Terjun
di Ciherang, Menanjak di Puncak Batu
Kemarin,
Rabu 9 Desember 2015 saya dan teman saya Pak Budi pergi ke Jonggol. Bermula
dari sehari sebelumnya ada niatan jalan-jalan karena esoknya di hari rabu ada
acara Pilkada serentak se-Indonesia, kami pun berinisiatif mengisi hari libur
tersebut untuk jalan-jalan. Awalnya ada banyak destinasi yang menjadi pilihan
khususnya pergi ke pantai. Eh, ujung-ujungnya kami memutuskan untuk pergi ke
gunung atau air terjun, dengan dalih pantai di Pantura sudah terlalu sering
kami kungjungi dan kurang menarik untuk dipandang atas kekotorannya, bukan
coklatnya air tapi sampah ataupun kurang terwatnya pantai yang ada. Akhirnya
kami memutuskan untuk menuju destinasi air terjun yang ada di Jonggol yakni air
terjun Ciherang, meskipun sebenarnya masih ada banyak destinasi air terjun
lainnya seperti di Purwakarta dengan Air terjun Cigentisnya. Mungkin sudah
terlalu familiarnya Cigentis sehingga kami lebih memilih Ciherang. Kami pun
janjian untuk berangkat sangat pagi di esok hari, yakni pukul 05.00 wib.
Rabu
pagi pun datang, jam setengah lima lebih saya sudah menuju ke basecampnya Pak
Budi di sebuah sekolah SMP swasta di Cikarang Utara. Pak Budi adalah staf
keuangan SMP dan saya adalah pengajar di SMP tersebut. Dia tinggal di Mes yang
disdiakan pihak yayasan. Sebelum pukul 5 pagi saya sudah sampai di basecamp dan
Pak Budi sudah siap akan kedatangan saya. Sedikit waktu untuk mmpersiapkan
beberapa menit keemudian pun kami menuju Jonggol dari arah Cikarang Utara.
Melalui
Jalan raya Cibarusah kami menuju Jonggol, sempat tersesat di Jonggol kami pun
menuju warung sekalian sarapan dan menanyakan arah jalan yang tepat menuju Air
terjun Ciherang. Ternyata masih jauh perjalanan kami. Sekitar pukul 8 pagi kami
sampai. Jalannya amat berkelok, menanjak, menurun tapi soal pemandangan cukup
lumayan menyejukkan mata tidak kalah dengan pemandangan di dataran tinggi
populer lainnya seperti di Puncak ataupun Garut.
Sampai
di Ciherang kami langsung disambut petugas loket dengan tarif Rp.10.000 per orang dan retribusi sebesar Rp.2000, oleh
karena kami berdua maka membayar Rp. 24.000. Memang tak se wah (misal) air
terjun Cibeureum yang ada di Cibodas atau di kaki Gunung Gede. Tapi untuk skala
keasrian dan kesunyian air terjun Ciherang adalah “the best”, entah saya yang
datang kepagian sehingga sepi, atau memang suasananya tidak ramai. Haaa
Setelah
mengambil beberapa foto di sekitar air terjun, dan sempat merasakan sejuknya
cipratan air yang dingin kami pun menyudahinya dan menuju warung kopi di
sekitar tempat. Sambil mengopi kami pun merencanakan untuk mendaki Gunung Batu
yang lokasinya tidak terlalu jauh dengan lokasi air terjun Ciherang. Memang
awalnya kami merencanakan pergi ke Gunung Batu jika tidak ke Air terjun Ciherang,
tapi berhubung lokasinya tidak jauh dari Air Terjun Ciherang malahan berada di
arah jalan pulang maka kami pun langsung merencanakan untuk ke sana, apalagi
saat itu belum terlalu siang baru sekitar jam 10 pagi. Kami pun melanjutkan
perjalanan yang kurang lebihnya jaraknya 7-8 kilo dari lokasi air terjun
Ciherang.
Perjalanan
masih melewati jalan pertama yang kami lalui yaitu jalan yang curam, sampai
pada akhirnya kami menemukan pertigaan yang tidak lain salah satu arahnya
adalah menuju Gunung Batu. Melewati jalan berbatu dan sedang diaspal alias
perbaikan kami tetap tegar haa, hingga akhirnya sampai di sebuah tempat parkir
kendaraan bagi yang menuju Gunung Batu. Dikenai tarif Rp. 15.000 untuk sepeda
motor kami menitipkan sepeda motor, beberapa menit kemudian kami mulai hiking.
Pemandangannya sih tidak begitu wow jika dibandingkan dengan gunung-gunung
tinggi atau yang sepadan misal Gunung Bongkok di Purwakarta, yang bikin wah itu
ya curamnya Gunung Batu yang menjulang tinggi di depan mata. Beberapa menit
berjalan kami berjumpa dengan pintu gerbang pendakian yang sesungguhnya, eh
diminta retribusi lagi sebesar Rp. 5000 tanpa tiket Cuma omongan doang dari
orang sekitar. Entah Siapa ya? Haa
Perjalanan
kami lalui dengan cukup melelahkan karena dari awal sudah dihadapkan pada
punggungan yang curam, mulai dari Tanjakan Kebo sampai ke Puncak cukup
melelahkan. Sekitar 2 Jam kami mendaki walaupun sebenarnya tidak memakan waktu
2 jam kalau tidak banyak rehat. Curamnya medan membuat kami hati-hati. Ya
filosofinya itu sekecil apapun gunung adalah alam, dan kita harus waspada pada
alam dalam kondisi apapun karena alam selalu menyimpan misteri yang seringnya kita
tidak mengetahuinya bahkan mengabaikannya. Hal ini dibuktikan dengan adanya
Plakat atas meeninggalnya seorang pendaki di puncak Gunung Batu yang konon saat
turun dari Puncak tidak begitu memperhatikan posisi tubuhnya sehingga terjatuh.
Sempat berdoa sih di puncak untuk orang yang tertera di plakat tersebut, walau
tidak tahu siapa yang sebenarnya.
Seperti
sebelumnya, setelah memuaskan diri melihat ciptaan Tuhan dari ketinggian dan
mengambil beberapa gambar kami pun memutuskan turun. Turun pun kami lebih
beerhati-hati karena selain curam juga tidak adda pengaman di bibir jurang.
Alat bantu atau pengaman naik dan turun hanyalah seutas tali yang sebenarnya
sudah tidak kuat lagi karena sering bergesekan dengan batu yang ada di
sekitarnya.
Intinya
dalam menikmati alam, marilah kita berhati-hati dan mengetahui kondisi ataupun
kemampuan kita. Terlalu percaya diri juga tidak baik karena alam sekali lagi
adalah sebuah misteri yang kadang bisa meenjebak kita kapan saja, menerkam kita
kapan saja walaupun terlihat indah dan menawan. Haa, yang lebih utama tentunya
harus menjaga lingkungan yang kita kunjungi, jangan sampai kita datang justru
merusak atau mengotori lingkungan tersebut. Semoga pula lingkungan masyarakat
sekitar dibantu dengan pemerintahan setempat mampu mengelolah dengan bijak,
tanpa ada pungutan-pungutan liar yang justru akan merugikan perekonomian
sekitar. Mesti diolah dengan apik dan tertib sehingga membangkitkan gairah
perekonomian atas tumbuhnya pariwisata tersebut. Salam... J
Ransel Kesayangan
Gerbang Ciherang
Gaya dulu ya
Dingin
:D
Penampakan Gunung Bongkok
Tanjakan Kebo
Penampakan Puncak
Hati-hati Om..
Comments
Post a Comment