Ketika Rasionalitas Diruwat
Banyak
sekali kajian yang dilakukan oleh manusia terhadap budayanya, budaya yang
menjadi identitas diri dan kekuatan langkah di tengah pluraritas dunia yang
masing-masing berusaha untuk saling mendominasi dan terjebak dalam puing-puing primordial.
Untuk itu pulalah, demi mempertahankan keberadaan dari produk masyarakatnya
tersebut seringkali para generasi paskah leluhur melakukan inovasi maupun
penyesuaian budaya karena berhadapan dengan dinamika dan gejolak zaman yang
mengancam eksistensi warisan-warisan budaya dari moyangnya.
Budaya
merujuk pada satu pengertian tunggal yakni “budi” yang tentunya memiliki kaitan
erat dengan moral dan tingkah laku manusia sebagai makhluk dua wajah yakni
wajah individu dan wajah sosial. Ketika moral dan tingkah laku manusia semakin
bebas dengan kedatangan abad industri yang memberi tempat yang luas terhadap
tekhnologi tinggi atau yang lebih dikenal dengan era modern tentu moralitas
yang diagungkan pada masa lalu tampak mengalami degradasi yang mengkhawatirkan
untuk dipandang. Satu hal yang tentunya dapat menyelamatkan manusia-manusia
untuk terlibat dalam kasus amoral adalah back to local wisdom, tentunya
terlalu intelek jika saya menyebut mari memilih “Apel Malang” daripada “Apel
Washington”
Indonesia
sebagai negara luas yang di dalamnya memiliki beranekaragam kekayaan termasuk
memiliki sebuah Universitas kelas dunia yakni Universitas Indonesia (UI),
sebuah Universitas yang masih menunggu ratu adil setelah sekian lama terjadi
gejolak di kalangan elitnya, tentu merindukan sebuah solusi yang harmonis dan
dapat diterima oleh semua pihak. Hingga akhirnya untuk menangkal itu semua
Rektor UI untuk “sementara” mengalami gejolak jiwa yang kemudian
diungkapkan dengan mengadakan acara
ruwatan UI.
Entah mengapa ruwatan yang
sebenarnya dilakukan untuk tujuan mengusir Sukerta ‘kesukaran’ maupun
mengusir Batara Kala (pralambang keburukan) namun diterapkan di UI yang merupakan
kampus terdepan dalam mengedepankan rasionalistas. Mungkin saja ini bagian dari
cinta tradisi, inovasi budaya, bisa juga back to local wisdom asalkan
jangan menganggap ini jalan pintas untuk menghadapi para elitis kampus yang
punya libido kekuasaan.
Inovasi
budaya
Tampak
terlihat di atas bahwa apa yang terjadi di UI dengan kegiatan ruwatannya
tersebut dapat dipersepsikan merupakan bentuk inovasi budaya yang tentunya
dapat disangkutpautkan dengan ranah jejak ruang dan waktu. Tradisi ruwatan yang
merupakan produk budaya maupun religiusitas orang Jawa nyatanya mampu dibawa ke
luar ranah yang lebih kosmopolitan. Efek dari globalisasi kebudayaan dan produk
modernitas seperti hedonisme dan “over fashion” (kiblat Korea) seolah-olah
ternetralisirkan oleh adanya kegiatan kebudayaan lokal di kampus megah ini.
Tentunya memang terjadi sebuah degradasi teks dan konteks ketika sebuah budaya
yang luhur kemudian disajikan dengan inovasi-inovasi yang disesuaikan dengan
keadaan meskipun secara hakikat tidak ada niatan untuk mengacaukan substansi
budaya itu, tetapi dalam kaitannya dengan ruwatan di UI beberapa waktu yang
lalu tidak begitu konvensional dengan acara ruwatan pada umumnya. Itu hanya
sisi lain dari efek inovasi budaya dan tantangannya dengan zaman modern
sekarang, di sisi lain inovasi-inovasi budaya seperti ini tentunya sangat
diperlukan demi lesatarinya dan terwariskannya local wisdom kepada
genarasi selanjutnya mengingat dunia ini yang sudah tak bersekat dan dramatis
atas penjajahan budaya yang secara sadar atau tidak sadar, secara kentara
maupun tidak kentara telah menjadikan kita untuk bangga akan produk sendiri.
Inovasi budaya dalam sudut pandang pragmatis pun memiliki sebuah nilai, yakni
nilai keuntungan untuk menghasilkan rupiah karena inovasi-inovasi tersebut
dapat dimanfaatkan sebagai bagian dari program daerah untuk memancing para
wisatawan yang tentunya dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk -̶̶̶ terlepas dari sakralitas budaya yang mereka
yakini. Inovasi-inovasi budaya
yang terjadi di masyarakat dengan contoh yang saya berikan adalah kasus ruwatan
di UI tentunya menjadikan kita untuk lebih optimis akan kebudayaan yang akan
selalu ada jika kita mau menjaganya meskipun harus dengan embel-embel inovasi.
Inovasi yang baik tentunya tetap memperhatikan Mutual Trust (saling
menghormati dan saling mempercayai) dan Peaceful Coexistence (berdampingan
yang damai) sehingga akan menjadi benteng moralitas kita dalam berperilaku
utamanya dalam menghadapi serangan budaya asing yang begitu menggebu dan
ancaman amoralitas yang melanda negeri ini.
Rasionalitas
dan fenomena
Sungguh
menjengkelkan ketika para elitis kampus tidak bisa memberikan tauladan yang
bijak dalam menyelesaikan masalah. Para mahasiswa dan jajaran yang lain sudah
merindukan pemimpin yang baru, bukan perpanjangan masalah yang ditunggu. Sangat
disayangkan pula jika tulisan ini melebar kemana-mana, tetapi apa daya toh
tulisan ini ditulis untuk menyinggung ruwatan di UI yang “mungkin” bentuk
sindiran halus atas apa yang terjadi di UI. Terlepas dari itu semua
fenomena-fenomena yang terjadi di kampus yang mengedepankan rasionalitas
berpikir ini, dapat digambarkan bahwa manusia-mausia yang ada di dalamnya
merindukan konsep lokal yang tidak sebatas mengedepankan kelogisan berpikir tetapi
harus diimbangi akan usaha-usaha lain yang lebih bijak dalam berperilaku yang
umumnya ditemukan pada tatanan tradisi dan budaya lokal. Fenomena-fenomena yang
masih jarang ditemukan di UI ini, selain sebagai kasus yang dapat kita
tafsirkan sebagai bentuk inovasi budaya di tengah-tengah huru-hara budaya asing
dan era modern dan yang lebih ekstrim adalah sebagai upaya terakhir mengusir
kesialan di UI (atas pemilihan rektor yang sering diundur) tentunya kita dapat
berkata bahwa apa yang terjadi di UI adalah gejala akan kesadaran untuk
menguatkan kebudayaan bangsa bukan membutakan diri terhadap budaya atas dasar
legitimasi rasionalitas. Untuk itu ada korelasi antara rasionalitas dan
ruwatan.
-AP-
Comments
Post a Comment