapai derajat moralitas maupun etika yang agung.

Untuk itu pada tulisan ini akan menyinggung sebuah cerita yang termaktub dalam Babad Tanah Jawi, dimana akan dipaparkan tentang sebuah cerita Prabu Watoe Goenoeng di kerajaan Giling Wesi yang tentunya akan memberikan hikamah kepada kita dalam rangka menjalani kehidupan di dunia ini utamanya dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara yang secara tidak sadar kita telah melupakan nilai moralitas dan meninggalkan nilai-nilai kearifan yang telah dijunjung tinggi sejak nenek moyang kita. Untuk itu perlu adanya kesadaran kita semua sebagai manusia Indonesia yang merindukan keidealan.

Metode Penelitian
            
         Metode kepenulisan yang digunakan adalah analisis deskriptif melalui pendekataan kebudayaan, dengan langkah kerja penelitian melalui studi pustaka. Studi pustaka merupakan suatu cara mengumpulkan data dengan mempelajari berbagai literatur sebagai bahan acuan dalam menulis laporan. (Keraf,1979 :152)[1]

Penelitian Sebelumnya

Tentu saja sudah banyak yang meneliti Babad Tanah Jawi dari berbagai sudut pandang dan teori, termasuk nilaik-nilai moralitas yang pada tulisan ini juga akan dibahas, yakni cerita tentang Prabu Watu Gunung dan Dewi Sinta yang merupakan ibu dan anak tetapi melakukan pernikahan. Apalagi cerita yang menyerupai kisah Prabu Watu Gunung juga terdapat di dalam wilayah Sunda dalam konteks moralitas yakni kisah Sangkuriang, sehingga sudah banyak penelitian yang menyinggung cerita-cerita tersebut dalam ranah sastra perbandingan. Beberapa tulisan yang secara langsung maupun tidak langsung menyinggung tentang kisah Prabu Watu Gunung adalah seperti berikut:
1. Ajaran Moral Tentang Perkawinan Ibu dan Anak Dalam Naskah Cariyosipun Tiyang Kalang Karya Tumenggung Arung Binang (Suatu Tinjauan Struktural dan Moralitas) karya Teguh (dalam situs Scribd.com)
2.Tesis Magister Ilmu Susastra “Dongeng Timun Emas (Indonesia) dan “Dongeng Sanmai No Ofuda (Jepang) oleh Yuliani Rahmah tahun 2007 Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, memang hanya sekilas disinggung nama Prabu Watu Gunung tetapi teori perbandingan sastranya dapat digunakan untuk membandingkan cerita Prabu Watu Gunung dan cerita Sangkuriang.
3. Karya-karya lainnya yang belum diketahui oleh penulis

Landasan Teori

Dalam dunia kekuasaan Jawa sering ditemukan berbagai cerita ataupun mitos yang digunakan sebagai alat legitimasi sang penguasa terhadap rakyatnnya, begitu juga dalam kasus yang ditemukan di Babad Tanah Jawi dimana seolah-olah penguasa Jawa adalah pewaris para nabi dalam konteks Islam dan disangkutpautkan pula dengan konsepsi Dewa dalam konteks Hindu-Budha. Seperti apa yang diungkapkan oleh Marsilius tentang kedaulatan Tuhan yang diwakili oleh raja di dunia, dan ini justru menciptakan kesewenangan yang dilakukan oleh para raja dengan alasan bahwa setiap perintah raja adalah perintah Tuhan.

Sebuah cerita dapat digunakan untuk mendorong dan mempengaruhi seseorang untuk berpikir dan bertindak ke berbagai arah. Adanya cerita dapat menjadi peta budaya dari masyarakat bersangkutan. Jadi bukan hanya cerita itu saja yang menjadi magis, akan tetapi juga isi cerita itu sendiri yang secara tidak langsung membentuk mitos yang sulit di ubah (Neuhaser, 1994 dalam Zeffry, 1998: 47).

Teori yang diungkapkan oleh Neuhser tentunya dapat kita gunakan sebagai landasan teori untuk pembahasan Babad Tanah Jawi, dan dalam hal ini adalah mengungkap cerita Prabu Watu Gunung ing Giling Wesi, apakah itu sebuah mitos guna melanggengkan kepentingan golongan atau memang sebuah paradoksal (kisah yang terkesan tidak ada padahal ada).

Begitu juga apa yang diungkapkan Soleman B. Taneko yang mengutip teori Maurige Duverger (1982) tentang nilai-nilai sosial yang dihasilkan oleh unsur rasa masyarakat secara umum dapat dinyatakan sebagai keyakinan relatif kepada yang baik dan buruk, yang benar dan salah, kepada apa yang seharusnya ada dan apa yang seharusnya tidak ada (Walujo, 2000:17). Apa yang di sampaikan Duverger tentunya memberikan pemahaman kepada kita akan sebuah perbandingan nilai antara nilai positif dan negatif dalam sebuah cerita, dan di sini cerita Prabu Watu Gunung dalam Babad Tanah Jawi tentunya akan menjadikan para pembacanya dapat mengambil pelajaran antara nilai yang baik dan buruk tersebut dan menjadikannya lebih bijak dalam menjalankan kehidupan.

Lain halnya apa yang disampaiakan Kluckhohn pernyataannya, Kluckhohn mengatakan, nilai budaya mengandung standard normatif untuk perilaku, baik dalam hubungannya dengan kehidupan pribadi maupun dalam hubungannya dengan kehidupan sosial. Salah satu masalah pokok yang membahas nilai budaya menurut Kluckhohn adalah nilai hakikat dari suatu karya manusia (Walujo, 2000:1). Apa yang disampaikan oleh Kluckhohn tentunya dapat menjadi rujukan dalam rangka membahas sebuah cerita yang dalam hal ini adalah cerita Prabu Watu Gunung Ing Giling Wesi yang tentunya dapat dijadikan referensi oleh para masyrakat yang membaca kisah tersebut, utamanya dalam menggali nilai yang terkandung dalam cerita untuk kemudian disesuaikan dengan budaya yang mereka yakini dan jalankan saat ini.

Koenjaraningrat tentang nilai budaya (1984: 8 – 25), nilai budaya adalah sebuah lapisan abstrak dan luas ruang lingkupnya. Pada lapisan ini terdapat ide-ide mengonsepsikan hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan masyrakat. Suatu sistem nilai budaya terdiri atas konsepsi-konsepsi yang hidup dalam pikiran sebagian besar warga masyrakat mengenai hal-hal yang (harus) mereka anggap bernilai dalam hidup. Oleh karena itu, suatu sistem nilai kebudayaan biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Sistem kelakuan manusia yang tingkatnya lebih konkret seperti aturan-aturan khusus hukum, hukum, dan norma-norma. Semuanya berpedoman pada nilai budaya itu.[2]

Moralitas menurut Poespordjo adalah kualitas dalam perbuatan manusia yang dengan itu kita berkata bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk (1986:102). Moralitas mencakup pengetian tentang baik buruknya perbuatan manusia. Sedangkan ajaran moral maksudnya ajaran wewejangan, khotbah-khotbah, patokan, kumpulan peraturan dan ketetapan baik lisan maupun tertulis tentang bagaimana manusia harus hidup bertindak agar menjadi manusia yang baik (Franz Magnis Suseno 1988:15).[3]

 Pembahasan

Babad Tanah Jawi merupakan buku yang mengisahkan sejumlah cerita dari tanah Jawa bahkan Pasundan, terdiri dari 124 cerita dan memiliki keutamaan sebagai sebuah karya sastra yang dijadikan legitimasi bagi penguasa yang ada, dalam hal ini tentunya adalah kekuasaan kerajaan Mataram. Salah satu yang menarik adalah cerita tentang Raja Watu Gunung dari Kerajaan Giling Wesi (Praboe Watoe-Goenoeng ing Giling Wesi). 
                               
                                               
     Gambar. 2: Prabu Watu Gunung
      
          Dari cerita yang ada di Dalam Babad Tanah Jawi (J.J Ras) halaman 7-11 diceritakanlah kehidupan seorang raja di kerajaan Giling Wesi bernama Prabu Watu Gunung:

Ketjarios negari ing Giling-Wesi. Wonten ingkang djoemeneng ratoe, adjedjoeloek Watoe Goenoeng. Garwanipoen kekalih: setoenggil nama dewi Sinta, kalih dewi Landep. Poetranipun pitoelikoer, sami kakoeng sedaja, anama Woekir, Koerantil, Toloe, Goembreg, Warigalit, Warigagoeng, Djoeloeng-Wangi, Soengsang, Galoengan, Koeningan, Langkir, Manda-Sija, Djoeloeng-Poedjoet, Pahang, Koeroe-Weloet, Marakeh, Tambir, Madangkoengan, Maktal, Poejoe, Menahil, Prang-Bakat, Bala, Woegoe, Wajang, Koelawoe, Doekoet. Sami Patoetan saking dewi Sinta (Diceritakan di sebuah negeri Giling Wesi. Telah dipimpin oleh seorang raja, dengan julukan Watu Gunung. Istrinya ada dua: yang pertama bernama Dewi Sinta, yang kedua bernama Dewi Landep. Memiliki putra sejumlah duapuluh tujuh, semuanya laki-laki, dengan nama: Woekir, Koerantil, Toloe, Goembreg, Warigalit, Warigagoeng, Djoeloeng-Wangi, Soengsang, Galoengan, Koeningan, Langkir, Manda-Sija, Djoeloeng-Poedjoet, Pahang, Koeroe-Weloet, Marakeh, Tambir, Madangkoengan, Maktal, Poejoe, Menahil, Prang-Bakat, Bala, Woegoe, Wajang, Koelawoe, Doekoet. Semuanya adalah anak dewi Sinta).

Baris cerita di atas merupakan penjelasan tentang istri dan keturunan dari raja Watu Gunung yang telah disebutkan sebagai raja di wilayah Giling Wesi. Sang raja memiliki dua istri dan duapuluh tujuh putra, yang kesemuanya berasal dari Istri pertamanya bernama dewi Sinta, tidak disebutkan istri kedua yang bernama dewi Landep memiliki putra atupun putri.

Hal yang menarik dari cerita Prabu Watu Gunung adalah tentang bagaimana ia menikah dengan ibunya sendiri, Dewi Sinta yang dia perisitri dan telah memiliki sebanyak 27 putra adalah Ibunya yang masih terlihat cantik dan sudah lama tidak ditemuinya. Sampai pada akhirnya sang Prabu diketahui oleh dewi Sinta bahwa Watu Gunung adalah puta kecilnya dulu yang sempat kabur dari rumah akibat dipukul oleh dirinya karena melihat kenakalan anaknya yang tidak lain adalah Prabu Watu Gunung atau Raden Wudug (nama ketika kecil). Raden Wudug merasa kesal dengan ibunya yang memukulnyadengan sebuah centong nasi sehingga meninggalkan bekas luka di kepalanya. Dapat dilihat pada penggalan cerita di bawah ini:

Dewi Sinta kaget sanget, mboten saged ngandika, mijarsakaken pangandikanipoen sang praboe. Kengetan poetranipoen ingkang kesah, ladjeng mboten mantoek-mantoek, amargi dipoen-githik ing entong: tetes kalih tjarijosipoen sang nata. Sanget soesah ing galihipoen , awit kagarwa dateng ingkang poetra pijambak; mboedi marginipoen, saged oewal saking nata (Dewi Sinta kaget sekali, tidak dapat berkata apa-apa, karena mendengarkan cerita sang prabu. Ingat akan putranya yang telah pergi, kemudian tidak pernah kembali, karena dipukul dengan centong: cerita yang sama persis dengan sang raja. Sangat bimbang hati (dewi Sinta), mana mungkin seorang ibu dinikahi oleh anaknya sendiri, ia pun mencari jalan agar dia bisa lepas dari sang raja).

     Cerita yang disampaikan prabu Watu Gunung kepada Dewi Sinta terjadi pada saat Sang Prabu Watu Gunung diuji oleh yang Maha Kuasa akan kelaparan dan musim paceklik (bencana) melanda negerinya sehingga ia membutuhkan hiburan dari selir-selirnya, saat itulah ia bercerita akan masa kecilnya kepada Dewi Sinta yang merupakan istri tercintanya. Setalah Dewi Sinta tahu bahwa prabu Watu Gunung adalah putranya melalui cerita yang disampaikan oleh (yang) ternyata anaknya karena kesesuaian cerita dan tanda luka, maka dewi Sinta pun meminta prabu Watu Gunung mencari selir dari kahyangan, yang merupakan alasan halus dewi Sinta agar tidak terjadi tindakan amoral (pernikahan ibu-anak).

....Kirangipoen poenika, dene sang nata dereng krama Widadari ing Soera-laja. Tjiptanipun dewi Sinta, bilih sang nata nglamar widadari ing Soera-laja, mesthi dados perang, sang nata nemahi seda....(....Kekurangannya itu, bahwa sang prabu belum menikah dengan bidadri di Suralaya. Niatnya Dewi Sinta jika sang prabu melamar bidadari Suralaya , tentu akan menemui ajalnya....)

Dewi Sinta tahu bahwa ketika sang prabu akan memperistri bidadari maka ia harus berhadapan dengan para dewa yang kuat, yang kemungkinan besar prabu Watu Gunung tidak sanggup mengalahkan para dewa di kahyangan dan akan menemui ajalnya. Tentunya bagi dewi Sinta ini cara yang terbaik daripada anak dan ibu melakukan dosa besar. Lalu mengapa dewi Sinta tidak memberitahukan secara langsung saja terkait hubungan darah di antara mereka, daripada terjadi pertempuran besar antara makhluk bumi dan makhluk kahyangan (Suralaya) yang tentunya akan mengorbankan suami yang tidak lain anaknya sendiri tersebut?

Pada akhirnya memang prabu Watu Gunung naik ke Kahyangan dan ditentang oleh Batara Wisnu yang merupakan Batara Guru, dimana Batra Guru telah gusar ketika mengetahui bahwa Prabu Watu Gunung yang terkenal sakti akan naik ke Suralaya dan menikahi bidadari. Sampai akhirnya Batara Guru memerintahkan Narada untuk menjemput Batara Wisnu di bumi, diceritakan sebab-musabab turunnya Batara Wisnu ke bumi karena hukuman dari ayahandanya yang tidak lain adalah Batara Guru, ia dikutuk karena dianggap melanggar kodrat cinta, di mana Batara Wisnu merasa jatuh hati bahkan menikahi putri Mendang yang sebenarnya telah menjadi pilihan ayahandanya. Mendengar hal ini Bata Wisnu langsung mengutus Narada untuk mengucilkan putranya, sampai akhirnya Batara Wisnu memilih untuk bertapa brata di sebuah tempat yang memiliki pohon beringin kembar berjumlah tujuh. Ia akhirnya kembali ke Suralaya setelah diminta oleh ayahandanya untuk berperang melawan prabu Watu Gunung sebagai penebusan dosa.

Prabu Watu Gunung akhirnya mati karena cara perang yang dipilihnya sendiri, yakni memilih cara tebak-tebakan pertanyaan antara dirinya dan Batara Wisnu. Sebelumnya dilihat dari jumlah pasukan sesungguhnya yang berpeluang memenangkan peperangan adalah prabu Watu Gunung karena membawa semua putranya yang berjumlah 27 putra, sedangkan Batara Wisnu hanya membawa anak satu-satunya yang tidak lain adalah Wisnu Murthi. Prabu Watu gunung terpenggal kepalanya oleh senjata cakra milik Batara Wisnu setelah Batara Wisnu mampu menjawab pertanyaan yang diberikan olehnya, hingga akhirnya dia rebah dan para putranya bubar.

Sang Nata mboten saged ngandika, roemaos, kadjawab tjangkrimanipoen. Ladjeng dipoen-tjakra dateng batara Wisnoe, pegat djangganipoen. Sakatah ing balanipoen sami ngisis, bibar, mantoek sedaja (Sang raja terbungkam, merasa pertanyaannya telah terjawab. Sampai akhirnya di cakra oleh Wisnu, putuslah lehernya, Banyak prajuritnya yang bubar, mencari aman).
     
Kematian prabu Watu Gunung membuat dewi Sinta sangat bersedih, dan menangis tiada tara sehingga menggoncangkan Suralaya (sungguh aneh dewi Sinta, dimana sebelumnya mengharapkan prabu Watu Gunung mati oleh para dewa, sekarang setelah sang prabu mati, ia menagis tiada tara). Tangisannya yang menggoncangkan Suralaya menjadikan Batara Guru panik akan tangis tersebut dan memerintahkan untuk menghentikan tangis dewi Sinta dengan menjanjikan kepadanya kehidupan kembali sang Prabu Watu Gunung dalam kurun waktu 3 hari.

Sesedanipoen praboe Watoe-Goenoeng dewi Sinta sanget moewoen, ndatengaken gara-gara ngantos doemoegi ing Soera-laja, ndadosaken soesahipoen para dewa (Pasca meninggalnya prabu Watu Gunung dewi Sinta sangat bersedih, mendatangkan masalah hingga Soeralaya, mendatangkan kesusahan para dewa).

Dewi Sinta kembali menagis karena dalam kurun waktu yang dijanjikan yakni 3 hari sang prabu yang dinantikannya tidak juga hidup. Akhirnya sang Batara Guru ingat akan janjinya dan menghidupkan prabu Watu Gunung, setalah prabu Watu Gunung berhasil dihidupkan ia tidak mau kembali ke Suralaya karena merasa betah hidup di surga, justru mengharapkan agar keluarganya yang masih hidup untuk disegerakan kematiannya supaya dapat menyusul ke Surga. Akhirnya Batara Guru mengabulkan permintaan prabu Watu Gunung dengan mengambil semua keluarganya satu persatu. Dari sinilah muncul penghitungan wuku sejumlah 30 hari.

....Pamenditipoen saking setoenggil-setoenggil saben ngahad. Poenika wiwitanipoen wonten woekoe tigang dasa. (Di ambil satu-persatu setiap minggu. Sampai wuku ke tigapuluh)

                                                                                                                       
Adapun nama wuku-wuku yang dimaksud adalah:
1. Sinta,
11. Galungan,
21. Maktal,
2. Landep,
12. Kuningan,
22. Wuje,
3. Wukir-,
13. Langkir
23. Manahil,
4. Kurantil,
14. Mandasiya,
24. Prangbakat,
5. Tolu,
15. Julungpujut,
25. Bala,
6. Gumbreg,
16. Pahang,
26. Wugu,
7. Warigalit,
17. Kuruwelut,
27. Wayang,
8. Warigagung
18. Marakeh,
28. Kulawu,
9. Julungwangi,
19. Tambir,
29. Dhukut,
10. Sungsang,
20. Madangkungan,
30. Watugunung.





















Tabel 1: Nama-nama wuku[4]

Adapun Dewa-dewa ketigapuluh wuku itu adalah:
1.Yamadipati,
11. Kamajaya,
21. Sakri,
2. Mahadewa
12. Endra,
22. Kuwera,
3. Mahayekti,
13. Barawa (Kala),
23. Citragotra,
4. Langsur,
14. Brama,
24. Resi Bisma,
5. Bayu,
15. Guritna,
25. Betari Durga,
6. Cakra,
16. Tantra,
26. Singajalma,
7. Asmara,
17. Wisnu,
27. Betari Sri,
8. Mahayekti,
18. Surengga
28. Betara Sadana,
9. Sambu,
19. Siwah,
29. Sakri,
10. Gana,
20. Basuki,
30. Sang Hyang Antaboga dan Dewi Nagagini,
                                Tabel. 2 Nama dewa-dewa ketigapuluh wuku[5]

           Demikianlah kisah yang melingkupi kehidupan Prabu Watu Gunung dari kerajaan Giling Wesi, yang memiliki polemik dengan istrinya sendiri yang sangat disayanginya. Dimana istrinya tersebut adalah orang yang melahirkannya di masa lampau yakni ibu kandungnya sendiri. Hingga akhirnya ia harus meregang nyawa di hadapan Batara Wisnu karena berusaha mewujudkan impian istrinya untuk menikah dengan bidadari surga, yang sesungguhnya di dalam keinginan istriny terbesit sebuah keinginan agar Sang Prabu wafat, sehingga Dewi Sinta dapat bebas dari beban moral yang melingkupinya. Meskipun akhirnya ia menyesali semua perbuatannya, hingga tangisannya mampu menggoyangkan kahyangan.

Penutup
      
         Jika kita mengingat kembali teori Neuhsaser di awal, tentu kita dapat mengambil beberapa kesimpulan untuk cerita-cerita yang terdapat pada Babad Tanah Jawi khususnya berkenaan dengan Prabu Watu Gunung penguasa negeri Giling Wesi. Di antaranya adalah ajaran moralitas yang begitu mendalam berkaitan dengan pernikahan anak dan ibu yang tidak lain adalah Prabu Watu Gunung dan Dewi Sinta yang secara jelas perbuatan ini adalah larangan sekaligus beban moral apalagi jika dilakukan secara sengaja, tetapi pertanyaanya adalah kenapa dari awal dewi Sinta tidak mengakui bahwa ia adalah ibu Sang Prabu yang tentunya jika hal demikan dilakukan meka dapat memberikan jawaban secara pasti dan tentunya peperangan antara Prabu Watu Gunung dengan Batara Wisnu tidak akan terjadi. Kita akan berpikir juga tentang legitimasi kekuasaan yang dari awal sudah di sampaikan dalam tulisan ini, bahwa cerita ini tentunya masih menjadi bentuk legitimasi kerajaan yang berkuasa pada saat itu (Mataram) dimana disebutkan bahwa raja di bumi layaknya Prabu Watu Gunung (dalam cerita babad) mampu menghadapi para dewa dan siapakah dewi Sinta di sini? Tentunya jika kita mendengar nama Sinta maka yang kita bayangkan adalah istri Rama dalam kisah Ramayana.

Terlepas dari itu semua, jika kita berpatokan pada teori Neuhsaser (1994)  bahwa sebuah cerita dapat digunakan untuk mendorong dan mempengaruhi seseorang untuk berpikir dan bertindak ke berbagai arah. Adanya cerita dapat menjadi peta budaya dari masyarakat bersangkutan.  Jadi bukan hanya cerita itu saja yang menjadi magis, akan tetapi juga isi cerita itu sendiri yang secara tidak langsung membentuk mitos yang sulit di ubah. Tentu melahirkan perspektif bahwa Babad Tanah jawi khususnya kisah tenatang Prabu Watu Gunung dari Giling Wesi memiliki kepentingan untuk menciptakan sebuah paradigama  masyarakat luas akan sebuah penghayatan terhadap nilai tradisi leluhur yang memiliki kearifan untuk tetap dijaga sebagai pegangan hidup agar tidak tersesat, karena semuanya kembali kepada nilai-nilai etika dan moralitas yang ingin disampaikan pembuat cerita malalui Babad Tanah Jawi ini, hal ini dapat kita lihat dari peristiwa pernikahan seorang ibu dan anak antara Prabu Watu Gunung dengan Dewi Sinta. Begitu juga ketika kita padukan teori Maurige Duverger tentang poin positif dan negatif suatu nilai yang dapat dipetik oleh masyarakat, maka peristiwa Prabu Watu Gunung dan Dewi Sinta dalam cerita yang ada akan kita petik sebuah nilai moralitas yang besar, tentang larangan keras pernikahan Ibu dan anak karena hal tersebut telah berseberangan dengan nilai positif dari moralitas manusia. Dapat dibandingkan dengan pendapat Koenjaraningrat tentang nilai budaya (1984: 8 – 25) maupun pendapat Franz Magnis Suseno tentang Moralitas.


Daftar Acuan
1.      ---. Babad Tanah Jawi.(alih aksara). Sudibjo Z.H
2.      Budianta, Melani, dkk. 2002. Membaca Sastra.Magelang: Indonesia Tera
3.      Kementrian Komunikasi dan Informatika RI.2011.Wayang Sebegai Media Komunikasi Tradisional Dalam Diseminasi Informasi. Jakarta
4.      Pradotokusuma, Partini Sardjono.2005. Pengkajian Sastra. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
5.      Ras, J.J.1987.Babad Tanah Jawi.Dordrect-Holland/Providence-U.S.A: Foris Publications
6.      Susen, Franz Magnis.1991. Etika Jawa “Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa”.Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
7.      Walujo, Kanti.2000. Dunia Wayang “Nilai Estetis, Sakralitas, dan Ajaran Hidup”.Yogyakarta: Pustaka Pelajar
8.      Weiss, Sarah.2006.Listening to An Earlier Java Aesthetics, Gender, and the Music of  Wayang in Central Java. Leiden: KITLV Press
9.      Zeffry.1998.Manusia Mitos dan Mitologi. Depok: Fakultas Sastra UI



     






































Comments

Popular posts from this blog

Point Of View Pertunjukan Wayang Kulit: Lakon Kumbakarno Gugur Dalam Kaitannya dengan Kehidupan Politik Berbangsa dan Bernegara di Indonesia

Pendahuuan Wayang sebagai kebudayaan nasional memiliki sejarah panjang dalam berbagai konteks dan dinamika kehidupan di Nusantara hingga menjadi negara yang bernama Indonesia. Menjadi alat ritual sesembahan terhadap dewa, menjadi alat dakwah, menjadi alat seni pertunjukan untuk menghibur masyarakat, hingga menjadi alat kekuasaan orang-orang yang berkuasa yang  berusaha memanfaatkannya, baik untuk suksesi diri dan golongannya maupun penanaman ideologi kepada orang lain melalui wayang. Dinamika perpolitikan di negri ini pun ada kalanya selalu dikaitkan dengan kehidupan dalam dunia wayang, baik itu nilai-nilai moralitas dalam wayang hingga hakikat penciptaan manusia dan kehidupan berbangsa dan bernegara yang sering di gambarkan dalam  wayang. Beberapa tokoh pergerakan nasional sering juga mengidentitaskan dirinya sebagai salah satu tokoh wayang yang tentunya dapat disimpulkan bahwa ia mencita-citakan dirinya sebagai orang yang ideal layaknya dalam kehidupan wayang ataupun sekedar

Curug Bengkelung, Geopark Mini di Selatan Pekalongan

Pekalongan tak kehabisan dengan objek wisata favorit, hal ini tak lepas dari munculnya spot-spot wisata baru yang memang tersebar di kabupaten ini. Wilayah utara berbatasan dengan pantai (Laut Jawa) dan wilayah selatan merupakan daerah perbukitan hijau yang luas yang tentu menyimpam sejumlah potensi pariwisata. Salah satu yang baru-baru ini menjadi daya tarik sejumlah wisatawan adalah Curug Bengkelung yang terletak di bagian selatan Kabupaten Pekalongan. Eksotisme alam berusaha ditawarkan tempat wisata ini, yakni perpaduan air terjun dan tebing berbatu yang alami. Meski terletak di daerah perbukitan, kerja sama masyarakat dan dinas pariwisata cukup baik sehingga potensi wisata yang sebelumnya kurang dikenal ini makin diminati, di antaranya adalah pembangunan akses jalan ke Curug Bengkelung yang begitu terawat serta adanya loket resmi untuk pembelian tiket para travelermenjadikan objek wisata ini nyaman dan terkondisikan tanpa calo atau preman. Sejumlah fasilitas pun