Panji Pasai dan Bendera Merah Putih
Apa
yang menjadi keputusan bersama dalam perjanjian Helsinki antara pihak Republik
Indonesia dan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) tentunya menjadi komitmen bersama demi
terciptanya kedamaian sejati di bumi Aceh, utamanya dalam kasus identitas
daerah melalui panji ataupun bendera yang dibahas oleh DPR Aceh.
Qanun
Aceh Nomer 13 Tahun 20013 tentang bendera daerah tersebut yang konon menyerupai
bendera GAM tidaklah menjadi persoalan jika segenap masyarakat yang ada
berpikir positif akan pentingnya situasi kondusif, yakni dengan melihat bendera
yang ada hanya sebuah simbol budaya yang tidak lain kita menganggapnya sebagai
panji “pengingat” kejayaan Samudera Pasai sebagai leluhur mereka. Identitas dan
otonomi khusus untuk Aceh semestinya menjadi
pertimbangan lain, selama rakyat Aceh masih merasa menjadi warga negara
Indonesia tentunya tidak perlu ada suara negatif berkenaan dengan simbol karena
akan menyebabkan ketidakstabilan situasi. Kita tentu tidak menginginkan adanya
darah yang berceceran lagi di wilayah Serambi Mekah ini seperti beberapa tahun
silam.
Inisiatif
Jusuf Kalla waktu itu dalam perwujudan perdamaian Aceh sangatlah luar biasa,
layaknya Abdurahman Wahid (Gusdur) dalam ranah perdamaian Papua dengan
usulannya akan bendera bintang kejora yang boleh dikibarkan di bawah bendera
merah putih merupakan usul yang lebih bijak daripada sebuah tindakan represif
yang pada faktanya menambah daftar konflik yang lebih panjang. Separatisme
harus dilihat dari sudut pandang intelektualitas yang mapan bukan dari dimensi emosi
yang tentunya akan mengacaukan kondisi dan keadaan, separatisme pun harus
dilihat dari tingkatannya apakah dia masif dan radikal ataukah low
separatisme. Dengan memahami term yang ada tentu kita akan semakin bijak dalam
mengambil keputusan terhadap saudara sebangsa dan setanah air. Gambaran
separatisme di alam pikiran kita adalah pemisahan diri sebuah wilayah dari
sebuah negara untuk menjadi negara merdeka, lalu apakah dengan adanya qanun
Aceh akan menjadikan wilayah ini sebagai negara yang memisahkan diri dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tentu itu terlalu negative
thingking. Saya ingin menekankan lagi bahwa bendera Aceh lebih teaptnya
kita sikapi dengan sebuah wacana bahwa bendera yang ada hanya sebuah simbolitas
daerah yang tidak hanya dimiliki oleh Aceh semata melainkan semua daerah. Jika
UU Keistimewaan Yogyakarta saja banyak yang mendukung, yang mana sudah jelas
bahwa Yogyakarta memiliki kekuasaan istimewa layaknya negara dalam negara lalu
mengapa ketika kita mendengar nama Aceh dengan daftar konfliknya yang ada
langsung menjustifikasi bahwa mereka akan membentuk negara sendiri. Semoga hal
ini bukan bagian dari rasa kesukuan dari kita, bukankah negara ini bukan
didirikan oleh orang Jawa, Sunda, Madura, dan Bugis semata tetapi bangsa Pasai
pun turut berjuang menuntut kemerdekaan dan sekarang mereka merasa perlu adanya
eksistensi daerahnya paskah konflik berkepanjangan di Aceh dengan motif
separatisme beberapa tahun silam.
Kesejahteraan
daerah
Daripada
sekedar meneriakkan ketidaknyamanan qanun Aceh lebih baik kita
berotokritik, berevaluasi, berpikir panjang tentang bagaimana membuat rakyat di
NKRI ini sejahtera tanpa pandang bulu. Kasus separatisme yang ada di Indonesia
tidak terlepas dari kebijakan pemerintah maupun kepentingan-kepentingan yang
tidak adil. Jika kita mau menatap diri kita, sebenarnya di mana kedaulatan kita
yang diagungkan jika tanah, kebun, air, dan pertambangan dikuasai oleh asing,
seringnya kita lupa akan hal itu sampai pada suatu ketika penulis pernah mendengar
ungkapan “Garuda di dadaku, Malaysia di perutku”, tentunya karena kita sibuk
mengurus batas negera (wilayah) bukan mengurus batas negeri (rakyat). Lihat
saja kekayaan di Papua yang dikuasai oleh Freeport, lihatlah tambang gas di
Arun Aceh, lihatlah blok Cepu, lihatlah blok Mahakam, mau ditaruh di mana muka
kita yang mengagungkan NKRI harga mati dan rela menembak saudara sendiri tetapi
dalam prinsip idealisme negara kita tidak mampu untuk mencapainya. Masihkah
ingat kata Bung Hatta bahwa rakyat miskin bukan karena penen buruk tetapi
karena tidak berdaya, mari kita mencintai negeri ini secara menyeluruh, secara
bijak, secara sadar, dan tidak menyalahkan yang satu dengan yang lainnya, dan
yang paling penting tidak ada pikiran negatif akan separatisme daerah tanpa
bukti yang kuat.
Damailah bangsaku, damailah negeriku
Tentu saja kita harus lebih meilihat
bendera Aceh sebagai sesuatu yang hak bagi warga Aceh bukan mengeneralisasikan
kasus ini dengan kasus gerakan separatisme yang ada di Indonesia maupun dunia,
yang harus kita pahami tentunya mereka menganggap panji Aceh hanya sebagai
Panji kebanggaan orang Aceh dan pemersatu rakyat Aceh tanpa menafikkan merah
putih sebagai bendera negara. Selama ini kita lupa akan nilai-nilai budaya
sendiri, nilai-nilai kearifan lokal pun sering kita lupakan sehingga ketika ada
itikad rakyat Aceh untuk memiliki panji budaya sendiri tentunya harus kita
hargai bukan dimusuhi. Lihat saja panji Keraton Yogyakarta, lihat saja panji di
Keraton Surakarta bukankah alasan mereka Cuma satu yakni mencintai budayanya,
sebagai kebanggaan atas apa yang diwariskan oleh leluhur dan panji Aceh
tentunya sebagai kebanggaan atas jati diri orang Aceh atas leluhurnya yakni
Samudera Pasai.
Comments
Post a Comment