Nasib
Buruh Alih Daya
Isu
penghapusan sistem outsourching merupakan hal yang membuat gembira bagi
kalangan buruh alih daya yang tersebar diberbagai daerah. Nasib buruh alih daya
sebelumnya sempat menjadi sorotan di media atas unjuk rasa yang mereka lakukan
guna menuntut kesejahteraan yang belum mereka rasakan karena
kebijakan-kebijakan yang ada telah menjerat mereka.
Undang-undang ketenagakerjaan yang
ada perlu dipertegas dalam masalah buruh alih daya ini yang masih menyimpan
berbagai problematika. Sistem jaminan dan upah bagi para pekerja sepatutnya
dievalusi kembali guna menemukan solusi bagi para buruh yang merasa dipermainkan
oleh sistem perusahaan penyalur jasa pekerja yang cenderung mengeksploitasi
tenaga mereka.
Isu
jaminan kesehatan buruh dan dana pensiun buruh pada tahun 2014 serta
penyempitan jenis pekerjaan yang dapat di outsourching (keamanan,
katering, pertambangan migas, jasa kebersihan, dan transportasi) telah
memberikan angin segar, tetapi pada faktanya pembahasan masalah ini utamanya
dalam kasus kenaikan upah buruh selalu tersendat masalah pemerintah versus
perusahaan yang mengancam akan hengkang dan tidak berinvestasi di Indonesia.
Preoblematika yang ada sepatutnya diselesaikan dengan pikiran cerdas yang
memanusiakan manusia, yakni jangan menambah beban kembali para buruh yang telah
habis tenaganya untuk bekerja dan menuntut kesejahteraan.
Situasi
politik
Beratnya
para buruh dalam menuntut kesejahteraan mungkin semakin jauh dari harapan yang
dinanti jika melihat carut marutnya kondisi bangsa yang masih diramaikan dengan
berbagai isu moralitas para penguasa maupun kasus-kasus lain yang tidak
manusiawi. Mulaia dari kasus korupsi yang melibatkan elit partai hingga kasus
pembunuhan manusia bertopeng di lapas Cebongan Yogyakarta dan menjadinya Susilo
Bambang Yudhoyono menjadi Ketua Umum Partai Demokrat. Lalu apa daya para buruh
dan masyarakat kecil lainnya yang menuggu kebijakan presiden demi sekeping
kesejahteraan, jika presidennya sendiri masih mementingkan golongannya.
Konstruksi
sistem perburuhan
Perlu
adanya konstruksi yang jelas melalui peraturan yang jelas pula dengan
menggunakan kerjasama dalam format segitiga ideal yakni antara pemerintah,
buruh, dan pengusaha untuk mengatasi berbagai masalah yang tak kunjung usai.
Tidak adanya kesepakatan bersama tentu akan menimbulkan kesalahpahaman dan
rusaknya konstruksi perburuahan dari awalnya sudah mengarah pada
keuntungan pengusaha. Undang-undang
ketenagakerjaan sebagai sebuah konstruksi utama harus di analisis kembali demi
terciptanya segitiga ideal tersebut. Perevisian UU No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan perlu dikaji kembali begitu pula terhadap UU
No.40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Negara (SJSN) dan UU No.24 tahun
2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang belum bisa
memberikan solusi terbaik bagi kaum buruh, justru pada perkembangannya menjadi
polemik karena UU SJSN dan BPJS dinilai masih banyak kekurangan, dan sekedar UU
instan yang dibuat oleh Anggota Dewan kala itu. Perlu adanya pertimbangan yang
matang guna menciptakan segitiga ideal, bukan menjadikan buruh sebagai “cyborg”
untuk memenuhi kebutuhan pasar yang menguntungkan kalangan neolib ataupun
pemilik modal besar, negara harus bisa memanusiakan buruh dan tidak
mengorbankan mereka untuk sekedar mencari investor.
Tidak berdaya
Muhammad Hatta pernah berkata bahwa rakyat lapar bukan alam buruk atau alam miskin melainkan karena rakyat tidak berdaya. Tentu buruh alih daya sebagai kalangan non elit alias rakyat kecil perlu diperhatikan kesejahteraannya karena mereka adalah orang yang tidak berdaya jika tidak ada perbaikan UU ataupun kebijakan yang ada untuk membuat mereka berdaya. Ancaman-ancaman lain yang menjerat mereka adalah ketika harga kebutuhan pokok meningkat akhir-akhir ini yang menunjukkan bahwa memang rakyat kecil di negeri ini betul-betul tidak berdaya atas kebijakan negara yang tidak bisa memberikan solusi yang mampu mengedepankan rakyat kecil baik buruh, tani, dan sebagainya. Buruh alih daya adalah warga negara yang membutuhkan perhatian negara. Tidak perlu mengedepankan pemikiran bahwa Indonesia di ambang kegagalan menjadi sebuah negara karena tidak mampu memberikan pelayanan terbaik atas kesejahteraan, yang perlu dipikirkan adalah kemauan pemilik kebijakan untuk berjiwa besar dan merubah sikap ketidakpeduliannya menjadi sosok yang mengedepankan nilai peduli demi Indonesia yang lebih baik, bukan Indonesia yang mengimpor bawang dan daging dan Indonesia dengan upah buruh murah. Mari membangun kejayaan di negeri kita sendiri, tanpa harus melupakan rakyat kecil utamanya buruh alih daya yang dibuat tak berdaya!
Oleh Akbar Priyono
Comments
Post a Comment