Babad
Demokrat
Punika
sejarahipun para ratu ing tanah Jawi, wiwit saking Nabi Adam, Nabi Adam apaeputra
Sis, Sis aeputra Nurcahya, Nurcahya apeputra Nurasa, Nurasa apeputra Susilo
Bambang Yudhoyono, Susilo Bambang Yudhoyono apeputra Anas Urbaningrum (Putra
ingkang mboten dipun kengingi) yang artinya Ini adalah
sejarah para raja di Jawa dari nabi Adam, Nabi Adam berputra Sis, Sis Berputra
Nurasa, Nurasa berputra Susilo Bambang Yudhoyono, Susilo Bambang Yudhoyono
berputra Anas Urbaningrum (Putra yang tidak diinginkan alias anak haram).
Sepenggal kalimat berbahasa Jawa di atas adalah plesetan dari halaman awal Babad Tanah Jawi yang bercerita tentang garis keturunan raja Jawa. Hanya ingin berbagi cerita, bahwa apa yang terjadi di dunia perpolitikan bangsa Indonesia ini penuh dengan dagelan yang “menggelitik” di tengah ketegangan penangkapan para petinggi partai politik. Kita hanya disuguhkan oleh beragama perpektif yang membuat kita ragu akan kebenaran yang semestinya tegas untuk disuarakan. Dari kasus yang ini dan yang itu masih penuh kesamaran bahkan penuh dengan suara takbir, jadi kita harus percaya yang mana ? percaya pada penegak hukumnya atau percaya pada suara tersangka yang menjanjikan halaman baru dan merasa dikebiri oleh “bapaknya” di partai.
Sosok SBY yang digadang-gadang partai Demokrat sebagai tokoh pijakan para kader, seolah-olah digambarkan oleh Anas sebagai sosok yang ikut terlibat dalam intrik penangkapan dirinya atas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sampai akhirnya lahir beragam opini publik yang mengaburkan status kebenaran yang dicetuskan KPK. Untuk selanjutnya memang mungkin saja ada halaman baru, karena petinggi-petinggi partai lain masih banyak yang terlibat dalam permainan proyek yang dananya tidak sedikit, dan dapat digunakan untuk membuat kenyang para penderita gizi buruk di beberapa tempat di tanah air.
Pemimpin
dan Watak Kesatria
Setelah
melihat kasus-kasus yang terjadi di negeri ini, tentu kita akan berspekulasi
bahwa bangsa ini telah mengalami degradasi moral kepemimpinan yang semestinya
dijunjung tinggi demi mencapai cita-cita akan kejayaan dan kesejahteraan
bangsa. Mereka lupa akan sikap nengenaken kebetahanipun tiyang kathah (Mementingkan
kemaslahaatan umat), begitu juga lupa akan mbelani kautaman lan mbrastha
dur-angkara (membela yang utama (rakyat) dan memberantas angkara murka) dan
justru terjebak untuk mensejahterakan diri dan golongannya/ partainya. Jadi
apalah fungsi partai jika hanya dijadikan sebagai mesin uang golongan, bukan
untuk membela kebijakan masyrakat yang tertindas. Apa yang dibutuhkan bangsa
ini dalam rangka mengisi demokrasi pasca reformasi tentunya bukan
berlomba-lomba mendirikan partai dan ormas yang dalam kenyataannya telah
menciderai nilai-nilai kepentingan masyrakat, sekarang yang dibutuhkan adalah
perbaikan moralitas para pemimpin masa kini dalam menghadapi kondisi bangsa
yang semakin runyam. Bukan pula politik pencitraan yang menciderai citra itu
sendiri, sekarang yang dibutuhkan adalah realitas visi misi partai politik
untuk memabawa bangsa ini maju ke depan. Kasus yang ada di partai demokrat
dimana satu persatu kadernya tumbang akibat kasus korupsi tentu memeberikan
pelajaran bagi kita akan praktik-praktik bejat koruptor yang masih merjalela,
karena orientasi yang utama adalah memperkaya diri ataupun pendapatan untuk
kantong partai.
Mampir
Ngombe
Dalam
istilah Jawa terdapat kata Mampir Ngombe (Mampir minum), yang setidaknya
memberikan pengajaran kepada kita untuk senantiasa berhati-hati dalam bertindak
dan lebih mengutamakan nilai etika dan moralitas, meskipun kita hidup di dunia
perpolitikan yang penuh dengan intrik kekuasaan. Partai Demokrat yang telah
“gagal” dalam membina para kadernya untuk urusan moral tentunya harus membenahi
diri dan tidak terjebak dalam konflik internal yang justru menunjukan dirinya telah
menjadi partai gagal. Sampai pada akhirnya bukan hanya hidup saja yang mampir
ngombe tapi yang akan terjadi adalah partai mampir ngombe
yang berarti hanya menjadi partai singkat karena luluh lantah sebagai akibat
dari episode baru yang dijanjikan oleh Anas pada tanggal 23 Februari 2013.
Penutup
Tentunya
Babad Demokrat adalah cerita yang
menyinggung moralitas para pemimpin bangsa khususnya kekuasaan partai Demokrat,
begitu pula bicara tentang konspirasi dan opini-opini publik, tidak jauh
berbeda dengan Babad Tanah Jawi yang berkisah seputar legitimasi para raja Jawa
dalam berkuasa. Mengutamakan moralitas dalam perpolitikan tentu tidak semudah
membalikan tangan, karena jebakan-jebakan pragmatisme tersedia di setiap sudut
peta perpolitikan yang tentunya dapat mengaburkan antara kebenaran dan
kebatilan. Jika para pemegang amanat sudah mengaburkan visi-misinya dalam
rangka membangun bangsa, maka yang terjadi adalah kehancuran bangsa itu
sendiri.
Oleh : Akbar Priyono
Comments
Post a Comment