Buruh Alih Daya dalam
Kampus Megah
Bukan hal yang langka
jika sebagai mahasiswa kita melihat di beberapa titik kampus Universitas
Indonesia (UI) terdapat para pekerja yang masih menyapu jalanan, memotong rumput, seorang
yang duduk sambil menjaga sepeda kuning kebanggaan anak UI dan beberapa satpam yang sedang keliling kampus
untuk patroli.
Bukan hanya di
kawasan industri seperti halnya di Jababeka, Kota Cikarang, Kabupaten Bekasi
atau di kawasan industri lainnya di beberapa tempat seperti Jakarta, Bogor, dan
Bandung, kita bisa menyaksikan buruh alih daya (outsourching) di kampus UI yang memang membutuhkan banyak pekerja
dalam rangka menjaga dan merawat luasnya kampus, dan dalam hal ini yang menjadi
soroton adalah para pekerja outsourching
yang ada di UI. Para pekerja outsorching
pada umumnya dipekerjakan oleh yayasan ketenagakerjaan yang sudah menjadi
rekanan dengan sebuah perusahaan maupun institusi seperti UI ini untuk kemudian
melakukan sebuah kontrak yang biasanya dalam sistem pembayaran upah para
pekerja tersebut, akan dilakukan melalui perantara yayasan dan tidak langsung
dari instansi ke pekerja.
Memang tidak
berkaitan langsung dengan peran mahasiswa di kampus, tapi lain halnya jika
kebijakan outsourcing dipahami
melalui idealisme mahasiswa dalam ranah kesejahteraan masyarakat, tentu
mahasiswa akan melihat dampak dari outsurching
yang cenderung merugikan para pekerja karena upah yang diterimanya harus
dipotong oleh perusahaan yang menyalurkan para pekerja ke perusahaan (yayasan).
Tetapi, jika kita memahami outsourching
dari undang-undang yang ada (UU no.13 2003 pasal 64-66) yang membolehkan dan
lebih bijak dalam melihat outsourching
sebagai bagian dari penunjang perusahaan maupun pekerja itu sendiri yang memang
membutuhkan lapangan pekerjaan tentu akan membuat kita berpikir berulang-ulang
tanpa harus menafikkan pembelaan kita akan kesejahteraan pekerja .
Perhatian terhadap outsourching yang ada di UI adalah
bagian dari fenomena yang sedang terjadi di beberapa tempat akhir-akhir ini. Demo
buruh yang menuntut kesejahteraan dan pengahapusan outsourching mungkin mewakili para pekerja yang ada di UI yang pada
kenyataannya kurang sejahtera dengan upah yang diterimanya. Adalah masalah yang
wajar namun pelik karena di sisi lain penyedia jasa pekerja memang di sahkan
tetapi di sisi lain menjadi “penghambat” kesejahteraan para buruh maupun
pekerja.
Tentunya para pekerja
dari Office Boy sampai penjaga sepeda
kuning di UI tidak lain adalah manusia yang semestinya dimanusiakan, dan
memanusiakan mereka tentunya dengan mengevaluasi kebijakan yang ada utamanya
dalam memperhatikan kesejahteraan para pekerja. Bukan mengambinghitamkan
instansi pendidikan bernama Universitas Indonesia dalam rangka pengadaan
pekerja outsourching, karena instansi
pendidikan yang kita kenal tersebut berbeda dengan korporasi yang pada prinsip
utamanya fokus mencari para pekerja untuk menunjang produksi barang dan mencari
keuntungan besar secara efisisien sehingga mengutamakan rekanan dengan
perusahaan penyedia jasa outsourching.
Institusi pendidikan hanya menggunakan jasa outsourching sebagai penunjuang
kegiatan belajar mengajar di kampus. Sehingga apa yang terjadi saat ini di
kampus UI sepatutnya dilihat dengan kacamata bijak, tanpa harus meninggalkan
poin utama antara kebijakan yang ada dan kesejahteraan para pekerja.
Untuk itu secara
idealis sebagai mahasiswa, kita dituntut untuk mengkritisi kebijakan yang ada
apalagi berkenaan dengan kesejahteraan umat manusia. Tetapi, jika kita hanya
membuka mata sebelah tanpa melihat dimensi lain tentu kita akan berprasangka
buruk utamanya dalam outsourching
yang ada di UI. Dalam ranah ini, win-win
solution sebagai rumus bijak permasalahn adalah cara yang terbaik guna
memahami keadaan para pekerja yang mengeluarkan keringatnya sepanjang hari agar
mendapatkan upah yang layak, begitu juga pihak UI yang bertanggung jawab dalam
masalah outsourching para pegawai
yang ada ini, tentunya harus mampu menempatkan diri sebagai agen intelektual yang
mampu menjunjung nilai kemanusiaan. Nilai kamanusiaan yang ada tentunya
memperhatikan kesejahteraan para pekerja yang dimilikinya dengan melihat
kelaikan gajih yang diterima.
Masalah outshourching tidak
sampai di sini (sebatas seorang pekerja), masalah outshourcing adalah menyangkut si pekerja itu sendiri dan
keluarganya, tentunya jika gajih yang diterima para pekerja outsourching di UI jika dikalkulasi tidak
mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri di Jakarta lalu bagaimana dengan kelurga
yang menjadikannya tumpuan hidup. Apapun itu, outsourching bukanlah “benda” yang semata-mata harus disalahkan,
tetapi bagaimana pihak yang bertanggung jawab mampu menjalankan peranannya
tanpa harus berbuat curang terhadap para pekerja yang berada dalam lingkaran
kesusahan. Intinya jangan
menjadi angkuh dalam kampus megah, pasang telinga, buka mata dan hati.
Oleh Akbar Priyono
Comments
Post a Comment