Sudah lebih setahun rencana ini, tapi selalu
terkendala oleh waktu yang tak pas. Meski sejak kecil melihat gunung ini tetapi
justru rencana mendaki Slamet selalu dibumbui apriori-apriori yang kadang
memberatkan diri untuk ke sini. Mitos-mitos orang tua dan masyrakat di sekitar
tempatku kadang membuat nalarku terbawa angin. Namun pada kahir tahun 2015 lalu
saya janjian dengan beberapa teman alumni SMA ku. Sekitar tanggal 24-25
Desember kami merencanakan pendakian, tapi di saat saya sudah mempersiapkan
diri termasuk fisik yang masih begitu lemah karena dalam pemulihan pasca tipes
eh tak taunya harus gagal karena ada tugas tambahan di tempat kerja. Akan ada
akreditasi di sekolah tempat saya mengajar pada tanggal 26 Desember sehingga
waktu liburpun dibuat untuk lembur agar lebih matang saat tim akreditasi datang.
Akhirnya gagal ikut teman-teman ke Slamet, padahal
saya yang merencanakan. Tapi dalam keesedihan tersebut ada sedikit angin segar
karena teman SMA ku yang bernama Pandu juga tidak bisa ikut karena waktu
liburnya mepet, dia kerja di Solo. Padahal dia ingin ikut, sehingga saya
tawarkan diri untuk mendaki bareng pada akhir tahun ini tanggal 29 atau 30. Dia
pun meminta agar muncaknya tanggal 31 saja karena baru libur kerja tanggal 30.
Saya pun mengiyakannya, lewat komunikasi WA kami berkordinasi untuk membawa
perlengkapan apa saja yang dibutuhkan. Kebetulan saya masih di Bekasi dan
merencanakan pulang tanggal 27 Desember.
Hari Minggu 27 Desember saya menuju Pul Sinar Jaya
di Cibitung untuk menuju bis jurusan Pekalongan, seperti biasanya saya menaiki
bis yang satu ini karena konon tidak ada gantinya dalam kenyamanan maupun
keamanan haa, faktor utamnya sih karena bis ini lewat kota Comal, kota saya.
Pagi jam setengah enam datang ke Pul Sinar Jaya tak kira langsung dapat bis
tetapi tidak karena harus mengantre dengan puluhan orang lainnya yang sudah
menunggu lebih pagi dari saya. Saya pun antre, tapi dari jam7 ke 8, dari 8 ke
9, 9 ke 10 sampai sore bis jurusan Pekalongan belum juga ada, bukan karna
armada bus yang gak ada mungkin para supir lagi liburan. Lebih dari 10 jam saya
menunggu, membuat badan lelah dan perasaan emosi. Sempat saya protes pada
satpam saat bis tujuan Pekalongan datang, karena yang diperhatikan justru orang
yang baru datang bukan kami yang menunggu dari pagi. Tapi apapun itu yang
penting saya dapat bis, saya dapat eksekutif padahal niatnya ekonomi namun
karena faktor menunggu lama itulah saya beralih. Ngomongin masalah bis, baru
kali ini saya merasa manajemen Sinar Jaya semakin buruk, entah karena
mentang-mentang sudah dipercaya masyarakat luas sehingga menurunkan komitmennya
atau memang kesalahan komunikasi saja.
Akhirnya, saya pulang ke Pemalang lebih tepatnya
Comal hee. Tidak lebih dari 8 jam saya sampai ke kota ini, tentunya karena ada
tol Cipali jadi waktu yang ditempuh semakin singkat.
Oh sudah sudah tanggal 28 Desember, kurang lebih ada
2 hari lagi untuk mempersiapkan apa yang harus disiapkan. Pandu masih di Solo
jadi saya berkordinasi melalui messengger. Dalam dua hari itu ssaya
mempersiapkan perlengkapan dan peralatan yang dibutuhkan termasuk fisik saya
yang masih agak rapuh.Bisikan keangkeran Gunung Slamet dari seseorang memang
membuat saya agak merinding tetapi dengan usaha yang matang serta berpikir rasional
tentu hal-hal yang diinginkan dapat dikurangi, percaya sih boleh asal dalam
koridor yang ada dan tak meelampaui batas. Misal, tidak meremehkan
nasihat-nasihat orang-orang yang tinggal di sekitar gunung ini. Tetap berpikir
rasional juga menghormati tradisi yang ada di masyarakat.
Tanggal 30 puluh pun tiba, ternyata
si pandu menggendarai sepeda motor dari Solo ke Comal yang tentunya memforsir
fisik kalau besok mendaki. Dia pun sempat meminta muncaknya diundur menjadi
tanggal 1 Januari 2016 saja. Tapi saya beberkan alasan harus tanggal 31 karena
saya juga harus kembali ke Jakarta tanggal 2 nya. Eh ternyata gak main-main
karena rupanya si Pandu ini tiba-tiba sms kalau dia kena demam sesampaianya di
Comal. Saya sih sudah pasrah untuk tidak mendaki atau mendaki tanggal 1 nya.
Tapi dengan berbagai alasan dan bujukan si Pandu bersedia untuk meendaki
tanggal 31 nya, saya modusin Pandu dengan kata-kata penyemangat bahwa puncak
hanya bonus, kita banyakin istirahat di Pos saja have fun gak usah ngoyo sampai
puncak. Pandu pun mengiyakan, entah demamnya sudah reda atau memang terbujuk
rayuan saya dia bukan hanya setuju untuk mendaki tanggal 31 tetapi juga
bersemangat untuk mencapai Puncak Slamet. Saya pun terharu dengan semangatnya.
Karena Pandu sudah setuju, kita pun
janjian untuk bertemu di kantor Pos Comal jam 6. Tepat jam 6 saya tiba di
kantor tapi belum ada temanku ini, tapi tak lama kemudia dengan sebuah motor
roda 2 nya dia datang dengan tas yang besar. Sudah bertahun-tahun kami tidak
bertemu. Di Kantor Pos Comal inilah akhirnya kami bertemu dan dalam satu tujuan
yaitu puncak Slamet.
Akhirnya kami berangkat ke
Purbalingga karena kami akan memulai pendakian dari jalur Bambangan. Saya yang
mengendarai motor karena saya kasihan dengan Pandu yang semalam baru sampai
dari Solo menggunakan motor. Sekitar 3 jam perjalanan ditambah nyasar akhirnya
kami sampai di Pos Bambangan.
Di Pos Bambangan setelah membayar
parkir dan pendakian kami langsung berangkat ke Pos selanjutnya, dalam
perjalanan ke Pos 1 kami harus registrasi pendakian ulang di Pos Pemuda.
Setelah dibkali pesan-pesan kami berdua pun melanjutkan perjalanan menuju ke
Pos 1. Baru melakukan perjalanan melanjutkan Pos 1 badan saya sudah begitu
lelah seperti orang yang tidak pernah mendaki. Memang setelah terkena tipes
beberapa bulan yang lalu badan ini begitu mudah lelah untuk urusan fisik
apalagi dalam urusan pendakian seperti ini yang terbilang cukup berat. Sumpah
di dalam hati saya berujar, apakah saya termasuk orang yang tidak sampai puncak
itu. Soalnya saya ingat suatu omongan, sehebat-hebatnya orang pendaki belum
tentu sampai ke Puncak Slamet. Apalagi pendakian ini dilakukan oleh 2 orang
saja, sehingga nafas ini kurang dorongan motivasi. Mungkin haa. Awalnya memang
akan bertambah rekan pendaki, yakni teman saya yang kuliah di Depok tapi dia
memutuskan untuk mendaki lebih awal yakni tanggal 30 bersama teman-teman
Mapalanya. Ya sudah akhirnya fix berdua saja, romantis kan haa..
Dalam kelelahan saya berusaha bertahan, tampaknya
tenaga si Pandu tetap stabil. Dia pun menawarkan untuk bertukar tas, maklum di
tas saya ada tenda dan kompor yang cukup menambah beban dan pastinya semakin
membuat saya lelah di kala menggendong tas tersebut.
Melanjutkan perjalanan, akhhirnya kami sampai Pos 1
(Pondok Gembirung). Menuju Pos 1 dari pintu pendakian cukup berat karena jalur
yang panjang dan memiliki medan yang menanjak sehingga memakan waktu kurang
lebih 3 jam jika sering beristirahat, ternyata di Pos ini berdiri warung, Sambil
beristirahat kami pun memesan teh manis anget. Setelah beristirahat di Pos 1
ini kami pun melanjutkan perjalanan ke Pos 2 (Pondok Walang), setelah menahan
lelah selama 2,5 jam kami pun sampai di Pos 2. Medan meuju Pos 2 hampir mirip
medan saat menuju Pos 1 yang jauh dan menanjak. Setelah beristirahat sejenak
kami pun langsung melanjutkan ke Pos 3 (Pondok Cemoro) yang dapat ditempuh 2
jam jika berjalan pelan. Di Pos 3 ini kami sempatkan salat dan istirahat
sebelum menuju ke Pos 4 (Samaranthu) yang konon angker sesuai dengan namanya,
sehingga kami segera bergegas meninggalkan Pos 3 untuk menuju ke Pos 4 agar
tidak kemalaman. Setelah menempuh 2 jam perjalanan kami sampai di Pos 4 sebelum
Maghrib tapi di tengah perjalanan turun hujan, sehingga jalanan agak licin dan
kami harus berhati-hati. Awalanya kami berubah pikiran untuk mendirikan tenda
di Pos 4 karena hujan tadi dan sudah mulai gelap, tapi hal itu kami urungkan
setelah mendengar kalau Pos 5 (Samhyang Rangkah) tidak terlalu jauh dan masih
ada tempat untuk mendirikan tenda. Alasan lain mungkin karena keangkeran tadi
haa. Kami pun niatkan kembali untuk menguatkan langkah kami yang sudah mulai
kendor. Pandu dan saya saling menyemangati, rupanya tidak sedekat seperti apa
yang dikatakan, kami tempuh sekitar 1,5 jam. Akhirnya sampai juga di Pos 5.
Di Pos 5 inilah kami mendirikan tenda, agak susah
sih ternyata karena areanya sudah penuh dengan tenda-tenda. Tapi kami tetap
mendapatkan sebuah area untuk mendirikan tenda walaupun sedikit, sehingga tenda
berdiri dengan kondisi tidak dalam ukuran penuh. Yang penting dapat berlindung
dari dingin dan hujan.
Setelah mendirikan tenda kami pun memasak, seperti
biasa menunya mi insatan dan sayur mayur yang sudah mulai bau busuk haa. Sambil
makan pun kami merencanakan untuk muncak pagi harinya. Kami putuskan untuk
mulai bersiap setengah lima pagi setelah salat subuh. Setelah makan usai kami
pun bergegas istirahat agar lelah berkurang dan besok bisa mulai muncak.
Eh sudah setengah lima si Pandu masih enak dengan
mimpinya, akhirnya saya bangunkan dan kami baru bisa muncak pukul 5 alias
kesiangan karena kami memilih sarapan dulu walau segelas teh susu yang kami
rebus dalam panci kecil hee. Kami pun berdoa sebelum berangkat, oh ya tenda dan
perlengkapan kami tinggal di pos 5. Dalam udara yang cukup dingin dan jalur
yang semakin menanjak kami berusaha bertahan untuk mengolah nafas kami yang
sudah terasa ngos-ngosan. Matahari pun mulai nampak pada garis cakrawala,
gunung-gunung di jawa Tengah pun tampak kelihatan khususnya gunung Sumbing dan
Sindoro yang mirip anak kembar itu.
Lelah dan pelan saya berjalan, berbeda dengan si
Pandu yang masih kuat berjalan “strong”. Tapi dia masih mau menunggu saya untuk
menggapai puncak bersama. Pos 6 (Samhyang Jampang), Pos 7 (Samhyang Kendil) kami
lalui dengan rasa lelah dan nafas yang
terengah karena udara makin tipis. Si Pandu teteap saabar menunnggu saya
yang berjalan lambat, dia pun sudah kelihatan lelah karena menggantikan saya
untuk membawa tas yang saya bawa, walau cuma air dan snak yang kami bawa namun
tetap mengurangi tenaga kami. Dari Pos 7 (Samhyang Kendil) puncak Slamet yang
berbatu dan berpasir begitu kokoh, mengingatkanku pada gunung Batu yang di Jonggol.
Dari Pos 7 tersebut tidak terlalu jauh untuk menuju ke Pos 8 atau terakhir
(Plawangan) sebuah zona bebas vegetasi hanya bebatuan endapan lahar.
Tidak sampai 30 menit sampai juga kami di Pos 8, walau
untuk menuju Puncak Slamet yang berketinggian 3428 meter, tidak sampai 500
meter lagi tapi tanjakan curam dan bebatuan yang ada membuat kami harus
berhati-hati, faktor lainnya tentu rasa lelah yang semakin bertambah. Tapi
dengan semangat dan rasa percaya diri untuk menggapai Puncak Slamet, akhirnya
saya dan Pandu dapat menggapainya juga. Pandu lebih dulu sampai di Puncak. Oh
ya, di Puncak ini saya ketemu dengan rekan saya yang aktif di organisasi Mapala
Psikologi UI (Gandewa), rencananya sih mau naik bareng tapi berhubung dia dan
kelompoknya merencanakan tanggal 30 Desember kami pun berpisah. Saat itu Pandu
ingin pinjam pulpen ke seorang pendaki yang sudah sampai puncak guna menulis
sesuatu, eh pas ngobrol ternyata alah satu dari rombongan tersebut adalah teman
saya bernama Egi yang sudah sering mendaki bersama.
dan... puisi pun tercipta:
Istana Awan
Fajar
yang hampir pudar
Kukira
kabut lenyap, namun silih berganti bardatangan
Menembus
dingin, menembus deru angin
Aku
lelah, tapi langkah belum juga henti
Kukira
tujuan itu sejengkal lagi, namun itu fatamorgana
Masih
harus melangkah, melangkah seribu jangka
Melewati
kerikil batu, berdebu
Dan
ketika manusia-manusia melawan rasa takutnya sendiri
Menembus
awan, menembus mitos, menembus misteri, menembus apriori
Sejengkal
lagi, sejengkal lagi, sejengkal lagi .. bisikku sendiri
Namun
nafas terengah, kurasa tak mampu lagi, udara mulai menipis
Aku
rasa tak mampu, aku begitu lelah, aku kira harus henti
Tapi
kekuatan itu tetap ada, ada untuk bangkit dan menembus batas lelah
Hingga
akhirnya mega menyambut dengan senyum, mentari menari.
Jejak
langkah terukir, aku di tempat yang kujanjikan
Puncak
Slamet, Istana Awan
Comments
Post a Comment